Pelayanan Penyediaan Pupuk bagi Petani
ADANYA keluhan kelangkaan pupuk pada beberapa wilayah mendorong Ombudsman RI Perwakilan Sulsel untuk melakukan kajian kebijakan publik untuk menemukenali faktor-faktor penyebab kelangkaan pupuk. Sebagaimana disuarakan mahasiswa yang mengatasnamakan petani pada sebuah aksi demonstrasi di Pinrang (7/1/2021).
Aksi mahasiswa di Pinrang dapat dikatakan mewakili aspirasi petani pada beberapa wilayah lainnya yang mengalami hal yang sama.
Berdasarkan hasil kajian Ombudsman RI Perwakilan Sulsel selama tiga bulan mendalami keluhan kelangkaan pupuk dapat disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, potensi penundaan berlarut antar lini dari empat lini proses distribusi pupuk, utamanya produk pupuk bersubsidi mencakup empat macam pupuk yaitu pupuk urea, pupuk SP 36, pupuk ZA, dan pupuk NPK.
Kedua, faktor penurunan jumlah kuota pupuk bersubsidi setiap tahun anggaran. Ketika kuota menurun sementara angka agregat penerima pupuk bersubsidi tetap atau meningkat mendorong berkurangnya jumlah petani penerima pupuk bersubsidi.
Ketiga, potensi penyimpangan prosedur salah sasaran penerima pupuk bersubsidi yang seharusnya bagi petani gurem tetapi yang mendapatkannya adalah petani berdasi.
Dari ketiga faktor penyebab kelangkaan pupuk bersubsidi, faktor pertama dapat diatasi dengan pengawasan secara berkala pihak produsen yakni PT Pupuk Indonesia sebagai pihak yang diberi tugas sebagai public service obligation (PSO) kepada lini distributor hingga lini pengecer agar petani yang tergabung ke dalam kelompok tani dapat menebus pupuknya sesuai dengan masa tanam.
Sedangkan faktor kedua dapat diatasi dengan keikutsertaan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran daerah untuk menutupi kekurangan kuota pupuk bersubsidi dalam APBD Provinsi maupun APBD kabupaten/kota.
Keikutsertaan pemerintah daerah dalam menutupi kuota pupuk bersubsidi yang kurang setiap tahun anggaran memiliki paying hukum dalam Pasal 69 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Sementara faktor ketiga dapat diatasi dengan memberikan efek jera bagi pelaku yang menyebabkan penerima pupuk bersubsidi salah sasaran yang dapat menjadi tindak pidana korupsi.
Subsidi Pupuk
Program pemerintah melakukan subsidi pupuk bagi petani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kebijakan pengentasan kemiskinan di kalangan petani (Pro-Poor Policy) dengan jalan membantu meringankan pada sisi biaya produksi dalam rangka usaha budi daya pertanian.
Peningkatan taraf hidup petani serta mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja adalah amanah Undang-Undang Nomor 22/2019 sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 huruf (b) dan (c).
Sejarah kebijakan subsidi pupuk bagi petani, dapat dibagi atas empat periode dikutip dari hasil penelitian Pattiro didukung oleh USAID (terbit 2011).
Periode pertama, berlangsung antara 1970-1993 berupa pemberlakuan subsidi harga. Bantuan pupuk yang disubsidi dari PLN dan subsidi atas pupuk impor (1970-1973). Kemudian 1973-1998 melakukan subsidi harga pada pupuk impor dan pupuk produksi dalam negeri.
Periode kedua berlangsung pada 1999-2001 yang disubsidi adalah bahan baku pembuatan pupuk yaitu subsidi gas. Kepada perusahaan produsen pupuk diberikan Insentif Gas Domestik (IGD) dengan harga US$ 1,3/MMBTU.
Pemerintah menanggung selisih antara harga gas yang dipasok ke produsen pupuk dengan harga gas di pasaran. Sumber biaya yang digunakan pemerintah berasal dari APBN dan dan talangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Migas.
Periode ketiga berlangsung antara tahun 2003-2005 dengan melakukan kombinasi subsidi harga dan subsidi gas. Subsidi gas pada produk pupuk urea, sedangkan subsidi harga untuk produk non-urea. Sasaran subsidi gas adalah produsen pupuk dengan besaran subsidi US$ 1,0/MMBTU.
Sedangkan subsidi harga pupuk non-urea menggunakan formula: penjumlahan Harga Pokok Produksi (HPP) dan biaya distribusi dikurangi Harga Eceran Tertinggi (HET) dikalikan dengan volume produksi. Sumber anggaran subsidi harga dan subsidi gas berasal dari APBN.
Periode keempat, berlangsung pada tahun 2006 sampai sekarang menggunakan sistem subsidi harga.
Formula yang digunakan pada sistem subsidi harga berupa: selisih antara HET dengan HPP dan biaya distribusi dikalikan volume produksi maka itulah angka subsidi yang ditanggung pemerintah menggunakan anggaran APBN.
