Minggu, 28 Juni 2020 23:59

Gurun Pasir Moynaq, Bekas Laut yang Mengering Kini jadi 'Kuburan Kapal'

Fathul Khair Akmal
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Gurun Pasir Moynaq, Bekas Laut yang Mengering Kini jadi 'Kuburan Kapal'

Kota Moynaq yang berada di gurun pasir Uzbekistan mungkin menjadi salah satu tempat yang unik sekaligus menyimpan kisah yang misterius.

RAKYATKU.COM - Kota Moynaq yang berada di gurun pasir Uzbekistan mungkin menjadi salah satu tempat yang unik sekaligus menyimpan kisah yang misterius.

Pasalnya, ada beberapa bangkai kapal yang dibiarkan teronggok di wilayah yang gersang dan kering tersebut. Hal ini pun sempat mengundang tanya lantaran pemandangan tersebut terbilang cukup aneh.

Jika ditelusuri dari sejarahnya, Kota Moynaq yang berada di antara Uzbekistan dan Kazakshtan ini dulunya dikenal sebagai kota nelayan yang sibuk. 

Biasanya, para nelayan ini mencari ikan di sekitar Laut Aral (Danau Aral). Sayang, bencana kekeringan mengandaskan semuanya dan akhirnya menjadi seperti sekarang ini. Berikut ulasan lengkapnya.

Kota Moynaq dikenal akan kegiatan perikananannya di masa lalu yang ditunjang oleh keberadaan Laut Aral. Meski disebut laut, Aral sejatinya merupakan danau yang memiliki luas 68 ribu kilometer persegi. Karena ukuran tersebut, Aral dinobatkan sebagai danau air tawar terluas ke-empat di dunia.

Banyak dari penduduk setempat yang menggantungkan hidupnya dengan menangkap ikan sebagai nelayan. Tak hanya itu, melimpahnya air yang ada di Laut Aral membuatnya menjadi pemasok air tawar bagi wilayah Utara Uzbekistan dan bagian Selatan Kazakhstan. Sayang, semua potensi tersebut mendadak buyar karena salah kelola hingga air perlahan menyusut drastis.

Penyusutan air Laut Aral terjadi akibat kebijakan keliru pemimpin Soviet atas pengelolaan wilayah setempat yang kala itu dijabat oleh Khrouchtchev. Dilansir boombastis dari Atlas Obscura, keputusan untuk mengalihkan saluran dari sungai Amu Darya dan Syr Darya yang merupakan pemasok debit air ke dalam Laut Aral ternyata memiliki konsekuensi panjang.

Pengalihan tersebut sejatinya dilakukan untuk mengairi saluran irigasi wilayah gurun di sekitar Laut Aral, guna menghidupi pertanian kapas dan gandum yang ada. Buntut dari pengalihan tersebut, debit air di Laut Aral diperkirakan berkurang sebanyak 25 hingga 75 persen. Kondisi tersebut membuat danau mulai surut.

Melihat kenyataan tersebut, penduduk Kota Moynaq pun mau tak mau akhirnya meninggalkan profesi nelayan mereka dan pindah ke wilayah lain karena tak lagi bisa menangkap ikan. Hal tersebut juga membuat kapal-kapal mereka terbengkalai dan ditinggalkan begitu saja di hamparan danau yang mulai mengering.

Tahun demi tahun, jumlah penduduk di Kota Moynaq mulai menyusut karena banyak yang pindah ke tempat lain. Kapal-kapal yang teronggok di atas padang pasir perlahan mulai berkarat dan tertutup debu. Pemandangan tersebut membuat Moynaq tak ubahnya seperti tempat ‘kuburan kapal’.

Masalah kekeringan bukanlah satu-satunya yang menghancurkan kehidupan Kota Moynaq. Tercatat, penyakit cacar pernah melanda tempat tersebut pada tahun 1971 sehingga program vaksinasi besar-besaran pun dilakukan. Tak hanya itu, adanya debu beracun akibat kontaminasi pupuk pestisida dan garam juga menimbulkan masalah kesehatan.

Debu beracun yang menimpa salah wilayah yang bernama Karakalpaks itu menimbulkan penyakit serius, seperti anemia, kanker tenggorokan, dan gangguan pada ginjal. Tak berlebihan jika Kota Moynaq pada akhirnya dijuluki sebagai ‘Kota Mati’ dan menjadi ‘Kuburan Kapal’ yang teronggok menjadi besi tua hingga kini.

Sejak air danau mengering, praktis tak ada yang tersisa di Kota Moynaq selain hanya onggokan bangkai kapal yang telah berkarat dimakan debu. Meski demikian, pemandangan aneh tersebut justru menjadi destinasi favorit para wisatawan mancanegara yang penasaran dengan lokasi tersebut.