RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Makassar menggelar Diseminasi Implikasi Perkawinan antara Pengungsi Luar Negeri dengan Warga Negara Indonesia (WNI) di Hotel Four Point Makassar pada Selasa (23/08).
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan, Liberti Sitinjak dalam sambutannya mengatakan, Indonesia saat ini tidak menjadi negara pihak yang meratifikasi konvensi pengungsi tahun 1951 dan protokol status pengungsi 1967, namun atas dasar kemanusiaan, Indonesia mempersilahkan pengungsi asing untuk tinggal sementara sebelum memperoleh pemukiman kembali di negara ketiga yang bersedia menerimanya.
"Sebagai negara yang tidak menandatangani konvensi tersebut, maka Indonesia tidak bertanggung jawab atas kehidupan pengungsi. Kewenangan untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi ada di UNHCR," kata Liberti.
Baca Juga : Momentum Pemberian Remisi HUT ke-79, PJ. Gubernur Sulsel Motivasi WBP untuk Terus Berkelakuan Baik
Keberadaan WNA pengungsi di Indonesia berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), namun untuk alasan kemanusiaan dari pespektif HAM, maka Indonesia harus menampung pengungsi sambil menunggu penerimaan tujuan negara ketiga.
Atas hal tersebut, Liberti berharap agar program diseminasi ini melibatkan semua pihak seperti lurah, camat, Kementerian Agama, juga harus melibatkan ketua RT dan RW-nya.
"Karena bagaimanapun persoalan ini harus benar-benar bisa melindungi bangsa kita dan warga kita dengan memberikan edukasi konsekuensi atas perkawinan campuran untuk masyarakat agar paham," terang Liberti.
Baca Juga : 5.881 Warga Binaan Pemasyarakatan di Sulsel Dapat Remisi HUT ke-79 RI
Sebelumnya, Kepala Rudenim Makassar, Alimuddin Husain Jafar selaku penyelenggara menyampaikan diseminasi ini diadakan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap dampak perkawinan antara pengungsi luar negeri dengan WNI.
"Tujuan diseminasi ini yaitu memberikan gambaran umum tentang perkawinan campuran berikut hukum dan administrasi kependudukan, memberikan pemahaman tentang kebijakan lembaga internasional yang menangani pengungsi luar negeri terkait pengungsi yang melakukan perkawinan dengan WNI, implikasi perkawinan campur terhadap izin tinggal dan kewarganegaraan," beber Alimuddin.
Narasumber akademisi dari Universitas Hasanuddin Padma D Liman mengingatkan, WNI sebaiknya tidak melakukan pernikahan campuran dengan WNA Pengungsi yang belum jelas legalitasnya, ada dampak yang ditimbulkan dan korbannya adalah anak.
Baca Juga : Kemenkumham Sulsel Punya Kantor Baru, Yasona: Salah Satu Kantor Terbesar di Indonesia
Narasumber lain, Analis Keimigrasian Utama Ari Budijanto mengatakan, Indonesia tidak dalam kapasitas menerima pengungsi, melainkan Indonesia menjadi tempat perlintasan bmenuju negara ke tiga sebagai tempat tinggal. Selain itu Indonesia tidak boleh memulangkan pencari suaka atau pengungsi ke negara asal, begitupun meneruskan ke negara ketiga ada mekanisme aturan tersendiri oleh negara tujuan.
“Orang Asing yang sudah mendapatkan status sebagai pengungsi dari UNHCR di Indonesia dapat tidak dipermasalahkan izin tinggalnya selama berada di Indonesia dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan,” ungkap Ari menjelaskan bentuk dukungan perlindungan Hukum pengungsi di Indonesia.
Lanjut Ari, Terkait perkawinan campuran (perkawinan antara WNI dan WNA) yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan dan dicatatkan menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.
Baca Juga : Gelar Upacara Peringati HBP ke-60, Kakanwil Kemenkumham Sulsel, Katakan ini
Sejumlah narasumber dihadirkan dalam kegiatan ini, diantaranya dari perwakilan Kanwil Kemenag Sulsel, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, UNHCR dan IOM, Disdukcapil Sulsel dan pembicara dari Direktorat Jenderal Imigrasi.