Mengapa Pemilu Harus Februari 2024?
PERDEBATAN mengenai kapan jadwal pasti pelaksanaan Pemilu 2024 masih terus bergulir. Tarik ulur antara DPR, pemerintah dan KPU, terus berjalan dengan masing-masing pihak bertahan pada keinginannya.
Padahal sebenarnya, UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemilu sudah jelas menggarisbawahi bahwa KPU adalah satu-satunya lembaga yang berhak menentukan hari, jadwal, dan tahapan pemilu.
Campur tangan pemerintah dan DPR menekan KPU membuat semuanya menjadi kacau. KPU sudah menegaskan akan menggelar pemilu yang bersamaan dengan pilpres pada bulan Februari 2024 dan pilkada di November 2024.
Namun adanya keinginan pemerintah yang mendesak pemilu ke April atau Mei 2024, membuat KPU tak bisa serta merta menetapkan jadwalnya.
Imbasnya, tahapan Pemilu 2024 menuju pada ketidakpastian. Pasalnya, hari H pemilu akan menjadi patokan KPU untuk memulai tahapan awal.
Berdasarkan UU Pemilu, tahapan akan dimulai setidaknya 25 bulan sebelum hari pemungutan suara. Dengan tak adanya jadwal hari H secara pasti membuat KPU juga tak bisa menentukan awal "kick off".
Saya adalah orang yang sepakat Pemilu 2024 digelar pada Februari 2024. Ini merujuk pada pengalaman empirik ketika menjadi penyelenggara pemilu. Meski jadwal tahapan pemilu sudah disusun dengan timeline yang terukur oleh KPU, tapi sejatinya jadwal itu sering tak seperti perencanaan awal.
Dengan adanya pilkada yang sudah ditetapkan waktunya oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 pada November 2024, maka menyelenggarakan Pemilu 2024 yang berdekatan dengan pilkada adalah juga berarti meningkatkan potensi kerawanan.
Setidaknya ada tiga tahapan krusial yang membuat pemilu dan pilkada tak boleh berdekatan. Pertama, tahapan rekapitulasi suara dari tingkat TPS hingga rekapitulasi suara nasional.
KPU dalam PKPU jadwal dan tahapan biasanya sudah mematok awal dan akhir waktu rekapitulasi di tiap tingkatan.
Namun, faktanya karena begitu rumitnya sistem penghitungan suara di pemilu membuat penyelenggara seringkali harus melanggar batas waktu akhir.
Contoh misalnya, penghitungan suara di tingkat TPS yang seharusnya selesai di hari yang sama, namun lebih banyak TPS yang baru bisa menyelesaikan penghitungan suaranya keesokan harinya. Yang paling parah terjadi di rekapitulasi suara tingkat kecamatan.
Di Makassar, misalnya, dengan jumlah TPS tiap kecamatan yang ada mencapai 400 buah, seringkali rekapitulasi suara PPK baru kelar hingga dua pekan.
Satu kecamatan yang terhambat rekapitulasinya akan membuat rekap kabupaten/kota juga molor begitulah dengan rekap provinsi dan juga nasional.
Alasan kedua mengapa pemilu tak bisa didekatkan dengan pilkada adalah jadwal tahapan sengketa perolehan suara antar parpol yang panjang.
Meski KPU dan juga MK sudah menetapkan time line tahapan ini tetapi banyaknya masalah yang muncul membuat sengketa biasa berkepanjangan.
Apalagi, kadangkala bukan hanya sengketa antar parpol yang masuk ke dalam materi gugatan tetapi juga sengketa perolehan suara antar caleg internal parpol yang seharusnya tak ditangani MK.
Berdasarkan pengalaman pemilu tahun sebelumnya, MK disibukkan dengan sengketa pemilu yang bukan merupakan sengketa hasil pemilu. Untuk memutuskan bahwa perkara tersebut tidak bisa dilanjutkan oleh MK, tetap harus memeriksa berkas sebelum membuat putusan.
Pemeriksaan berkas tersebut, menyita waktu yang cukup banyak, padahal dapat digunakan untuk menangani perkara lain yang memang merupakan kewenangan MK.
Selain itu, tahapan pemutakhiran data juga bakal menyulitkan KPU. Pasalnya, hasil pemutakhiran data Pemilu tak bisa dipakai KPU untuk menyusun data pemilih Pilkada dan hanya menjadi pembanding saja. Akibatnya, KPU mesti mengulang lagi tahapan pemutakhiran data pemilih yang akan makin rumit jika berdekatan dengan jadwal pemilu.
Maka, rentang waktu dari Februari 2024 menuju November 2024 yang mencapai delapan bulan adalah rentang yang longgar untuk mendapatkan hasil pemilu dan pilkada yang berkualitas. (*)
*Dr Nurmal Idrus, MN adalah direktur MeanPoll Research dan ketua KPU Makassar 2013