Mengutip pendapat Susila (2010), kebijakan subsidi pupuk dilakukan dengan latar belakang karena pupuk merupakan faktor kunci dalam meningkatkan produktifitas dan subsidi dengan harga pupuk yang lebih murah akan mendorong peningkatan penggunaan input tersebut.
Subsidi pupuk juga untuk merespons kecenderungan kenaikan harga pupuk di pasar internasional dan penurunan tingkat keuntungan usaha tani.
Kebijakan subsidi pupuk juga bertujuan untuk untuk memenuhi enam prinsip dalam penyaluran pupuk yaitu tepat jenis, tepat harga, tepat waktu, tepat tempat, tepat jumlah dan tepat mutu. Resultannya adalah subsidipupuk diharapkan dapat meningkatkan produktifitas pertanian dan kesejahteraan petani.
Kebijakan subsidi pupuk bagi petani adalah bentuk lain dari pemihakan pemerintah bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan petani. Meski banyak kebijakan lain yang dapat mendorong peningkatan taraf hidup petani selain subsidi pupuk, seperti kebijakan harga bawah dan harga atas serta harga pembelian pemerintah, kebijakan menyerap gabah/beras dan pangan lain melalui Bulog, kebijakan pengendalian rekomendasi impor pangan, dan kebijakan asuransi usaha tani serta kebijakan reformasi agraria untuk merombak struktur penguasaan tanah karena rata-rata penguasaan tanah pada petani hanya sekitar 0,3 hektare sehingga banyak petani yang tidak punya tanah yang akhirnya memilih menjadi buruh tani.
Pupuk Bersubsidi
Pupuk pada dasarnya adalah mata dagangan yang diperdagangkan di pasar komersial baik pasar nasional maupun pasar internasional. Rusia dan China adalah dua negara eksportir besar pupuk dunia. Sebagai mata dagangan, harga pupuk urea di pasar internasional berkisar US$ 785 atau setara Rp12.320.000 per ton. Sementara pupuk urea di pasar domestik sebesar Rp9,6 juta per ton lebih murah sebesar Rp2,7 juta.
Lain halnya dengan pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaannya dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar kebijakan pemerintah. Desain kebijakan pupuk bersubsidi di Indonesia dalam rangka keikutsertaan petani mendukung ketahanan pangan nasional, bukan semata-mata didesain untuk meningkatkan taraf hidup petani menjadi sejahtera.
Sebagai barang komersial yang disubsidi oleh pemerinntah, maka Ombudsman RI memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan disebabkan pengadaannya mendapatkan anggaran negara. Ketika pupuk mendapatkan subsidi dari negara, maka pupuk bersubsidi menjelma dari barang privat/komersial menjadi barang publik. Pupuk bersubsidi ketika menjadi barang publik secara otomatis berubah menjadi domain pengawasan Ombudsman RI sebagaimana kewenangan yang dimandatkan oleh Negara melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Pengawasan pupuk bersubsidi seyogyanya mulai dari hilir hingga ke hulu. Pengawasan dari hulu dimulai dari proses awal perencanaan anggaran dan perencanaan penerima manfaat. Meski demikian, di Indonesia perencanaan anggaran dan kebijakan dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) termasuk anggaran pupuk bersubsidi. Anggaran pupuk bersubsidi pada tahun 2021 mencapai Rp25,2 triliun untuk volume pupuk bersubsidi sebanyak 7,2 juta ton, sementara pada tahun anggaran 2020 mencapai Rp32,5 triliun untuk volume 9,1 juta ton.
Sedangkan perencanaan penerima subsidi yakni petani yang bergabung dalam kelompok tani yang didaftar oleh admin Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang berada pada Balai Penyuluh Pertanian (BPP) pada setiap tingkat kecamatan.
Sedangkan pengawasan dari hilir adalah pelaksanaan penyaluran pupuk bersubsidi yang mencakup empat lini distribusi: lini pertama produsen pupuk, lini kedua distributor pupuk, lini ketiga pengecer pupuk/pemilik kios dan lini keempat adalah kelompok tani. Keempat lini penyaluran pupuk bersubsidi ini dilakukan sepenuhnya oleh PT Pupuk Indonesia beserta jaringan distributor pada setiap wilayah kabupaten, serta pengecer pada setiap kecamatan atau desa.
Berdasarkan kajian cepat Ombudsman RI Perwakilan Sulsel, potensi maladministrasi pada penyaluran pupuk bersubsidi dapat terjadi pada lini tiga ke lini empat meski potensi yang sama dapat pula terjadi pada lini satu ke lini dua meski agak kecil peluangnya karena mitra relatif telah menerapkan pemantauan distribusi logistik pupuk bersubsidi secara terkomputerisasi antar wilayah.
*Muslimin B Putra adalah kepala Bidang Pencegahan pada Ombudsman RI Sulsel