Iskandar, S.E., M.M.
Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Selayar.
Selasa, 25 Juni 2024 22:11

Melirik Gen Z dalam Pertumbuhan Demokrasi

Iskandar, S.E., M.M.
Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Selayar.
Iskandar, S.E., M.M. Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Selayar.

BONUS demografi dan diaspora pemuda Indonesia akan menjadi titik tumpu bagi kemajuan pembangunan termasuk pertumbuhan demokrasi. Dengan mempertimbangkan peran digiitalisasi yang akhir-akhir dikuasai oleh generasi Z atau Gen Z. Kemajuan dan transformasi informasi sebagai indikator dari proses perkembangan dunia melalui tehnologi. Usia produktif dari generasi Z sangat memungkinkan menjadi pelaku utama bukan hanya dalam pasar ekonomi tetapi juga pada market politik. Sebab, kemajuan informasi yang demikian masif menjadi perhatian serius bagi generasi Z untuk terlibat dalam partisipasi dalam pembangunan demokrasi.

Pilpres baru saja digelar 14 Februari 2024 yang lalu, generasi Z sebagai pemilih pemula dinyatakan sebagai kelompok yang mendominasi pemilik suara. Karenanya, kesiapan generasi Z patut untuk dipertimbangkan. Dengan asumsi dasar apakah dengan jumlah pemilik suara dari generasi Z ini punya hubungan yang simetris dengan tingkat kecerdasan berpolitik? Ini akan menjadi soal bila posisi generasi Z ini tidak mengambil peran secara aktif dalam kegiatan pembangunan politik dan demokrasi.

Sehingga sebelum anak muda ini berperan, harus memahami dulu problematika demokrasi kita ini seperti apa. Ada banyak masalah yang dihadapi oleh demokrasi kita sejak dulu. Ketika Pemilu 2009 itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih dengan dukungan massa yang besar. Tapi, cara beliau membentuk kabinet ini terlalu mengakomodasi kepentingan banyak pihak sehingga berdampak pada efektivitas kerja pemerintah. Nah, ini kemudian harus hati-hati untuk memilih kepentingan seperti apa yang berpihak pada rakyat. Ini juga bagian dari praktek politik distribution of power (bagi-bagi kekuasaan).

Tak hanya itu, penegakan demokrasi kian mengalami penurunan karena adanya kepentingan ekonomi-politik pemerintah. Salah satu indikator untuk Indonesia bisa menjadi negara maju adalah meningkatkan pendapatan negara. Sayangnya, target pemerintah ini justru menjadikan politik Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemain bisnis yang menimbulkan sistem oligarki. Belum lagi soal korupsi terstruktur yang semakin mengakar kuat dalam sistem. Sejauh ini, penanganan korupsi belum mampu menurunkan tingkat korupsi itu sendiri. Terbukti dengan dinyatakannya Indonesia sebagai negara paling korup ke-lima di Asia Tenggara.

Kehadiran Joko Widodo (Jokowi) ini sebenarnya menjadi angin segar pada demokrasi kita. Karena terlepas dari kepentingannya dengan partai politik, Jokowi mampu membentuk kabinet yang bisa bekerja secara efektif. Walaupun pada akhirnya, demokrasi kita ini juga mulai patah-patah di akhir tahun 2014. Isu-isu sipil dan HAM, misalnya, ini mulai tersingkir karena kepentingan pemerintah yang harus berkompromi dengan banyak pihak untuk membangun ekonomi kita. Dan berlanjut pada 2019 yang diwarnai berbagai gerakan yang turut memberi kritik terhadap perkembangan demokrasi dan politik di Indonesia yang mengalami patahan. Termasuk isu kecurangan pemilu.

Demokrasi Indonesia sudah saatnya mengalami revitalisasi dan reformasi kembali. Cara pandang politik saat ini sudah tertinggal jauh dari perkembangan zaman. Apalagi dengan dominasi peran generasi Z di ranah digital, politik harusnya bisa dimaknai dengan lebih luas. Namun tentunya, perubahan harus tetap memegang teguh nilai etis dalam berpolitik. Padahal, ruang untuk berdemokrasi demikian lebar, tetapi disisi yang lain generasi Z sedikit antipati terhadap politik, sebagian mereka menterjemahkan politik itu kotor.

