RAKYATKU.COM - Pada zaman di mana teknologi telah berkembang jauh, perburuan ikan di laut lepas dilakukan dengan cara-cara yang instan. Kata 'instan' perlu digarisbawahi karena erat kaitannya dengan potensi kerusakan laut.
Periode 1990-an awal, misalnya, orang-orang di Kampung Bakaro, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, marak menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan. Cara itu memang terbukti jitu untuk menangkap ikan dengan mudah, namun, pada saat yang sama, ia membuat air di laut menjadi tercemar. Tak cuma itu, ikan-ikan yang tak tertangkap, yang mati maupun yang selamat, terkontaminasi dengan racun dari bom yang meledak.
Lukas Awiman Barayap, seorang nelayan di kampung tersebut, prihatin menyaksikan pemandangan itu. Bertahun-tahun ia larut dalam kesedihan, tanpa daya untuk mencegah rekan-rekannya menangkap ikan dengan cara seperti itu.
Baca Juga : Heboh, Pria Memakai Kaos Oblong Bersarung Biru Munculkan Uang dari Balik Bantal
Namun, berawal dari kebiasaan buruk nelayan di kampungnya itulah dia kelak menjadi manusia pemanggil ikan.
"Ada beberapa hal kurang baik terjadi di kawasan lingkungan laut karena ada pengeboman ikan dan ada yang buang racun ikan. Adanya bom merusak terumbu karang di dalam laut. Saya pikir nanti nelayan di Kampung Bakaro susah mencari ikan karena terumbu karang hancur, ikan tidak berkembang biak di situ. Generasi mendatang mencari ikan setengah mati dan ikan menjadi mahal," katanya, dalam wawancaranya bersama Tempo beberapa waktu lalu.
Mengutip tulisan akun Facebook Faiz Ahsoul, tepatnya tahun 1995, lelaki kelahiran Marauke, Papua, 55 tahun silam itu merasa mendapat petunjuk dari Tuhan melalui firmanNya dalam Kitab Kejadian I ayat 26-28 dan Perjanjian Baru, Surat Yakobus, pasal 3 ayat 7, tentang Raja Salomon yang bisa berkomunikasi dengan hewan.
Baca Juga : Wanita Ini Cek Rekening Bank Setelah 60 Tahun, Perubahan Saldonya Bikin Kaget
Maka, ketika air laut pasang, dia pun mulai mencoba berinteraksi dengan ikan-ikan di laut. Dengan menggunakan peluit, dia panggil ikan-ikan yang ada di tengah laut. Kemudian dia tebar rayap, potongan ubi rebus, dan nasi sisa yang tidak termakan, untuk makanan ikan.
Hampir setiap kali air laut pasang, dia panggil ikan dengan peluit dan memberi makan ikan.
Sebelum memanggil dengan peluit, pria yang memenangkan Kapaltaru 2019 itu terlebih dahulu akan mengetuk karang dan menepuk-nepukkan tangannya ke air.
Baca Juga : Viral Petani Ukraina "Curi" dan Tarik Tank Rusia Pakai Traktor
"Saya pakai aba-aba. Pertama itu saya kasih makan pakai rayap dan kode kedua memakai peluit. Ada orang yang tidak yakin dengan kemampuan saya. Beliau mengundang saya ke Pulau Samosir, Sumatera Utara. Di sana saya memanggil ikan dan ikan pun bisa datang," katanya kepada Tempo.
Dan sejak tahun 1995 itu, Lukas Awiman Barayap yang biasa disapa Bapa Tua oleh kalangan anak muda kampung Bakaro, mulai dikenal masyarakat luas (khususnya di Manokwari) sebagai ikon manusia pemanggil ikan. Para nelayan tradisional di tepian Bakaro pun mulai sadar mereka harus menjaga keberlanjutan kehidupan habitat laut.
Mereka tidak menggunakan bom atau potas lagi ketika melaut. Mereka mencari ikan secukupnya, hanya untuk kebutuhan keluarga. Kalau hasil tangkapan ikan lebih, kelebihan itulah yang mereka jual ke kota Manokwari
Baca Juga : Pria Ini Kesulitan Bernapas Bertahun-tahun, Ternyata Ada Gigi Tumbuh di Rongga Hidung
sumber: indozone.com