RAKYATKU.COM - Waktu sudah berganti hari pada Selasa malam itu. Layar ponsel menunjukkan pukul 01.29 wita. Erangan, rintihan, teriakan, kalimat tauhid masih bersahut-sahutan.
"Sakitnya... Astagfirullah al adzim. Lailaha illallah, muhammadar rasulullah...." suara perempuan itu terdengar berkali-kali dari ranjang-ranjang di verlos komer.
"Ngkkk...ngkkkk..." suara perempuan lain dari ranjang sebelah. Dia berusaha menahan sakit dari perut yang mengalami kontraksi. Sakitnya spesial. Tak dijumpai di penyakit lain.
"Dokter, kayak mau be*ak kurasa....ngkkkk....ngkkkk," sahut yang lainnya.
"Janganki ngeden sayang, masih pembukaan 4. Ayo bertiup, bertiup," jawab dokter dan bidan hampir bersamaan.
"Tidak bisa ditahan kodong, sakit sekali," kata perempuan itu sambil meringis menahan sakit.
Dua puluh dua jam berada di verlos komer --istilah Belanda untuk kamar bersalin-- seperti sedang antre di gerbang kematian.
Malam itu, satu di antara beberapa "korban lelaki", tengah berjuang untuk bersalin normal. Tiga tahun lalu, dia melahirkan lewat bedah caesar.
Oleh banyak dokter obgin, upaya itu dianggap terlalu berisiko. Banyak pertimbangan medis yang jadi alasannya. Idealnya, katanya, setelah bersalin caesar, maka berikutnya harus caesar pula.
Sepucuk Surat Bertulis VBAC
[NEXT]
Sepucuk Surat Bertulis VBAC
Senin pagi, 16 Desember 2019. Seorang ibu hamil masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSIA Khadijah 1. Persis di depan Lapangan Karebosi, arena olahraga bersejarah yang melahirkan legenda, Ramang.
Diantar seorang perempuan lainnya, ibu hamil bergamis hitam itu menyerahkan sepucuk surat. Bertulis tangan. Tidak terlalu jelas terbaca bagi orang yang tidak biasa. Pengirimnya tertera, dr Nur Hasnah Syam SpOG.
Salah satu poin dalam surat itu tertulis, "VBAC". Staf IGD langsung paham. Ibu hamil yang membawa surat itu tak paham. Belakangan diketahui, itu singkatan dari vaginal birth after caesarean. Persalinan normal pasca caesar.
"Ada sarung?" tanya seorang bidan.
"Berbaring ki sayang. Telentang ki," lanjutnya.
Seorang mahasiswi sekolah kesehatan mengambil tensimeter. Ada yang mengambil sampel darah, persis di lipatan siku tangan kanan.
Berikutnya, USG. Hasilnya, semua bagus. Kepala bayi sudah berada di bawah, di mulut rahim. Denyut jantung bayi juga normal. Kadar hemoglobin ibu itu juga cukup baik, 12. Tidak ada kelainan sama sekali.
"Pergi miki mendaftar di gedung tengah di loket pendaftaran. Kasih lihat ki ini," ujar staf IGD sambil menyerahkan secarik kertas bertulis tangan kepada suami ibu hamil itu.
"Oh, (pasien) umum ki di? Belum pernah mengurus BPJS?" tanya pertugas di bagian pendaftaran pasien. Perempuan berjilbab.
"Ada sih, tapi sudah lama tidak dipakai," jawab pria yang datang dengan sandal jepit Swallow hijau itu. Terlihat sudah kumal.
"Kita mau kamar kelas berapa? Ini daftar perkiraan tarif yang Bapak bayar nanti," kata petugas itu sambil memperlihatkan daftar tarif perawatan untuk pasien umum.
Di situ tertera untuk persalinan normal kelas III Rp5.672.200, kelas II Rp7.052.550, kelas I Rp7.674.300. Tarif VIP tak dilirik lagi. Tidak mungkin, pikirnya.
"Kita tidak minta-minta Pak, tapi kalau istri ta tiba-tiba harus SC (operasi caesar), ini tarifnya," katanya sambil menunjuk baris di bawahnya.
Tarif SC kelas III Rp15.779.763, kelas II Rp17.852.375, dan kelas I Rp19.395.075. Lagi-lagi, tarif untuk VIP tak dilirik.
"Belum termasuk di bawah ini," lanjut petugas itu sambil menunjuk catatan pada bagian bawah daftar itu, menggunakan pulpen.
