Selasa, 10 November 2020 10:14

Pahlawan Makassar di Perang Surabaya (Refleksi 10 November 1945)

Zulkifli Mappasomba
Zulkifli Mappasomba

10 November, salah satu bagian hari bersejarah bangsa ini. Bangsa Indonesia yang baru saja memproklamirkan negerinya untuk merdeka, menghadapi tantangan baru.

Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia dan tentara Britania Raya dan India Britania. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945.

Pasukan manca daerah yang tergabung dalam laskar arek-arek Suroboyo menjadi salah satu peristiwa bersejarah paling utama yang turut menggiring bangsa ini berjibaku membentangkan merah putih di puncank hotel Oranje (sekarang bernama hotel Majapahit).

Untuk mengetahui banyak sejarah peristiwa 10 November. Buku-buku sekolah, jurnal ilmiah, maupun artikel pakar sejarah sudah banyak mengulas tentang itu. Tokoh-tokoh yang terlibat dijelaskan begitu detail sosok dan perannya.

Umumnya, ingatan memori kolektif kita pada defenisi pahlawan hanya bertumpu pada orang per orang yang kebetulan saja lebih banyak mengambil peran strategis pada saat itu. Padahal peristiwa perang kala itu tidak dilakukan segelintir orang, tetapi banyak yang terlibat begitu ihklas demi bangsanya merelakan dirinya melawan maut serta mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan negeri ini.

Olehnya itu, perlu juga kita telusuri sosok lain yang juga terlibat bergerak membangun kekuatan kolektif di medan perang.

Pertempuran memang terjadi di Surabaya. Tetapi kali ini, saya berusaha mengungkap sosok lain yang punya peran dan patut di apresiasi sebagai bagian dari keteladanan yang perlu dibanggakan.

Saat perang maha dahsyat itu terjadi selama dua pekan lamanya. Ternyata bukan hanya orang-orang Jawa yang terlibat aktif disana. Ada juga pasukan dari Makassar dan sangat memungkinkan dari daerah lain di seantero Nusantara. Sebab mereka mempunyai visi yang sama berbarengan dengan nasibnya sebagai bangsa yang beru merdeka.

Tersebutlah Pejuang Daeng yang terhubung dalam kesatuan arek-arek Suroboyo. Ia berasal dari Takalar. Merantau ke Jawa Timur sekitar tahun 1925 bersama dengan orang-orang dari Sulawesi lainnya yang menyingkir meninggalkan tanah airnya. Kabarnya, mereka menjadi intaian Belanda yang dianggap ekstrimis berbahaya. Sehingga dengan alasan keamanan, mereka kemudian mencari tempat baru yang memungkinkan mereka bisa hidup menegakkan jati dirinya "Siri'-nya".

Pejuang Takalar ini mempunyai kesatuan yang mereka sebut "Bukkuru Topejawa", orang-orang yang berasal dari Tope Jawa diantaranya Daeng Se're, Daeng Gassing, Baco Bantang dan beberapa orang lainnya.

Kelompok lain yang terlibat adalah "Pappasang Galesong" yang di pimpin oleh Daeng Ngasa, orang-orang dari Sinjai yang digelari "Kaddaro Tongoloka" oleh Tata Gassing.

Kelompok-kelompak dari Sulawesi ini membangun aliansi yang bernama "Bulo Sibatang", untuk saling mengikat hubungan emosional diantara mereka.

Pada perkembangan berikutnya, keterlibatannya diketahui ikut serta dalam perang di jembatan merah. Menurut informasi dari Hamzah Nyangka salah satu cucu pejuang Sulawesi di Surabaya, mengatakan pertempuran yang berlangsung begitu sengit itu dihadapi dengan gagah berani sehingga jembatan itupun menjadi merah kerena darah para pahlawan yang gugur saat berjuang.

Mereka semualah yang menjadi bagian dari perang Surabaya. Menyaksikan gegap gempita yang tak gentar melawan desingan peluru dan ganasnya letusan molotov dari segala penjuru.

Jadi, momentum hari Pahlawan ini. Marilah mengenali para pahlawan yang sarat dengan nilai-nilai keteladanan. Jangan pernah abaikan, betapa banyak tokoh-tokoh lokal lain tersebar di berbagai penjuru Indonesia yang masih perlu diangkat keberadaannya melalui tradisi penelitian untuk dituliskan pada generasi baru yang butuh asupan sejarah yang sarat nilai untuk membangkitkan semangat Nasionalisme dan kecintaannya pada Indonesia.