Benarkah PLTU Sumber Listrik, ataukah Sumber Polusi?
IMBAS dari pembangunan proyek baru PLTU Jawa 9 dan 10 menuai kecaman dari berbagai pihak. Tak tanggung-tanggung, masyarakat Banten resmi mengajukan pengaduan ke Compliance Advisor Ombudsman (CAO) terhadap Grup Bank Dunia atas dukungannya pada pembangunan dua PLTU batu bara tersebut, (Trendasia.org, 13 September 2023).
Pembangunan PLTU baru ini dinilai akan mempercepat dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, bahkan lingkungan setempat. Selain itu, proyek PLTU dianggap telah melanggar janji sejumlah pemimpin negara untuk berhenti mendukung penggunaan bahan bakar fosil.
Memang benar PLTU merupakan sumber pembangkit listrik yang dibutuhkan masyarakat, tetapi bisa menjadi sumber polusi jika tidak dikelola dengan bijak. Jika proyek PLTU Jawa 9 dan 10 berlanjut, perlu dipertanyakan komitmen untuk mematuhi Perjanjian Paris Tahun 2015 tentang perubahan iklim yang disepakati bersama oleh 197 negara.
Adapun pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow, Skotlandia, pada 2021 menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan pembangkit listrik energi batu bara secara bertahap, terus menjaga suhu bumi, dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi pada 2030.
Pengaduan masyarakat terkait proyek tersebut memiliki alasan, yakni diperkirakan akan menyebabkan ribuan kematian dini dan menyumbang lebih dari 250 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer bumi. Adanya penggusuran paksa terhadap tempat tinggal masyarakat setempat bisa memicu konflik horizontal dan sengketa lahan antar rakyat dengan penguasa. Masyarakat setempat mengatakan bahwa tidak diperlukan lagi pembangkit listrik karena kebutuhan listrik sudah terpenuhi dan jaringan listrik antar Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan.
Sebagaimana juru kampanye energi Trend Asia, Novita Indri, menegaskan bahwa tidak ada urgensi dalam membangun PLTU Jawa 9 dan 10. Menurutnya, proyek tersebut hanya akan menghancurkan masyarakat setempat serta membawa dunia lebih cepat mengalami bencana iklim. Proyek ini jelas bertentangan dengan upaya untuk mencapai target net zero emission dan menjadi bukti nihilnya implementasi dari Perjanjian Paris. Mengapa proyek ini masih terus berlanjut bila dampaknya sangat besar dan meluas? Apa sebenarnya yang memicu hal ini terjadi?
Menyoal pembangunan proyek ala sistem kapitalisme yang kerap berakhir konflik serta memakan korban jiwa. Entah dengan perampasan hak rakyat secara represif dan berdarah-darah, atau dengan kompensasi yang tidak sepadan dengan kerugian materi, fisik, dan kesehatan yang dialami oleh rakyat. Mengapa seperti itu? Sebab dalam pandangan kapitalisme, memperoleh keuntungan dari proyek strategis adalah tujuan utama.
Seberapa besar upaya untuk membangun proyek strategis, sebanyak itu pula keuntungan yang ingin diperoleh dari proyek tersebut. Bagi kapitalisme, meski penuh risiko dan rentan bahaya, hal tersebut bukanlah hambatan. Bahkan, dengan sistem ini bisa menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang dikehendaki.
Sebagaimana yang dikatakan President Director Indo Raya Tenaga, Peter Wijaya, bahwa PLTU Jawa 9 dan 10 menginisiasikan penggunaan amonia hijau dan hidrogen hijau dalam upaya mendukung kebijakan net zero emission. Jika pembangunan PLTU dirancang dengan konsep “ramah lingkungan”, tentu membutuhkan dana besar.
