Urban Farming, Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani
PANDEMI belum jelas kapan akan berakhir. Ekonomi terpuruk bahkan FAO mengingatkan adanya potensi krisis pangan akibat terganggunya proses produksi dan distribusi pangan sebagai dampak pandemi. Belum lagi efek perubahan iklim yang menyebabkan pergeseran pola tanam. Ketahanan pangan menjadi salah satu isu sentral diluar kesehatan yang perlu segera dimitigasi di masa pandemi.
Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi menuntut masyarakat untuk cepat beradaptasi terhadap berbagai keterbatasan yang ada. Penurunan aktivitas ekonomi secara langsung berdampak pada menurunnya pendapatan dan daya beli riil masyarakat. Urban farming merupakan salah satu solusi yang efektif dan efisien dalam mencukupi kebutuhan masyarakat perkotaan akan bahan pangan yang berkualitas, sehat dan mudah didapat.
Urban farming awalnya merupakan aktivitas yang diinisiasi oleh komunitas pecinta lingkungan sebagai upaya mencegah kelangkaan pangan akibat menurunnya luas lahan pertanian dari waktu ke waktu, berbanding terbalik dengan kecepatan pertumbuhan penduduk. Namun kemudian berkembang secara masif menjadi salah satu tren gaya hidup di wilayah urban.
Urban farming adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada kegiatan pertanian yang dilakukan secara mandiri di wilayah perkotaan dengan lahan yang terbatas baik di pekarangan rumah, halaman kantor maupun atap gedung. Kegiatan ini sejatinya merupakan bentuk pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan agar bernilai bernilai ekonomi, ekologi dan rekreasi.
Sistem penanaman pada urban farming dapat berupa hidroponik, aquaponik maupun vertikultur. Namun kini berkembang menjadi bentuk pertanian terintegrasi karena tidak hanya berupa kegiatan bercocok tanam sayuran dan buah-buahan tetapi juga diintegrasikan dengan budidaya komoditas sumber protein, seperti beternak maupun memelihara ikan. Misalnya pada budidaya ikan dalam ember (budikdamber) yang mengintegrasikan penanaman kangkung dan pemeliharaan ikan lele dalam wadah ember.
Metode budidaya urban farming terbukti menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dan mampu mengoptimalkan lahan terbatas yang tidak mungkin digunakan untuk pertanian konvensional. Metode hidroponik dan aquaponik dalam urban farming juga relatif lebih ramah lingkungan karena umumnya dilakukan secara organik tanpa pestisida dan menggunakan air yang lebih sedikit. Fakta ini menjadikan urban farming sebagai salah satu alternatif yang menjanjikan untuk mendorong ketahanan pangan di wilayah perkotaan.
Hasil urban farming biasanya dikonsumsi sendiri (subsisten) namun sebagian juga dijual/didistribusikan ke tempat lain. Target pasarnya adalah konsumen terdekat dan biasanya dipasarkan secara langsung ke konsumen. Beberapa pelaku urban farming mengklaim mampu mendulang pendapatan rata-rata sekitar Rp 2 juta/bulan dari hasil kegiatan ini. Tak dinyana, kegiatan yang semula hanya hobi kini berpotensi menjadi alternatif sumber pendapatan baru apalagi di masa pandemi.
Urban farming juga dapat dijadikan sebagai alternatif kegiatan rekreasi yang murah dan mudah dilakukan saat PPKM yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengunjungi lokasi wisata favoritnya. Kegiatan ini juga membutuhkan aktivitas fisik yang dapat mendongkrak imun tubuh, meredakan ketegangan dan stres yang kerap muncul setelah pandemi merebak. Dengan kata lain urban farming cukup menyehatkan secara fisik, mental maupun finansial.
Potensi urban farming telah dikaji oleh para ahli. Salah satunya oleh profesor Arizona State University, Mateu Georgecu yang mengungkapkan bahwa implementasi urban farming secara menyeluruh di seluruh kota besar di dunia berpotensi menghasilkan 180 juta ton bahan pangan selama setahun. Jumlah ini diperkirakan setara dengan 10-15% total produksi pangan global.
Berbagai kelebihan dan potensi tersebut tak serta merta menjadikan urban farming sebagai panacea untuk mengatasi persoalan ketahanan pangan Nusantara. Pengelolaan pertanian di wilayah perkotaan berbeda dengan pengelolaan pertanian di wilayah perdesaan karena landscape dan infrastruktur perkotaan memang tidak ditujukan sebagai pusat produksi pangan.
Meski dilakukan secara konvensional, perdesaan memang difungsikan sebagai produsen utama pangan yang menghasilkan sekitar 80?ri total produksi pangan. Tak mengherankan jika penduduk perdesaan menjadikan bertani sebagai profesi yang serius digeluti dan merupakan sumber penghasilan utama penduduk. Berbeda dengan penduduk di perkotaan yang menjadikan bertani hanya sebagai hobi ataupun pengisi waktu luang. Bahkan banyak diantaranya yang merupakan petani pemula maupun petani paruh waktu.
Mengingat pentingnya peran pertanian konvensional di wilayah perdesaan, modernisasi pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani menjadi isu krusial untuk menjamin keberlangsungan penyediaan bahan pangan. Terus menurunnya persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian dari 54,36% pada tahun 1986 menjadi hanya 29,59% pada Februari 2021 merupakan alarm tanda bahaya ancaman kelangkaan pangan di masa mendatang. Belum lagi fakta bahwa 64,50% petani Indonesia berpendidikan SD ke bawah (hasil Sakernas Februari 2021) serta minimnya literasi teknologi petani dengan hanya 13,44% petani yang mengakses internet (hasil SUTAS2018) berkontribusi pada lambatnya proses modernisasi pertanian di Indonesia.
Tingkat kesejahteraan petani Indonesia juga masih relatif rendah dan stagnan. Nilai Tukar Petani (NTP) periode Januari 2009 hingga Juni 2021 hanya meningkat tipis dari 98,3 menjadi 103,59. Sementara itu Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) justru menurun dari 107,45 pada Januari 2015 menjadi 103,88 pada Juni 2021.
Petani juga masih dihadapkan dengan perubahan iklim, stabilitas harga komoditas pangan di pasaran dan tingginya disparitas antara harga yang diterima petani sebagai produsen dengan harga yang harus dibayar oleh konsumen akhir. Rendahnya tingkat pendapatan riil petani dikhawatirkan semakin menyurutkan minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian karena dianggap tidak cukup menjanjikan secara finansial. Regenerasi petani terancam gagal total dan akhirnya akan mengancam kedaulatan pangan Indonesia.
Pandemi menyadarkan kita bahwa ketahanan pangan bukan hanya sekedar jaminan ketersediaan pangan dan kelancaran distribusi bahan pangan, namun juga bagaimana membentuk sistem pangan yang sustainable dalam jangka panjang. Dibutuhkan kebijakan yang holistik untuk mengembangkan alternatif sumber-sumber penyediaan pangan baik di perkotaan dan perdesaan, dukungan infrastruktur dan sistem pemasaran produk pertanian serta langkah strategis mendorong kesejahteraan petani Indonesia.
*Lin Purwati adalah statistisi BPS Provinsi Sulawesi Selatan