Fahmi Prayoga
Peneliti dan Analis Kebijakan Publik
Selasa, 30 Januari 2024 10:55

Papua Penuh Harapan: Meretas Jalan Panjang, Menuju Kesejahteraan

Fahmi Prayoga, S.E., Head of Research Center for Regional Finance Policies, SmartID.
Fahmi Prayoga, S.E., Head of Research Center for Regional Finance Policies, SmartID.

DEWASA ini, pemerintah terus aktif mendorong agenda pemerataan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, dengan perhatian khusus terhadap wilayah khususnya Papua. Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk merajut keadilan sosial dan ekonomi, memastikan bahwa setiap bagian dari negeri ini turut menikmati hasil pembangunan nasional. Bahkan sejak tahun 2022, telah lahir Daerah Otonom Baru, yakni empat provinsi baru di Papua (Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah).

Pemekaran daerah menjadi satu langkah strategis yang dapat membawa Papua meretas jalan panjang dalam mencapai kesejahteraan dan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan diresmikannya pembentukan empat provinsi baru di Papua, kita melihat sebuah langkah berani yang bertujuan untuk merespons kebutuhan khusus dan dinamika setiap wilayah di tanah Papua. Pemekaran ini menjadi sebuah katalis yang diharapkan mampu membawa dampak positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat Papua secara keseluruhan.

Pemekaran daerah di Papua bukan hanya sekadar perubahan administratif, tetapi juga menandai komitmen pemerintah untuk memahami dan menghargai keberagaman serta keunikan setiap wilayah. Dengan membentuk provinsi-provinsi baru, diharapkan pemerintah dapat lebih fokus dan responsif terhadap kebutuhan lokal, mengakselerasi pembangunan infrastruktur, dan menciptakan kebijakan yang lebih sesuai dengan konteks setempat. Pemekaran ini menjadi landasan bagi terciptanya pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, memastikan bahwa setiap daerah di Papua dapat mengoptimalkan potensi lokalnya menuju taraf hidup yang lebih baik bagi penduduknya.

Pemekaran empat provinsi di Papua, menjadi tonggak sejarah yang memiliki dampak signifikan pada pembangunan regional. Provinsi-provinsi baru ini membawa perubahan struktural yang mendalam, memungkinkan pemerintah untuk lebih efektif mengelola dan menyusun kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam upaya meningkatkan pemerataan pembangunan, sejumlah anggaran dialokasikan untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur kunci seperti jalan, jembatan, dan sarana transportasi lainnya.

Namun, perlu diingat bahwa lahirnya Daerah Otonom Baru bisa menjadi sebuah bumerang di masa depan jika tidak diiringi dengan langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa daerah-daerah baru tersebut mampu berdiri mandiri dan tidak menggantungkan diri secara berlebihan. Keberhasilan suatu pemekaran daerah tidak hanya ditentukan oleh proses administratif semata, melainkan harus diperkuat dengan persiapan yang matang agar dapat menghindari potensi kegagalan seperti yang terjadi pada sebagian besar daerah otonom baru pasca-reformasi 1999-2004. Studi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa sebanyak 80 persen dari daerah otonom baru yang dibentuk pada periode tersebut mengalami kegagalan. Penyebab utama kegagalan tersebut tidak lain adalah kurangnya persiapan yang memadai, serta dominasi motif politis dalam proses pembentukan daerah baru. Implikasinya, pemekaran daerah yang seharusnya menjadi instrumen pengembangan malah berpotensi menjadi sumber konflik dan stagnasi pembangunan.

Kita ketahui pula bahwa Papua merupakan daerah yang memiliki Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan oleh pemerintah pusat yang undang-undangnya telah diperbarui pada tahun 2021 lampau. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat prinsip-prinsip otonomi khusus yang lebih efektif dan berkeadilan. Revisi Undang-Undang (UU) Otsus Papua mencerminkan komitmen pemerintah pusat untuk memberikan perhatian khusus dan dukungan nyata bagi pembangunan di Papua.

Salah satu poin penting dalam revisi UU Otsus Papua adalah peningkatan alokasi dana otonomi khusus. Sebelumnya, alokasi dana Otsus Papua adalah 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dengan revisi tersebut, alokasi dana Otsus Papua meningkat menjadi 2,25 persen dari DAU dan DBH. Ini mencerminkan keseriusan pemerintah pusat dalam memberikan dukungan finansial yang lebih besar untuk mendukung pembangunan di Papua.

Selain itu, revisi UU Otsus Papua juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Pemerintah Provinsi di Papua dalam mengelola dan mengalokasikan dana Otsus. Ini bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan program pembangunan yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal. Peningkatan kewenangan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan dana Otsus dan mempercepat pembangunan infrastruktur serta sektor-sektor kunci lainnya di Papua. Namun, perubahan signifikan juga mencakup peningkatan pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana Otsus. Dengan adanya kewajiban untuk menyusun Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) secara berkala, diharapkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana Otsus dapat ditingkatkan. Selain itu, peran Dewan Papua sebagai lembaga pengawas dan penasihat Otsus juga diperkuat, menandakan upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat Papua dalam proses pembangunan.

Dengan lahirnya empat Daerah Otonom Baru di Papua yang diiringi dengan implementasi Otsus jilid kedua ini, harapan tertuju pada pengwujudan segala rencana pembangunan yang telah dirancang untuk memajukan Papua. Tujuan utamanya adalah memastikan peningkatan kualitas hidup masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, agar dapat mencapai tingkat kesetaraan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Fokus utama dari upaya ini melibatkan sektor-sektor kunci, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, dengan harapan masyarakat Papua dapat merasakan dampak positifnya secara signifikan.