Arief Wicaksono
Dekan Fisip Universitas Bosowa, Peneliti Penta Helix Indonesia
Rabu, 19 Januari 2022 13:09

Melawan Budaya Anarkis di Makassar; Sinergi Aksi Mahasiswa dan Masyarakat

Arief Wicaksono, Dekan Fisip Universitas Bosowa, Peneliti Penta Helix Indonesia.
Arief Wicaksono, Dekan Fisip Universitas Bosowa, Peneliti Penta Helix Indonesia.

Surat tersebut menggambarkan bahwa mahasiswa Makassar sudah seperti layaknya De Maccasare Zee Rovers, bajak laut Makassar yang ditakuti VOC pada masa Karaeng Galesong, sebuah kelompok yang selalu memiliki energi melawan ketertiban, dan seringkali memungut batu sebagai senjata. Surat terbuka E.S. Ito tersebut selalu menjadi polemik, pemantik, sekaligus sebagai bahan bakar pada setiap rencana aksi mahasiswa di Makassar, yang secara sengaja direpetisi dan disebarkan melalui pesan-pesan grup WhatsApp, dengan tujuan membakar semangat untuk turun ke jalan agar semakin membara.

Konstruksi Realitas Palsu
Jika kita adalah orang yang lahir, tumbuh, dan besar di Makassar, maka judul artikel ini harusnya dapat dianggap mencurigakan, karena terbangun semacam kesan bahwa di Makassar, istilah anarki yang merujuk kepada kerusuhan, kekerasan, dan pengrusakan telah menjadi budaya. Padahal, di Makassar tumbuh sangat subur nilai-nilai lokal yang otentik seperti sipakatau (memanusiakan manusia), sipakalebbi (saling menghargai sesama manusia), dan sipakainge (saling mengingatkan).

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan persisnya stereotype bahwa orang Makassar itu kasar tersematkan. Namun yang jelas, otentisitas nilai lokal tersebut di atas, tidak akan pernah hilang ditelan zaman. Dalam karya seminalnya yang berjudul Simulation, sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, menggarisbawahi bahwa visi tentang dunia, diimajinasikan sebagai dunia yang lebih ajaib, lebih menakjubkan, dan lebih segala-galanya daripada dunia yang sebenarnya. Dengan kata lain, realitas telah dipalsukan sedemikian rupa sehingga gambaran asli tentang dunia tertutupi oleh tatanan (order) yang disebut sebagai simulakra.

Demikianlah kenyataan tentang Makassar yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, sangat menghargai sesama, dan senantiasa saling mengingatkan, diproduksi oleh imajinasi berdasarkan model-model yang tidak memiliki asal-usul dan referensi yang jelas, dan secara artifisial terus menerus direproduksi sebagai sebuah kenyataan baru: Makassar adalah kasar, terkebelakang, anarkis, rusuh, dan oleh karena itu, rusak.

Konstruksi sosial palsu tersebut sebenarnya telah mendapatkan perlawanan yang cukup sengit oleh ratusan komunitas masyarakat sipil lokal Makassar pada sekitar tahun 2011-an. Perlawanan itu berupa kampanye yang bertajuk Makassar Tidak Kasar yang gaungnya cukup luas dan intens. Intensitasnya bahkan memunculkan respon dari beberapa kalangan, termasuk dari kalangan dosen dan mahasiswa yang tidak secara spesifik lahir, tumbuh dan besar di Makassar.

Dalam berbagai pertemuan nasional kampus-kampus yang sifatnya resmi atau tidak resmi, atau dalam momentum lain yang mempertemukan berbagai insan pendidikan tinggi, selalu muncul pertanyaan apakah benar Makassar tidak kasar, karena selama ini informasi yang mereka terima adalah informasi tentang image yang sebaliknya. Rupanya memang ada yang salah disitu, dimana nampaknya telah terjadi semacam obesitas informasi stadium empat yang menggerogoti kesadaran dan nalar.

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa sebagai insan pendidikan tinggi yang idealnya adalah entitas yang rasional, sehingga dengan demikian diharapkan akan selalu mengedepankan sikap positif dalam merespon sesuatu, tak luput dari fenomena konstruksi sosial yang digambarkan oleh Baudrillard. Terlebih di era saat ini, dimana semua tatanan telah terdisrupsi sehingga tidak ada lagi demarkasi yang tegas tentang baik atau tidak baik, dan benar atau tidak benar, karena yang jelas hanya, untung atau rugi.

Dengan situasi seperti itu, maka tidak heran jika gerakan mahasiswa masa kini, lebih banyak ahistoris dan akhirnya terjebak dalam pusaran arus romantisme, heroisme, dan jargonistik, karena mereka telah gendut kekenyangan oleh hibridasi antara citra dan ketidakjelasan tujuan bermahasiswa. Doktrin beserta ruang-ruang ekspresi dan kreasi kemahasiswaan telah dirampas paksa oleh televisi, internet, gadget, dan yang terakhir, cuan.

Bagaimana kemudian Soekarno sebagai founding fathers bangsa ini, bisa berharap besar kepada sepuluh orang pemuda untuk bisa mengguncang dunia, jika dunia kemahasiswaan saja telah ikut dipalsukan? Bagaimana mungkin masyarakat akar rumput bisa menyandarkan masa depan mereka kepada mahasiswa yang katanya, gerakannya selalu ditunggu untuk membawa perubahan, jika untuk berubah saja mereka berpikir untung-rugi? Bagaimana bisa, mahasiswa berteriak lantang membela kepentingan wong cilik, tapi cara hidupnya justru elitis? Demikianlah berbagai kontradiksi menyeruak bagaikan aroma bumbu mie instan goreng ditengah dingin dan gemuruh hujan.

Semua pemikiran ini berdasar pada sebuah genealogi yang jelas, bahwa mahasiswa bukan hanya sekadar insan pendidikan tinggi saja, mahasiswa adalah bagian penting dari kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini. Asal usul mereka dari masyarakat, oleh karena itu pada khittahnya-lah jika mahasiswa bergerak, hidup dan berjuang untuk masyarakat. Namun demikian, tidak akan mungkin juga gerakan mahasiswa akan mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat jika budaya anarkis, rusuh, kasar, rusak yang palsu itu tetap bangga disandang pundak.

Apalagi mahasiswa Makassar, mereka pantang dipandang sebagai komoditas yang dilabeli kasar dan anarkis, seperti nilai-nilai yang disematkan oleh E.S. Ito di atas. Mahasiswa Makassar bukanlah barang dagangan yang terbungkus gambar bajak laut yang ditakuti penjajah, mereka adalah generasi otentik yang positif, siap bersinergi dan collabs dengan seluruh elemen masyarakat, untuk perubahan dan masa depan Makassar yang lebih baik. (*)

Pampang, 17 Januari 2021