Sekadar diketahui, amonia hijau dan hidrogen hijau adalah bahan bakar yang tidak menghasilkan emisi karbon dalam proses produksi dan penggunaannya. Maka, hal ini merupakan salah satu solusi transisi energi yang sudah mulai diratifikasi oleh negara-negara maju untuk bahan bakar pembangkit listrik dan kendaraan bertenaga listrik.
Jika hal ini diterapkan pada proyek PLTU Jawa 9 dan 10, berapa banyak dana yang akan dihabiskan? Tentu tidak sedikit. Hal ini jelas membuka peluang besar bagi pemodal atau investor untuk merealisasikan proyek tersebut. Imbasnya, PLTU menjadi target komersialisasi listrik. Ketika proyek telah beroperasi, dijajakanlah kepada rakyat untuk dibeli jika ingin menikmati hasilnya.
Tak jauh dari proyek-proyek lain, nasib PLTU yang mendapat kecaman aktivis lingkungan dan penentangan masyarakat, tidak lebih dari wujud keserakahan para kapitalis yang mengabaikan dampak buruk terhadap lingkungan. Pembangunan infrastruktur publik seperti pembangkit listrik harusnya untuk kemaslahatan bukan malah menelan korban jiwa.
Idealnya fokus negara yaitu pada aspek terpenuhinya pendistribusian instalasi listrik di semua daerah hingga yang sulit terjangkau listrik. Pada tiap wilayah yang tidak ada instalasi listrik, negara dapat membangun pembangkitnya sesuai kebutuhan masyarakat. Bukan malah memaksakan kehendak dengan membangun PLTU di kawasan yang memiliki pasokan daya listrik berlebih.
Peran negara tentunya wajib menyediakan infrastruktur publik yang memadai, hal ini diatur dalam Islam. Dalam membangun infrastruktur, Islam menetapkan prinsip-prinsip baku, yang listrik merupakan bagian dari SDA yang jumlahnya sangat besar sehingga pembangunannya memerlukan peran strategis negara.
Dalam hal ini, negara membangun pembangkit beserta instalasi listrik agar manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat. Maka, negara tidak boleh mengambil keuntungan dari hasil pembangunan tersebut. Melainkan negara dapat memberikannya secara gratis atau rakyat membayar dengan harga terjangkau untuk mengganti biaya operasionalnya saja.
Dalam hal distribusinya, negara perlu memetakan wilayah-wilayah yang membutuhkan instalasi listrik sehingga pembangunan infrastruktur listrik tidak akan kurang atau mengalami kelebihan daya. Alhasil, daya listrik benar-benar dipastikan dapat dinikmati rakyat dari pusat kota hingga pelosok desa terpencil. Inilah yang akan diprioritaskan negara dalam menjalankan kewajibannya sebagai raa’in.
Berkenaan pembangunan dalam pandangan Islam, berorientasi untuk kemaslahatan hidup manusia dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah Taala. Kebijakan negara tidak boleh membawa kemudaratan dan kezaliman. Dalam perencanaan pembangunan, negara harus melakukan analisis dampak kebijakan bagi lingkungan dan kesehatan rakyat.
Adapun pembiayaan dalam pembangunan infrastruktur publik dibiayai negara melalui baitul mal. Dalam pengelolaan kepemilikan umum, seperti SDA berupa batu bara, tambang, dan sebagainya, negara tidak boleh menyerahkannya kepada pihak lain baik dalam bentuk investasi asing, utang, swastanisasi, privatisasi, ataupun konsesi kepada korporasi.
Bahkan negara akan memberikan edukasi secara menyeluruh tentang kewajiban menjaga kelestarian lingkungan, memanfaatkan hasil SDA secara bijak, dan sanksi tegas bagi setiap individu yang merusak lingkungan, mengeksploitasi SDA dengan serampangan, dan segala aktivitas yang bisa mengancam keseimbangan alam dan lingkungan.
Demikianlah, visi pembangunan infrastruktur, yakni terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan tercapainya kemaslahatan dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam kafah. Wallahualam bissawab.