"Boleh tanya istri dulu? Sebentar sekali," pinta si suami.
"Silakan," kata petugas.
"Kalau saya, mana-mana saja. Kalau bisa yang paling murah saja. Tidak terlalu penting kamarnya, yang penting bisa bersalin lancar saja. Tidur di bangsal pun tidak apa-apa," kata istrinya yang menunggu di dekat IGD.
Tak sampai dua menit, si suami kembali ke loket. "Kelas III saja katanya," ujar dia mantap.
Setelah melalui proses administrasi yang cukup panjang, sekitar 30 menit, si ibu yang hamil anak kelima itu dibawa ke kamar bersalin. Pakai kursi roda. Didorong perawat berseragam hijau.
Sebelum masuk kamar bersalin, ibu yang bercadar itu punya permintaan khusus. Berharap tidak ditangani dokter atau perawat laki-laki. Apalagi dokter, perawat, dan bidan perempuan cukup banyak di rumah sakit itu.
Apalagi RSIA Khadijah 1 punya moto, "Melayani dengan Hati yang Islami". Sempat membayangkan tidak ada lagi dokter kandungan laki-laki di sana. Sebab, pasien yang hendak melahirkan semua perempuan.
Bukan apa-apa. Dokter kandungan melihat hampir seluruh tubuh pasien. Tak sekadar melihat, malah menyentuhnya. Apalagi saat memeriksa pembukaan. Entah mengapa, dokter laki-laki peminat obgin juga tak pernah sepi hingga kini. Padahal, tidak ada laki-laki yang melahirkan.
Nah, ada cerita menggelitik seputar dokter kandungan laki-laki ini. Banyak pasien bersalin justru lebih senang ditangani dokter laki-laki. Mau tahu alasannya?
"Cara jahitnya lebih rapi kalau dokter kandungan laki-laki," begitu jawaban mereka pada umumnya. Alamakkk!
22 Jam di Bawah Bayang-Bayang Kematian
[NEXT]
22 Jam di Bawah Bayang-Bayang Kematian
Jam menunjuk pukul 11.30 wita pada Senin, 16 Desember 2019 itu. Begitu tiba di kamar bersalin, serangkaian pemeriksaan langsung dilakukan dokter, bidan, dan mahasiswi PKL yang bertugas di kamar bersalin.
"Sudah pembukaan 3. Miring ke kiri ki sayang nah, supaya cepat keluar," kata seorang dokter.
Ternyata berbaring miring ke kiri membuat kontraksi lebih hebat. Jauh lebih sakit dibandingkan miring ke kanan. Perempuan yang hendak bersalin normal memang butuh sakit. Kalau tidak ada kontraksi, kalau tidak sakit, janin dalam perut tidak bisa keluar.
Perkembangannya sangat lamban rupanya. Sore jelang magrib, baru masuk pembukaan 4. Sekitar pukul 21.00 wita kembali diperiksa, masih di seputaran 4 dan 5.
Pada pukul pukul 01.29 wita, belum ada perkembangan berarti. Rasa sakit nyaris tak pernah putus, tapi pembukaan cenderung stagnan. Hingga lewat tengah malam itu, dokter masih ragu, antara pembukaan 4 atau 5.
"Dokter, sesar ma kodong. Tidak kuat ma. Tidak tahan sekali ma," tutur ibu itu sambil meringis menahan sakit.
"Tidak bisa mi Bu. Berisiko dioperasi kalau sudah kontraksi begini. Tapi, tunggu saya laporkan dulu ke dokter ta," kata dokter coast itu.
Sekitar 20 menit kemudian, dokter akhirnya menyetujui operasi. Jadwalnya Selasa pagi (17/12/2019) pukul 07.00 wita. Salah satu pertimbangannya, tidak mungkin orang bisa bersalin normal jika fisiknya sudah lemah. Persalinan normal butuh ngedan.
"Karena akan dioperasi, Ibu diharuskan puasa sejak sekarang. Kami persilakan ibu makan dan minum sekarang. Setelah itu tak boleh lagi sampai jam 07.00 besok," ujar seorang bidan mewakili dokter.
Kepada suaminya, bidan itu berkata, "Bapak harus ke PMI sekarang. Bawa sampel darah ke sana, cek stoknya untuk diambil besok pagi, jelang operasi."
