Senin, 23 Oktober 2023 10:02

Apakah Penutupan TikTok Shop Jaminan Rakyat Sejahtera?

Dwi Setiawati, S.Pd.
Dwi Setiawati, S.Pd.

TEPAT pada Selasa 3 Oktober 2023, perdagangan di aplikasi berlogo huruf 'd' resmi ditutup. TikTok Shop belakangan ini memang banyak digunakan masyarakat Indonesia. Setidaknya terdapat sekitar 6 juta penjual lokal dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop.

Namun, dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023, yang merupakan penyempurnaan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, pengawasan, dan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik, justru banyak dikeluhkan pelaku usaha. (Tirto.id, 4 Oktober 2023).

Terlebih, beleid tersebut menjadi dasar hukum untuk melarang media sosial merangkap platform perdagangan (social commerce) seperti TikTok Shop. TikTok Indonesia mengklaim social commerce seperti TikTok Shop lahir sebagai solusi bagi masalah nyata yang dihadapi UMKM. Selain itu, social commerce bertujuan membantu pelaku UMKM berkolaborasi dengan kreator lokal dalam meningkatkan kunjungan di toko online mereka. (Tirto.id, 4 Oktober 2023).

Selain itu, alasan pemerintah melarang social commerce seperti TikTok Shop berjualan karena ingin membatasi banjirnya produk impor di toko digital. Pasalnya, dengan disatukannya sosial media dan toko digital, bakal menguntungkan platform tersebut. Sebab mereka mengantongi algoritma pengguna yang bisa dipakai untuk mengatur iklan kepada penggunanya. (BBC News Indonesia, 5 Oktober 2023).

Dampak di Masyarakat
Nyatanya, setelah TikTok Shop ditutup, yang banyak protes justru dari kalangan UMKM sendiri. Tidak dimungkiri, pelaku UMKM pun banyak yang terjun ke digital, khususnya TikTok Shop yang dianggap relatif lebih mudah dipahami. Setidaknya akan ada enam juta UMKM dalam negeri yang berjualan di TikTok Shop dan tujuh juta kreator konten yang terkena dampak.

Oleh karena itu, banyak pihak menilai kebijakan pelarangan e-commerce bergabung dengan media sosial tidak akan efektif dalam melindungi UMKM dan pelaku usaha lokal, apalagi membangkitkan UMKM. Saat ini, UMKM pun mulai adaptif terhadap bisnis online. Alhasil, pemerintah terkesan membela sebagian UMKM (yang berjualan di tempat) dan mengabaikan UMKM lainnya (yang online). Lantas, apakah benar hanya persaingan UMKM sehingga membuat dagangan menjadi sepi pengunjung?

Menelisik Sistem Ekonomi Hari Ini
Larangan berjualan di TikTok Shop berawal ketika pedagang di Tanah Abang protes karena dagangannya sepi pengunjung dan beralih ke toko online. Masyarakat lebih memilih berbelanja secara online karena dirasa lebih murah, banyak barang impor, dan banyak pilihan penawaran harga. Hal ini menjadi pilihan karena UMR (Upah Minimum Regional) masyarakat rendah yang disebabkan berbagai faktor mulai dari kebijakan pemerintah sampai jabatan dan tanggung jawab dalam kerja.

Tentu ini tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang banyak seperti, tarif listrik dan air yang kian tinggi, harga bahan pokok yang juga tinggi, ditambah biaya sekolah, kesehatan, dan lainnya yang juga kian tinggi. Di sisi lain, gaya hidup hedonis turut menjangkiti masyarakat, mau tampil modis tapi dengan harga murah dan cara yang mudah, sangat cocok dengan kemudahan di toko online.

Selain dari faktor UMR, kita tidak boleh lupa akan adanya pasar persaingan sempurna. Pasar persaingan sempurna ada karena melihat potensi pasar shoppertainment yaitu cara berjualan berbasis konten interaktif yang menghibur untuk mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen. Ini yang menjadikan siapa pun ingin menguasainya. Inilah satu alasan mengapa Indonesia kerap kebanjiran barang-barang impor sehingga produk lokal UMKM kalah bersaing.

Ditambah, Indonesia yang menyepakati perjanjian perdagangan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), yaitu antara negara ASEAN dengan China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Perjanjian ini digadang gadang akan mampu memulihkan perekonomian yang sempat anjlok di saat pandemik. Alhasil, barang lokal kalah bersaing dengan barang impor. Seperti negara-negara lain yang menerapkan sistem aturan kapitalisme, perjanjian dagang internasional tersebut tidak melenceng dari tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kerja.

Selain itu, kita tidak dapat memungkiri bahwa inovasi dan kemudahan orang berbelanja melalui platform media sosial yang bergabung dengan e-commerce justru memudahkan pembeli dan penjual. Sedangkan yang menjadi persoalan adalah banjirnya barang impor dan penguasaan pasar oleh orang-orang pemilik modal, sehingga pelaku UMKM kalah bersaing ditambah daya beli masyarakat yang menurun. Sudah seharusnya pemerintah mampu melihat akar masalahnya, bukan sebatas buah masalah tersebut sehingga regulasi yang ditetapkan dapat tepat sasaran.

Beginilah realitas yang harus dipahami ketika hidup dalam naungan sistem kapitalisme. Kapitalisme memang mustahil menanggulangi berbagai masalah kehidupan termasuk dalam sektor perdagangan barang. Justru, perdagangan pasar bebas hari ini di kapitalisasi hanya dikuasai oleh orang-orang pemilik modal saja. Mereka yang akan meraup keuntungan banyak dengan adanya digitalisasi pasar. Oleh karena itu, saat ini kita perlu melihat aturan hidup yang bukan saja menyejahterakan namun mengatasi semua permasalahan umat termasuk dalam perdagangan barang yaitu, sistem Islam.

Solusi Islam
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam/Khalifah itu junnah (perisai), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Islam sangat memberi ruang terhadap perkembangan teknologi sebab inovasi akan memudahkan urusan hidup manusia, tentu selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariat. Adapun solusi Islam terkait masalah ini sebagai berikut.

Pertama, Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan rakyatnya sehingga pemerintah akan menjamin kesejahteraan rakyatnya, baik dengan mekanisme ekonomi, yaitu memudahkan seseorang untuk bekerja maupun menciptakan ekosistem bisnis yang baik.

Kedua, Islam mempersilakan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar sempurna, yaitu semata karena penjual dan pembeli saling rida atas transaksi mereka serta diatur dalam ekonomi Islam.

Ketiga, negara memiliki regulasi yang sesuai dengan syariat dan memihak rakyat. Misalnya larangan ghabn fahisy, yaitu penipuan dengan cara menaikkan atau menurunkan harga barang secara keji (jauh dari harga pasar). Predatory pricing “bakar uang” adalah praktik yang mirip dengan ghabn fahisy sehingga pelakunya harus ditindak dan diberi sanksi.

Kebijakan larangan berjualan di TikTok tidak akan berpengaruh terhadap kesejahteraan UMKM karena hal tersebut hanyalah inovasi yang seharusnya disambut dengan regulasi yang memihak pada rakyat. Seharusnya pemerintah fokus memperbaiki ekosistem bisnis agar UMKM lokal mampu bersaing.

Namun demikian, sistem pemerintahan yang mengandalkan swasta dalam mengurusi urusan umat tidak akan mampu menyelesaikannya. Hanya Islam yang telah terbukti mampu menyejahterakan umat dan terdepan dalam teknologi.