Mencoreng Tata Niaga Minyak Goreng
Ketersediaan minyak goreng menjadi tugas pemerintah sebagai bagian dari menjaga ketahanan pangan rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui, minyak goreng adalah salah satu dari Sembilan Bahan Pokok (Sembako) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Dalam Perpres tersebut di atas pada Pasal 2 ayat 6 poin (a) dibedakan atas tiga jenis barang kebutuhan pokok yakni barang kebutuhan pokok hasil pertanian, barang kebutuhan pokok hasil industri, dan barang kebutuhan pokok peternakan dan perikanan.
Minyak goreng, tepung terigu, dan gula tergolong kebutuhan pokok hasil industri. Ketersediaan dan kestabilan harga kebutuhan pokok menjadi tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengendalikannya. Karena itu kebutuhan pokok telah menjadi barang publik yang wajib dipastikan ketersediaannya oleh pemerintah sehingga menjadi dasar bagi Ombudsman untuk senantiasa mengawasi kinerja pemerintah dalam langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan untuk mengendalikan harga dan ketersediaan minyak goreng.
Kebijakan Pemerintah
Sejak awal tahun berbagai kebijakan pemerintah dikeluarkan untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng pada seluruh negeri, tetapi hingga kurang satu bulan sebelum memasuki bulan Ramadan minyak goreng masih belum terkendali. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak sawit nomor satu di dunia sejak tahun 2006 menggeser Malaysia. Produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Minyak sawit adalah bahan dasar pembuatan minyak goreng yakni CPO (Crude Palm Oil/minyak sawit mentah).
Serangkaian kebijakan pemerintah dikeluarkan Kementerian Perdagangan yaitu Peraturan Nomor 1, Nomor 3, dan Nomor 6. Pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022, pemerintah memerintahkan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menyediakan minyak goreng kemasan sederhana untuk kebutuhan masyarakat. Kemudian terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 sejak 19 Januari 2022 untuk menganulir Permendag Nomor 1 Tahun 2022. Perubahan kedua kebijakan ini terletak pada prosedur dan mekanisme pembayaran dana pembiayaan minyak goreng kemasan sederhana yang sebelumnya harus melalui komite pengarah BPDPKS menjadi manajemen atau direksi BPDPKS.
Pada 26 Januari 2022, Kementerian Perdagangan kembali menetapkan kebijakan melalui Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Kelapa Sawit. Pada Pasal 3 ayat 2, ditetapkan HET minyak goreng dalam tiga klasifikasi: harga minyak goreng curah per liter sebesar Rp11.500,00, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500,00, dan kemasan premium Rp14.000,00. Peraturan ini mewajibkan pengecer mengikuti HET kepada konsumen (masyarakat, usaha mikro, dan usaha kecil).
Kebijakan lainnya yang ditempuh pemerintah adalah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk mengembalikan situasi normal bagi industri yang memproduksi minyak goreng. Kebijakan DMO adalah kewajiban bagi eksportir minyak goreng untuk memenuhi pasokan di dalam negeri dari seluruh minyak goreng yang akan diekspor. DMO ditetapkan 20 persen pada 27 Januari 2022 kemudian dinaikkan menjadi 30 persen pada 10 Maret 2022 untuk memastikan kecukupan kebutuhan minyak goreng di dalam negeri.
Kepada media (Bisnis.com), Kemendag melaporkan minyak goreng curah dan kemasan hasil DMO itu sudah tersalurkan sebanyak 415.787 ke pasar pada Selasa (8/3/2022). Distribusi minyak goreng murah hasil DMO diperkirakan sudah melebihi kebutuhan konsumsi minyak goreng satu bulan yang mencapai 327.321 ton.
Kebijakan DMO tampaknya belum memiliki payung hukum yang jelas, tetapi dapat berdampak baik bagi konsumen dalam negeri untuk mendapatkan minyak goreng pada harga yang sudah dipatok pemerintah sesuai Permendag Nomor 3 Tahun 2022. Mungkin karena fluktuasi harga berlangsung dinamis dalam pasar internasional sehingga pemerintah belum berani menetapkan dalam satu regulasi persentase DMO yang ideal untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri dengan kepentingan produsen minyak goreng pada permintaan pasar internasional.
Penetapan DMO 30 persen diprotes oleh pengusaha minyak nabati melalui Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga. Menurutnya, pasokan dari hasil DMO sebelumnya sudah melimpah yang berhasil mengumpulkan 415.780 kiloliter minyak goreng dari hasil DMO dalam 22 hari. Angka tersebut telah melebihi kebutuhan minyak goreng didalam negeri selama satu bulan yang sebesar 330.000 kiloliter (Liputan6.com).
Hasil Pemantauan Ombudsman
Minyak goreng sebagai satu dari sembilan bahan pokok (sembako) yang menjadi tugas pemerintah untuk menjamin keterserdiaannya bagi warga negara, mendorong Ombudsman RI memantau pelaksanaan Permendag Nomor 6 Tahun 2022. Hasil pemantauan Ombudsman menunjukkan tingkat kepatuhan pada HET hanya sekitar 12,82 persen di pasar tradisional dan 10,19 persen pada pengecer tradisional dari 311 sampel lokasi pada 34 provinsi. Sementara, pada pasar modern mencapai 69,85 persen dan pengecer modern sebesar 57,14 persen tingkat kepatuhannya pada Permendag Nomor 6 Tahun 2022.
Dari segi harga bervariasi pada kisaran Rp14.500 hingga Rp48.000 per liter untuk minyak goreng sawit (MGS) kemasan premium. Harga tertinggi kemasan premium di pasar tradisional ditemukan di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan NTB. Meski beberapa titik sampel harga kemasan premium sesuai HET di pasar tradisional yaitu di Pasar Teluk Kering Kota Batam, Pasar Karang Anom Klaten Jawa tengah, Pasar Ukti Harjo Kidul Kota Semarang, dan Pasar Hamadi Jayapura, seperti yang dipaparkan Yeka Hendra Fatika pada konferensi pers, Selasa (22/02/2022).
Pemantauan Ombudsman Sulsel pada pasar tradisional dan pasar modern juga menemukan hal yang sama pada aspek tingkat kepatuhan harga eceran tertinggi sesuai Permendag Nomor 6 Tahun 2022. Pada pasar tradisional dan toko kelontong rata-rata menjual diatas HET mengikuti harga pasar sementara pasar modern relatif patuh pada HET meski yang dipasarkan adalah barang minyak goreng stok lama sebelum keluarnya peraturan Menteri Perdagangan.
Namun, toko kelontong kebanyakan sudah tidak mendapat pasokan dari toko grosir untuk kemasan premium sehingga berakibat kelangkaan untuk penjualan kepada konsumen. Sementara, di pasar modern relatif memiliki persediaan yang terbatas sehingga dilakukan pengaturan penjualan pada konsumen masing-masing satu orang hanya diberikan satu kemasan dua liter dengan harga Rp28.000.
Dari hasil pemantauan Ombudsman menyarankan kepada pemerintah agar Satgas Pangan untuk melakukan penindakan kepada pihak yang melakukan penimbunan. Penimbunan bisa dilakukan oleh produsen dengan cara menahan hasil produksi, bisa juga dilakukan oleh distributor karena relatif memiliki gudang untuk menampung dan menimbunnya serta bisa pula dilakukan oleh pengecer (besar dan kecil). Tentunya tugas Satgas Pangan untuk memastikan pihak-pihak yang melakukan praktik penimbunan minyak goreng yang masih langka. (*)