Selasa, 03 Januari 2023 16:35

Politikus PDIP: Ketua KPU Wajib Ingatkan Peserta Pemilu Soal Kemungkinan Sistem Proporsional Tertutup

Redaksi
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ahmad Basarah
Ahmad Basarah

"Biarkan Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan penafsir konstitusi yang bersifat final segera memutuskannya".

JAKARTA – Politikus PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menilai sikap Ketua KPU Hasyim Asy'ari yang mengingatkan semua pihak bahwa kemungkinan pemilihan umum anggota legislatif (Pileg) 2024 dilakukan secara proporsional tertutup karena adanya permohonan pengujian UU No. 7/2017 terkait sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi adalah tindakan yang memiliki dasar hukum. Wakil Ketua MPR ini menyebut Pasal 14 huruf c UU Pemilu menyebutkan, salah satu kewajiban KPU adalah menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat.

"Jika dicermati, pernyataan ketua KPU itu disampaikan dalam forum resmi catatan akhir tahun 2022 KPU menyongsong Pemilu 2024. Tentu dalam forum refleksi akhir tahun yang diisi dengan informasi berbagai hal yang telah dilakukan oleh KPU di tahun 2022 terkait pelaksanaan tahapan Pemilu 2024, wajib pula disampaikan berbagai informasi dan dinamika penting sepanjang 2022 yang perlu diketahui oleh para peserta Pemilu dan masyarakat," jelas Ahmad Basarah dilansir dari situs MPR RI, Selasa (3/1/23).  

Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu, masyarakat berhak mengetahui berbagai proyeksi untuk tahun 2023 untuk kemudian mengantisipasi semua perencanaan demi kesuksesan agenda pemilu 2024. Salah satu informasi dan dinamika politik di tahun 2022 yang perlu diketahui masyarakat adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 168 UU Pemilu perihal sistem proporsionalitas terbuka dalam Pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga : Tim Hukum Golkar Sulsel Ikuti Bimtek Hukum Acara PHP yang Diselenggarakan MK

"Para pemohon pada pokoknya menginginkan pemilu dilakukan dengan proporsional tertutup mengingat sistem inilah yang dianggap paling sesuai dengan maksud Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan  peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik," tegas Ahmad Basarah.  

Doktor bidang hukum tata negara lulusan Universitas Diponegoro Semarang itu menjelaskan, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili dan menguji undang-undang terhadap UUD pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.  ‘’Sifat final menunjukkan bahwa putusan MK, baik yang sifatnya menolak permohonan maupun mengabulkan permohonan, merupakan putusan yang tidak tersedia upaya hukum lain, bersifat mengikat, dan wajib untuk dilaksanakan,’’ kata Ketua DPP PDI Perjuangan itu.

Dengan demikian, lanjut Ahmad Basarah, sesuai dengan konstitusi dan UU MK, terdapat dua kemungkinan atas pengujian sistem Pemilu pada UU Pemilu di MK, yaitu ditolak atau dikabulkan. Jika permohonan ditolak, tentu mekanisme Pemilu 2024 akan sama dengan mekanisme Pemilu 2019, 2014 dan 2009 yang menggunakan proporsional terbuka.

Baca Juga : Ratusan Mahasiswa Merangsek Masuk ke Pelataran Gedung DPRD Sulsel, Tolak Revisi UU Pilkada

"Tapi, jika permohonan dikabulkan, keputusan itu tentu akan membawa pengaruh pada persiapan dan mekanisme memilih di Pemilu 2024 termasuk memberi pengaruh bagi Parpol dan bakal calon anggota legislatifnya," jelas  dosen pascasarjana Universitas Islam Malang itu.

Mengingat dua kemungkinan atas hasil pengujian sistem Pemilu di MK itu, Ahmad Basarah menilai pernyataan Ketua KPU sudah tepat dan sama sekali tidak dimaksudkan mendukung sistem pemilu tertentu. Dia mengingatkan semua komponen masyarakat bahwa apa pun sistem pemilu yang diputuskan MK, KPU harus melaksanakannya selagi sistem itu sudah berkekuatan hukum tetap, baik karena telah diatur dalam UU Pemilu maupun berdasarkan putusan MK.  

Dia mengingatkan, pernyataan Ketua KPU sebenarnya justru untuk mengingatkan bahwa pengalaman yang ada selama ini menunjukkan seringkali putusan MK berpengaruh pada tahapan penyelenggaraan Pemilu. Dia mencontohkan kasus verifikasi partai politik dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan partai politik yang sudah lolos dalam ambang batas parlemen pada pemilu sebelumnya (2019) tak lagi mengikuti proses verifikasi faktual Pemilu 2024.

Baca Juga : Dukung Pantarlih! Bupati Barru Jalani Coklit Data Pemilih di Rumah Jabatan

"Putusan ini berbeda dengan mekanisme Pemilu 2019 yang menggunakan Putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017 yang mewajibkan seluruh partai politik harus diverifikasi, termasuk parpol lama yang ada di DPR," jelas Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Wantimpus) GM FKPPI itu.

Contoh lain, Ahmad Basarah mengingatkan peristiwa penting ketika berdasarkan Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, MK mengubah sistem pemilu dari semula calon terpilih ditentukan dengan menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Caleg menjadi hanya berdasarkan Penentuan Kursi Berdasarkan Suara Terbanyak. Saat itu, mekanisme ini mengubah secara fundamental persiapan penyelenggaraan Pemilu pada 2009.

"Putusan yang ditetapkan pada Desember 2008 itu sangat mengagetkan dan membuat panik para peserta pemilu 2009 karena jaraknya berdekatan dengan pemungutan suara pada April 2009," kenang Ahmad Basarah.  

Baca Juga : Pengamat: Eksistensi Megawati Bisa Bendung Pengaruh Jokowi

Karena itu, Wakil Ketua Lakpesdam PBNU ini mengajak semua pihak untuk membaca dan menilai pernyataan Ketua KPU secara utuh bahwa dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemilu, dia tengah mengajak seluruh Parpol untuk menyiapkan diri terhadap apa pun hasil putusan MK. Ahmad Basarah mengimbau semua pihak tidak menanggapi pernyataan ketua KPU itu secara berlebihan dengan berbagai macam tudingan, mengingat setiap Parpol pasti punya pilihan atas sistem pemilu yang mereka idealkan.

"Mengenai pilihan sistem Pemilu mana yang paling sesuai dengan maksud UUD 1945, biarkan Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan penafsir konstitusi yang bersifat final segera memutuskannya," tutup Ahmad Basarah.

#mahkamah konstitusi #kpu #PDI Perjuangan