Pukul 01.57 wita. Di kantor PMI Jalan Kandea dini hari itu, ada empat orang lainnya, memesan darah. Suami ibu yang hendak VBAC itu langsung memojok usai menyerahkan sampel darah ke loket. Kesempatan untuk tidur sejenak, sambil menunggu panggilan dari loket.
Belum lama terlelap sambil duduk di bangku besi, teriakan petugas loket itu membangunkannya. "RSIA Khadijah 1..."
Entah ini panggilan pertama atau yang kesekian. Saat membuka mata, semua pengunjung mengarahkan pandangan kepadanya.
"Ini resinya Pak. Stok darah yang dibutuhkan tersedia. Silakan diambil besok pagi," kata petugas itu.
Saat kembali ke kamar bersalin beberapa menit kemudian, suara erangan masih terdengar. Sudah berkurang. Beberapa pemilik ranjang sudah melahirkan.
Erangan dan rintihan berubah tangisan bayi, "Ngea...ngeaa...." Tapi, suara itu terdengar dari ruangan lain. Sementara ibunya dijahit dan dibersihkan dari darah, bayinya dibawa ke ruangan khusus bayi.
Tinggal lah ibu ini sendiri mengerang kesakitan. Dalam kondisi sudah puasa. Tadi hanya sempat menelan tiga biji kurma dan dua teguk air. Tidak lagi punya nafsu makan akibat rasa yang terus menerus.
Sejumlah dokter dan bidan sudah tidur pulas. Tinggal sekitar empat orang yang masih melek. Berjaga-jaga.
Sebelumnya, ibu itu diberi sebiji obat. Tablet. Katanya, pereda nyeri. Ternyata tidak mempan, semakin lama, malah semakin sakit.
"Janganki ngeden, bertiup, bertiup," kata dokter jaga dengan suara tinggi. Dia mulai emosi pada dini hari itu.
"Tidak bisa kutahan, ngeden alami ini, Dok," jawab ibu itu.
Tidak lama kemudian, "Bidan, kayak mau ka be*ak kurasa."
Bidan yang paling senior di antara yang masih melek itu langsung memasang kaus tangan karet. "Oh, sudah pembukaan 9. Kayaknya melahirkan normal ini ibu sebentar," katanya.
Seorang mahasiswi PKL langsung menyiapkan alat-alat. Semua yang diperlukan untuk persalinan. Kain kasa, gunting, benang, dan lainnya. Juga ember untuk menyimpan ari-ari.
Beberapa menit kemudian, bidan datang lagi. "Telentang ki', coba saya cek lagi," katanya. "Adami kepalanya, pembukaan lengkapmi," lanjut dia.
Ajaib. Kepala bayi itu langsung keluar nyaris tanpa ngedan. Bidan dengan percaya diri menarik kepala bayi itu. Butuh beberapa saat karena bahunya tersangkut di mulut rahim. Hanya sekali ngedan, bayi itu keluar. "Ngeaa....ngeaa...."
"Alhamdulillah. Barakallahu fiykum bidan dan dokter. Jazakunallahu khayr," mata ibu itu berkaca-kaca. Jarum jam menunjukkan pukul 03.37 wita.
Persalinan kelima ini sangat tidak terduga. Lahir nyaris tanpa ngedan.
Padahal, operasi sudah diadwalkan keesokan harinya. Tiga setengah jam lagi.
Beberapa jam sebelumnya, seorang dokter lainnya datang menjelaskan prosedur operasi. Penjelasannya menakutkan. Seolah-olah kita sudah berada di gerbang kematian.
Dia bilang, bersalin normal punya risiko karena ibu sebelumnya pernah dioperasi. Operasi pun juga berisiko karena sudah ada kontraksi. Bisa terjadi pendarahan hebat yang bisa mengakibatkan meninggal dunia.
"Kalau pun operasi berjalan lancar, namun setelah dibawa ke ruang perawatan terjadi pendarahan, juga bisa berisiko kematian. Mohon maaf Bu, Pak, ini tetap harus saya sampaikan sebelumnya," kata dokter itu.
"Iyye tidak masalah, Dok. Saya sudah pasrah. Kalau memang saya mati, itu sudah ajal. Sudah ketentuan Allah," katanya.
Dari balik tirai, terdengar suara dokter laki-laki, "Kasih bangun ka jam 05.00 nah karena mau ka jemput dokter jam 06.00 karena mau operasi."
Itu beberapa jam sebelum ibu tersebut melahirkan. Beberapa menit setelah dokter merencanakan operasi yang ternyata batal itu.
Ketika Dokter Terasa seperti Monster
[NEXT]
Ketika Dokter Terasa seperti Monster
Berdasarkan perkiraan dokter, si ibu melahirkan 17 November 2019. Itu jika dihitung berdasarkan haid terakhir pada Februari 2019. Kalaupun mundur, kata dokter, tidak lewat 5 Desember.
Ternyata prediksi itu meleset jauh. Ada rasa was-was. Hingga batas waktu yang disebut dokter, belum ada rasa sakit sama sekali. Walau sudah mengantongi surat pengantar bersalin, ibu ini belum juga mau ke rumah sakit.
Dia bertekad bersalin normal. Kalau ke rumah sakit sebelum ada kontraksi, pasti operasi. Itu yang dihindari. Solusinya, terus memeriksakan kandungan. Berpindah-pindah dokter, agar lebih meyakinkan kondisi janin.
Sambil terus mengecek kondisi janin, si ibu juga berusaha mencari referensi persalinan ala Maryam. Sekarang mulai tren. Sebuah gerakan seolah-olah menggoyang-goyangkan pohon kurma. Dilakukan pada bulan kesembilan kehamilan.
Sudah banyak yang membuktikan. Bersalin normal. Sakitnya jauh lebih ringan dibandingkan persalinan sambil berbaring seperti selama ini. Sambil berdiri, lebih mudah. Tentu saja harus dibantu petugas medis yang paham metode ini.
Lewat Facebook, si ibu berhasil berbicara langsung dengan beberapa pasien bersalin ala Maryam. Dari situ, ada rekomendasi rumah sakit dan dokter yang mulai menerapkannya. Disebut lah seorang dokter kandungan.
Namun, responsnya jauh dari harapan. "Edede Bu, berani ta itu mau bersalin Maryam. Besar sekali risikonya, apalagi kita pasca caesar. Kemudian, umur ta juga sudah tua (39 tahun)," kata dokter itu di kliniknya pada suatu malam.
"Memang sudah banyak pasien ku bersalin Maryam, tapi masih muda. Janinnya juga kecil dan baru pertama melahirkan. Kalau kita ndak beranika," lanjut dokter itu.
"Itu hari si anu (menyebut nama) saya sarankan operasi, tapi menunggu-nunggu terus. Akhirnya anaknya meninggal dalam kandungan," katanya lagi yang diaminkan bidan.
"Ada juga pasienku meninggal gara-gara ketuaanmi janinnya. Begini saja Bu, masuk miki rumah sakit malam ini, saya operasi ki. Bawa miki ini surat pengantar. Nanti orang rumah sakit telepon saya," kata dokter perempuan tersebut.
Malam itu si ibu pulang dari klinik dengan sedikit gemetar. Apa yang disampaikan dokter itu benar, dari sisi ilmu kedokteran. Janin yang lewat bulan memang punya risiko. Keyakinannya bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, sedikit goyah malam itu.
Ini adalah dokter kandungan kedua yang menyatakan hal serupa. Sebelumnya, juga menceritakan risikonya jika tidak segera dioperasi. Dia juga menyebut pasien yang anaknya meninggal dalam kandungan.
Belum puas, keesokan harinya, si ibu kembali ke dr Hasnah Syam di Klinik Sophiara, Antang. Langganannya sejak awal. Dokter Hasnah sempat memprediksi persalinan pada 17 November atau paling telat 5 Desember. Kalau lewat, sebaiknya segera dioperasi.
Dari beberapa dokter kandungan tempat konsultasi, dr Hasnah satu-satunya yang menyatakan persalinannya bisa normal, walau pasca caesar.
"Bisa normal Bu, insya Allah. Berdoaki saja, serahkan semua kepada Allah," katanya dalam beberapa kali kesempatan.
Pada 5 Desember malam, si ibu kembali memeriksakan kehamilan. Setelah memeriksa kondisi janin, dr Hasnah tampak tenang-tenang saja. "Semuanya bagus. Normal," katanya.
"Jadi bagaimana Dok?" tanya pasien.
"Masih bisa menunggu sampai 15 Desember. Ada atau tidak ada rasa sakit, masuk miki rumah sakit tanggal 15 Desember sayang nah," katanya.
Keyakinan untuk bersalin normal kembali muncul. Berlipat-lipat malah. Waktu yang diberikan dokter masih sepekan lagi. Berharap ada rasa sakit sebelum tenggat waktu itu. Sambil terus melakukan gerakan Maryam di rumah, setiap saat.
