RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Kasus pengaturan skor dan mundurnya Edy Rahmayadi dari kursi ketua umum PSSI, menjadi perbincangan hangat publik Indonesia belakangan ini.
Tak terkecuali di kalangan partai politik. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misalnya. Juru Bicara PSI, Andi Saiful Haq mengaku, bobroknya sepak bola Indonesia banyak dipengaruhi karena kegemaran berbohong dan korupsi para pengurus federasi.
"PSI menyambut baik mundurnya Edy Rahmayadi dari jabatan ketua umum PSSI. Tidak mungkin mengharapkan prestasi sepakbola dari manajemen organisasi PSSI yang korup, dan identik dengan pengaturan skor. Seharusnya yang penting diperhatikan adalah kesejahteraan pemain dan pengelolaan fasilitas sepakbola," ungkap Saiful dalam keterangan persnya yang diterima Rakyatku.com, Senin (21/1/2019).
Dalam olahraga khususnya sepakbola, kata Saiful, persoalan kebudayaan sangat berpengaruh. Menurutnya, tidak ada korelasi antara demokrasi dan politik dengan maju tidaknya sepakbola sebuah bangsa.
"China dan Korea Utara yang kita kenal memiliki pemerintahan yang terpimpin secara ideologi dan politik, mampu membawa prestasi sepakbola mereka di pentas Olimpiade maupun Piala Dunia. Begitu juga dengan Palestina dan Irak, yang negaranya dirundung perang puluhan tahun, justru masih bisa menunjukkan prestasi luar biasa," bebernya.
Oleh karena itu, kata Saiful, PSSI harus mulai meninggalkan perdebatan tentang apakah federasi harus dipimpin orang politik atau militer. Sebab, katanya, persoalan sepak bola Indonesia tidak terletak di sana. Juga tidak terletak pada persoalan finansial.
"Letak utamanya persoalan ada pada kebudayaan olahraga dan sepakbola kita, lebih khusus lagi adalah budaya tanding. Budaya tanding tidak mungkin tumbuh di tengah budaya korupsi, budaya fitnah, dan budaya pesimistis yang ditunjukkan para elite politik. Atlet kita kehilangan budaya tanding, karena tidak menemukan pijakan kuat mengapa mereka harus menang untuk Indonesia," tegasnya.
Kebohongan para elite politik, kata Saiful, menjadi tontonan yang juga banyak mempengaruhi kinerja federasi. Ada sikap meniru dari setiap narasi kebohongan yang kadang dipertontonkan oleh mereka.
"Jangan pernah bermimpi prestasi apa pun dari olaharaga, jika elite masih mempertontonkan budaya koruptif dan narasi kebohongan. Karena sekali lagi persoalan utama sepakbola Indonesia adalah hilangnya budaya tanding, akibat korupsi dan narasi kebohongan yang secara vulgar dipertontonkan," pungkasnya.