Dr. med.vet. drh. Abdul Rahman
Fungsional Medik Madya di Direktorat Kesehatan Hewan
Rabu, 30 Juni 2021 16:49

Jenis Penyakit Cacing Penyebab Turunnya Produksi dan Reproduksi Sapi di Indonesia

Dr. med.vet. drh. Abdul Rahman.
Dr. med.vet. drh. Abdul Rahman.

DALAM rangka meminimalisir kerugian ekonomi, kesehatan manusia, lingkungan, keresahan masyarakat, kematian hewan yang tinggi dan/atau potensi masuk dan menyebarnya penyakit hewan, perlu dilakukan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular.

Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 juncto Nomor 41 Tahun 2014 tentang Petemakan dan Kesehatan Hewan, perlu menetapkan jenis penyakit hewan menular strategis dengan Keputusan Menteri Pertanian.

Berdasarkan ketentuan dimaksud, Menteri Pertanian menetapkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/kpts/ot.140/ 4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis.

Adapun jenis PHMS yang penyakitnya sudah ada di Indonesia, sebagai berikut: Anthrax, Rabies; Salmonellosis, Brucellosis (Brucella abortus), Highly pathogenic Avian Influenzq dan Low Pathogenic Avian Influenza, Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome, Helminthiasis, Haemorrhagic Septicaemia/Septicaemia Epizootica, Nipah Virus encephalitis, Infectious Bovine Rhinotracheitis, Bovine tuberculosis, Lepiospirosis, Brucellosis (Brucella suis), Penyakit Jembrana, Surra, Paratuberculosis, Toxoplasmosis, Classical Swine Fever (CSF), Swine Influenza Novel (HlNl}, Campylobacteriosis, Cysticercosis, dan Q Fever.

Pada tulisan ini akan membahas mengenai penyakit kecacingan (Helminthiasis) yang selama ini pengendalian dan penanggulanganya kurang optimal. Penyakit cacing (kecacingan) menyerang spesies ruminansia besar sapi dan kerbau di Indonesia.

Parasit cacing pada organ pencernaan menimbulkan masalah utama pada kesehatan hewan yang digembalakan, dengan beberapa faktor predisposisi seperti; iklim hangat, kelembaban tinggi, dan curah hujan tinggi.

Infeksi cacing parasit pada sapi terutama disebabkan oleh: Paramphistome, Strongyle, Fasciola gigantica, Toxocara vitulorum, Moniezia benedeni, Trichuris sp, dan Strongyloides sp. Strongyle: Mecistocirrus digitatus, Haemonchus placei, Cooperia spp, Trichostrongylus spp, Oesophagotomum spp, Nematodirus spp, dan Bunostomum.

Kasus kecacingan di peternakan sapi potong rakyat mencapai 90?hkan lebih (Abidin, 2002; Suhardono, 2005). Purnomo et al. (2011) di Jawa prevalensi nematodiasis 38%; fasciolosis 29%; dan coccidiosis 3,8%. Berikut gambar 1 di bawah ini ditunjukkan gejala klinis sapi yang menderita penyakit kecacingan.

Gambar 1: Sapi yang sedang terinfeksi parasit cacing atau penyakit kecacingan, menunjukkan gejala klinis: diare, kurus, bulu kasar, dan anemia.

Infeksi parasit cacing pada ternak sapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: hewan, lingkungan, dan tatalaksana. Hewan dalam hal ini ternak sapi dapat terinfeksi oleh parasit cacing, karena imunitas menurun, pada umur mudah rentang, genetik kurang baik, bunting, nutrisi kurang, dan hypobiosis (Ridwan, Y. tahun 2021).

Kondisi cacing yang hypobiosis yaitu fenomena berhentinya perkembangan pertumbuhan cacing Nematoda di luar tubuh induk semang pada titik tertentu misalnya saat musim dingin dan musim panas yang lama. Saat ternak sapi memakan rumput terkontaminasi parasit cacing dalam kondisi hypobiosis, tetapi dalam usus ternak sapi parasit cacing tersebut dapat bereproduksi kembali secara normal.

Pengaruh lingkungan tergantung spesies dari cacing, suhu, kelembaban, cahaya matahari, dan lokasi pengembalaan. Infeksi parasit cacing pada ternak sapi juga dipengaruhi oleh tatalaksana pemeliharaan oleh peternak, misalnya pada sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara pengembalaan, perkandangan, pakan, dan pemberian terapi anthelmintik.

Misalnya pada cacing Nematoda dapat menginfeksi ternak sapi disebabkan oleh tatacara beternak digembalakan, frekuensi pengembalaan dilakukan tiap hari, tempat pengembalaan pada area padang rumput, pemberian pakannya lebih banyak atau dibagian bawah ¾ jerami, serta frekuensi pemberian obat cacing kurang disiplin.

Sedang infeksi Trematoda sama dengan penyebab infeksi Nematoda kecuali pada tempat pengembalaan di sawah dan perkebunan, rumput dalam kondisi segar, sumber air dari sungai. Gambar 2 berikut di bawah ini menunjukkan secara fisik cacing Nematoda dan Trematoda.

Gambar 2: Cacing Nematoda berbentuk panjang, langsing, silindris, struktur mulut tersusun secara radial, sedang Trematoda dengan morfologi: pipih, tidak bersegmen, tidak memiliki rongga badan, 2 batil isap: mulut dan perut, saluran percernaan berbentuk Y.

Penyakit kecacingan mengakibatkan kerugian ekonomi besar, menurut laporan Direktorat Kesehatan Hewan tahun 2021 bahwa penyakit ini menyebabkan kehilangan daging 100 gram per hari, jika nilai kerugiannya dikonversi ke dalam rupiah dapat mencapai Rp5 triliunan per tahun.

Tinjauan ini hanya satu aspek sehingga jika dihitung kerugiannya dari aspek lain seperti; kematian pedet dan sapi muda, penurunan performa reproduksi, penurunan berat badan, umur pubertas menjadi lebih panjang sekitar 6 bulan (butuh waktu lebih panjang untuk mencapai berat reproduksi), Calving interval menjadi lebih panjang 18-31 bulan, hewan menjadi lebih rentan, dan biaya pengendalian, maka kerugian ekonomi dapat mencapai puluhan triliun rupiah pertahun.

Kerugian lain yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasit secara klinik, seperti: diare, bottle jaw, anemia, bulu kasar, sedang secara subklinik, seperti: penurunan berat badan, produksi susu, performa reproduksi, pertumbuhan, lebih rentan, pengaruh negatif respon imun, kerusakan jaringan langsung dan penurunan fungsi dari organ yang terserang, pengalihan sumber energi dan protein: produksi untuk mekanisme sistem imun, dan menurunkan konsumsi pakan (feed intake).

Peternak kecil umumnya memperoleh pengobatan anthelmintak hanya pada saat tertentu oleh pemerintah daerah secara masal. Kondisi tersebut menyebabkan penyebaran penyakit kecacingan semakin luas di Indonesia pada berbagai jenis ternak seperti domba, kambing, rusa dan sebagainya.

Terapi terhadap penyakit kecacingan melalui pemberian obat-obatan anthelmentika akan menghasilkan peningkatan Average Daily Gain (ADG) minimum sebesar 0,1 kg per hari atay body condition scoring (BCS) dan secara umum akan meningkatkan status reproduksi maupun mempertinggi daya tahan tubuh atau status kesehatan hewan (Prastowo, J. tahun 2021).

Pencegahan penyakit kecacingan dapat dilakukan melalui pengelolaan parasit cacing secara terintegrasi dan berkelanjutan, yakni dengan suatu sistem pengelolaan peternakan secara terpadu dengan lingkungan dan parasit.

Selain memperhatikan tatalaksana dan genetik sapi secara baik, juga harus mengelola lingkungan peternakan seperti kebersihan kandang, keamanan dan potensi pakan, dan pengelolaan limbah ternak sebagai sumber energi terbarukan dan aman terhadap lingkungan tidak menulari penyakit patogen atau infeksious.

Pengendalian parasit cacing dapat dilakukan melalui musim penggembalaan saat musim panen, sehingga suhu panas sebagai kondisi yang tidak disenangi oleh parasit. Termasuk juga kelembaban harus diperhatikan, sehingga kandang tidak lembab sebagai salah cara pengendalian cacing. Artinya kandang harus bersih, matahari cukup, dan suhu panas.

Penyakit kecacingan pada ternak sapi di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Trilyunan rupiah, sehingga perlu upaya khusus, serius, fokus, komitmen, dan kontinyu dalam pengendalian dan penanggulangannya.

Upaya tersebut antara lain: perlu adanya pendampingan yang intensif pada kelompok ternak secara komprehensif yang melibatkan dinas, Unit Pelaksana Teknis (UPT), Balai Penelitian, perguruan tinggi dan kelompok ternak dalam hal good farming practices (GFP) dan good veterinary practices (GVP).

Upaya lainnya adalah peningkatan penggunaan beberapa alat dan metode diagnostik yang saat ini tersedia untuk menilai dampak ekonomi dari infeksi cacing pada peternakan sapi perah.

Juga termasuk anamnesis kelompok dalam kombinasi dengan uji titer antibodi dan uji pepsinogen serum, serta ELISA dari sampel susu tangki terhadap O. ostertagi, F. hepatica dan D. viviparus (Charlier, J. et al. 2016). Penggunaan diagnostik ini diintegrasikan kedalam perkiraan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat penyakit kecacingan untuk pengambilan keputusan pengendalian kecacingan secara efektif dan efisien.

Diharapkan setelah program dan kegiatan tersebut diatas dilaksanakan, kendala dan akibat yang ditimbulkan penyakit kecacingan selama ini dapat diatasi dengan baik, sehingga produksi dan reproduktivitas ternak sapi meningkat dan petani memperoleh keuntungan secara maksimal, serta mendukung ketahanan pangan nasional dibidang protein hewani. (*)