Di RSIA Khadijah 1, dr Hasnah jadi perbincangan beberapa bidan. Mereka heran. Rata-rata pasien VBAC yang datang atas rekomendasi dr Hasnah. Kebanyakan dokter tidak berani. Umumnya merekomendasikan operasi caesar lagi.
Akupuntur yang Menghidupkan Kembali Semangat
[NEXT]
Akupuntur yang Menghidupkan Kembali Semangat
Suatu pagi di awal Desember. Ibu bercadar itu sedang jalan-jalan. Kira-kira menempuh jarak tiga kilometer pergi-pulang, dengan jalan kaki. Sambil antar anak ke sekolah, Madrasah Ibtidaiyah Al Bashirah di Kecamatan Manggala, Makassar.
Di jalan, dia bertemu pemilik sekolah. Ummu Anis, sapaan akrabnya. "Antar anak sekolah sambil cari pembukaan, Umm," kata ibu itu.
Ummu Anis memberi semangat. Rupanya, ada beberapa orang pernah berhasil. Mereka dibantu terapi akupuntur. Alhamdulillah, semua yang menjalani terapi itu bisa bersalin normal. Padahal, jarak operasi caesar hanya kurang lebih setahun.
Ummu Anis menunjuk terapis bernama Ummu Raihanah. Rumahnya di BTN Asabri, Moncongloe Lappara, Maros. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Kelurahan Manggala, Kota Makassar.
"Semangatki Umm," katanya mengepalkan tangan sambil membengkokkan siku. "Seriuski minta kepada Allah. Gantungkan sepenuhnya kepada Allah," lanjutnya.
Sudah lama Ummu Raihanah jadi praktisi akupuntur dan bekam. Bersama suaminya, Ustaz Rapung Samuddin Lc MA. Dia akademisi dan juga penulis buku yang cukup produktif.
Ustaz Rapung yang alumni LIPIA Jakarta itu penulis buku "Api Fitnah" yang cukup laris. Mantan redaktur ahli Koran Amanah itu juga punya karya "monumental". Buku saku hadis "Kitabul Jami" yang sudah berkali-kali dicetak ulang.
Pernah membuka klinik di kompleks Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Kini, layanan dibuka di kediaman pribadinya di BTN Asabri, Desa Moncongloe Lappara, Maros. Peralatannya cukup lengkap. Termasuk bed. Seperti ranjang di rumah sakit.
Di klinik ini, pasien laki-laki ditangani Ustaz Rapung. Sementara pasien perempuan diobati istrinya, Ummu Raihanah.
"Insya Allah, bisa (melahirkan) normal Umm," katanya sambil memasang jarum akupuntur satu per satu.
"Rasanya seperti diurut-urut di sekitar jarum itu," kata si pasien.
Efeknya langsung terasa dalam sekali terapi. Tubuh menjadi lebih segar. Dan janin dalam kandungan terasa kembali bergerak aktif.
Sebelumnya, gerakan janin mulai melemah. Maklum, kandungan ibu itu sudah lewat jauh, 44 pekan. Normalnya, orang hamil rata-rata sembilan bulan atau 36 pekan. Hanya sedikit yang lewat.
Usai dua kali terapi akupuntur, ibu itu mulai merasakan sakit perut. Terputus-putus. Rasa nyeri muncul setiap lima menit. Khas kontraksi jelang persalinan. Dua hari kemudian, baru ke rumah sakit. Ternyata baru pembukaan 3.
Rupanya sudah banyak pasien VBAC yang dibantu Ummu Raihanah. Ada yang belum cukup dua tahun pasca caesar, dengan izin Allah, bisa melahirkan normal. Dia menyebut 4-5 lima nama. Semuanya berhasil.
Ini juga menjadi salah satu kunci lancarnya persalinan. Ibu hamil harus memiliki keyakinan kuat. Butuh cerita sukses dari orang lain. Juga iman yang kuat bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah subhanahu wata'ala.
Allah subhanahu wata'ala sudah menjamin bahwa janin akan keluar dengan mudah. Jika sudah tiba masanya.
"Kemudian Dia memudahkan jalannya," (QS. Abasa: 20)
Ahli tafsir menyebut bahwa salah satu makna ayat ini, "Allah memudahkan baginya (janin) untuk keluar dari perut ibunya."
Bayi perempuan yang keluar dari rahim ibu dalam kisah ini, berusia 45 pekan dalam kandungan. Lahir Selasa dini hari (17/12/2019) dengan berat 4 kilogram. (*)