Sebagai contoh kegiatan politik mahasiswa ini kalau dibandingkan dengan tahun '98 dulu jelas berbeda. Kalau dulu mahasiswa demo di gedung-gedung pemerintah, sekarang organisasi mahasiswa saja saya kira sudah tidak banyak peminat. Lalu apakah hal itu menjadikan mahasiswa apolitis? Tentu tidak. Besarnya disrupsi digital membuat partisipasi politik juga perlu didorong untuk memperluas cara pandang. Tidak berpartisipasi dalam organisasi, partai, ataupun gerakan politik tidak bisa menjadi dasar untuk mengatakan seseorang anti politik. Karena di era ini, terdapat berbagai cara untuk berpartisipasi politik, dalam bentuk kritik, pendapat, hingga diskusi yang bisa dibangun melalui media apa pun. Dan itu juga bagian dari partisipasi politik bila semua variabel itu dimanfaatkan dengan baik.

Kelemahan dalam literasi (menulis, membaca, memahami) juga menjadi catatan serius untuk melihat peran anak muda atau generasi Z ini dalam pembangunan demokrasi melalui partisipasi dalam politik. Jadi, kelompok muda ini perlu diberikan ruang. Jangan-jangan, hanya karena cara pandang politik kita yang tertutup ini, demokrasi kita jadi tidak jalan. Setiap generasi itu memiliki tantangan politik dan peran yang berbeda-beda. Sehingga saatnya generasi Z yang menentukan arah politik kita dan isu seperti apa yang harus dikedepankan. Ruang-ruang diskusi politik yang dibangun di masyarakat perlu memperhatikan keterlibatan kelompok muda karena generasi inilah yang akan membentuk Indonesia di masa mendatang.

Perkembangan politik Indonesia telah memasuki fase anak muda yang akan menggantikan kaum gereontokrasi (kaum tua) dalam pentas dan panggung politik. Modal terbesar dari generasi Z (anak muda) ini adalah penguasaan tehnologi digital termasuk kemampuan adaptif terhadap perkembangan lingkungan ekonomi dan politik. Sekali lagi bahwa peran anak muda dari zaman ke zaman tentu sangat berbeda sehingga itu pula yang memengaruhi secara psikologis perkembangan politik generasi Z dalam ruang-ruang demokrasi.

Karena itu, peran generasi Z didalam mengekaselerasi pertumbuhan demokrasi sangat diharapkan, mengingat bonus demografi dan diaspora pemuda sebagaimana awal dari tulisan tersebut. Peran dan partsisipasi politik anak muda juga sangat menentukan kualitas demokrasi. Sehingga political education perlu dilakukan secara bersama-sama oleh semua elemen masyarakat termasuk yang lebih vital.

Pertama, peran partai politik sebagai instrumen penting dalam demokrasi dengan berbagai infrastruktur yang dimilikinya. Kedua, peran komisi penyelenggara pemilu (pilkada) yang bukan hanya sebatas pengenalan secara teknis, tetapi bagaimana membangun kesadaran berpolitik kaum muda dengan memberi ruang aktif di semua jenjang penyelenggaran kepemiluan yang ada.

Ketiga, kampus dalam hal ini para akademisi dituntut dengan ilmu yang dimilikinya untuk terus memberikan pencerahan politik kepada kaum muda. Sebab, kesadaran politik kaum muda dianggap mumpuni membangun demokrasi ke depan, dengan alasan energi, daya kritis dan kemampuan survival dalam situasi apapun. Sinergitas secara holistik begitu sangat menentukan proses demokrasi yang baik. Dengan melihat fakta-fakta saat ini demokrasi kita sedang mengalami berbagai patahan, bahkan distrust yang tajam.

Dengan mempertimbangkan populasi pemilih generasi Z di Pemilu 2024 sejumlah 46.800.161 atau 22,85 persen dari total pemilih adalah sebuah kekuatan baru dalam pertumbuhan demokrasi ke depan. Karena itu diaspora politik Indonesia saat ini sementara bergerak menuju perbaikan indeks demokrasi yang turun karena berbagai soal di dalam negeri. Sehingga dengan partisipasi politik kaum muda terutama generasi Z dengan tingkat kecerdasan berpolitik dengan mengambil peran baik itu sebagai penyelenggara pemilihan/pilkada, paling tidak tidak pasif dalam proses politik yang ada. Sebab, kontribusi aktif akan menjadi variabel tingkat partisipasi dalam demokrasi.

Semoga bermanfaat.

Kolom Populer
Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Bahtiar Baharuddin
Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Selayar.
Penggiat Media Islam, Founder Sahabat Literasi, Pembina Daar Al-Qalam, Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta