Pendangkalan Danau Tempe Akibat Sedimentasi
DANAU TEMPE adalah salah satu danau yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara administratif, danau ini masuk ke dalam tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Sidrap. Sebagian besar dari wilayah Danau Tempe berada di wilayah Kabupaten Wajo.
Secara keseluruhan danau ini memiliki luas sebesar 13.000 hektare atau berkisar 350 km2. Dengan luas sedemikian, danau ini menjadi danau terbesar kedua di Sulawesi Selatan dan salah satu danau tektonik terbesar di Indonesia.
Danau Tempe merupakan danau tektonik atau hasil pergeseran lempeng bumi yang terbentuk seiring dengan terbentuknya Pulau Sulawesi.
Danau Tempe tergolong danau paparan banjir, dimana bentang wilayah genangannya selalu berubah bergantung musim. Kondisinya saat ini, ketika musim penghujan tiba, luas wilayah genangan airnya adalah keseluruhan luasnya.
Akibat pendangkalan, genangan air dapat meluas hingga menggenang wilayah daratan di sekitar danau. Namun, ketika musim kemarau tiba, sebagian besar wilayah danau ini mengering, air surut, dan membentuk daratan.
Danau Tempe menjadi sumber penghidupan utama bagi ribuan nelayan yang bertempat tinggal di sekitar danau ini. Keanekaragaman ikan air tawar menjadi salah satu hal yang dibanggakan dari Danau Tempe. Bahkan, beberapa spesies ikan yang hidup di danau ini bersifat unik dan autentik karena tidak ditemukan di perairan air tawar lainnya.
Belum lagi, di danau ini kita bisa mendapati panorama dan keindahan alami yang dibalut dengan kearifan lokal masyarakat Bugis.
Akan tetapi, tahun demi tahun keindahan dan kemakmuran yang didapatkan masyarakat dan orang yang berkunjung ke danau ini seolah meredup. Permasalahan pendangkalan danau merupakan penyebab utama kemunduran Danau Tempe.
Masalah pendangkalan ini menjadi permasalahan yang semakin serius dan pelik yang mesti dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat yang menggantungkan hidupnya di danau ini.
Sejak 2015, Danau Tempe ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai salah satu dari 15 danau berstatus kritis dan menjadi prioritas nasional. Setelah diagendakan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, tampaknya danau ini masih membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah akibat dari permasalahan pendangkalan yang belum terselesaikan. Upaya penyelamatan Danau Tempe ini kembali menjadi salah satu prioritas Pemerintah Pusat dalam RPJMN 2020-2024.
Posisi Danau Tempe sebagai muara dari beberapa aliran sungai membuat potensi sedimentasi danau ini sangat tinggi. Tercatat ada 28 aliran sungai yang bermuara di danau ini. Dua di antaranya merupakan aliran sungai utama yang ada di Sulawesi Selatan yaitu Sungai Walanae dan Sungai Bila.
Kerusakan lingkungan di beberapa Daerah Aliran Sungai mempercepat proses sedimentasi. Pembukaan hutan menjadi lahan pertanian dengan pembabatan hutan secara bebas membuat struktur tanah di sekitar Daerah Aliran Sungai menjadi labil.
Ketika musim penghujan tiba, debit air sungai yang besar akan menyebabkan erosi pada daerah tanah labil tersebut, sehingga sedimen-sedimen tanah dan lumpur akan terbawa oleh aliran air sungai menuju ke Danau Tempe.
Pola pengelolaan lingkungan yang salah di daerah hulu sungai ini terjadi secara terus menerus. Dilansir dari Greeners.co, seorang peneliti senior LIPI, Iwan Ridwansyah mengatakan, rata-rata sedimentasi yang terjadi di Danau Tempe sebanyak 519.000 m3/tahun sebagai akibat dari beralihnya fungsi lahan dalam hal ini pengelolaan lahan pertanian sepanjang aliran sungai dan pesisir Danau Tempe.
Permasalahan lain yang turut menyebabkan kerusakan Danau Tempe adalah pertumbuhan eceng gondok yang sangat massif dan tidak terkontrol. Tumbuhnya eceng gondok ini menyebabkan fungsi utama danau terganggu dan memperparah pendangkalan.
Berkurangnya kapasitas Danau Tempe akibat sedimentasi yang terus menerus terjadi telah membawa dampak yang merugikan warga sekitar.
Bukan hanya dampak langsung kepada nelayan pesisir danau ini, tetapi juga masyarakat yang bermukim di daerah sekitar danau. Setiap tahun, saat musim penghujan tiba, masyarakat Kabupaten Wajo bagian barat selalu menghadapi bencana banjir akibat luapan Danau Tempe.
Sungai Walanae dan Sungai Bila yang membawa curah hujan berkisar 2000-3000 mm yang disertai sedimen berupa tanah dan lumpur selalu membuat Danau Tempe kelebihan kapasitas dan tidak sanggup untuk menampung debit air yang ada.
Akibatnya, kerugian materil harus ditanggung masyarakat setiap tahunnya akibat gagal panen hasil pertanian dan juga lumpuhnya perekonomian ketika banjir datang.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun satuan swadaya masyarakat sebagai bentuk kepedulian dan perhatian terhadap kondisi danau ini.
Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR, sementara melakukan proyek revitalisasi berupa pengerukan danau di tiga kabupaten wilayah Danau Tempe. Pengerukan sedimen ini ditergetkan mencapai 8,58 juta m3, sehingga dapat menambah kapasitas volume sebesar 207,66 juta m3.
Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga melakukan beberapa langkah-langkah. Gubernur Sulawesi Selatan dalam kunjungannya ke Danau Tempe baru-baru ini, mendorong dinas terkait untuk melakukan program penanaman pohon jangka panjang di wilayah-wilayah hulu untuk kembali memperkuat struktur tanah dan lahan.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Wajo, selain mendukung program revitalisasi yang sementara dijalankan oleh pemerintah pusat, juga turut mengupayakan penyelamatan ekosistem yang ada di perairan Danau Tempe.
Hal ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten sebagai bentuk respons atas keluhan dan kerisauan masyarakat terhadap populasi ikan yang terus berkurang di danau ini sebagai dampak dari pendangkalan.
Tentu, kita semua mengharapkan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah juga didukung oleh masyarakat, sehingga kejayaan Danau Tempe yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dapat segera kembali, dan kita semua tidak kehilangan salah satu aset danau purba tektonik yang kita miliki.