Bukan IDI, KKI yang Berwenang Berhentikan Dokter Terawan
Regulasi itu di antaranya Undang-Undang Nomor (UU) 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011, Kode Etik Kedokteran Indonesia IDI, Pedoman MKEK-IDI, dan lain-lain yang relevan. Berdasarkan kajian tersebut saya mengajukan pendapat hukum sebagai dosen ilmu hukum dan praktisi hukum sebagai berikut.
1. Bahwa tidak sepatutnya (jika benar) Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)-Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ataukah polemik yang berkembang saat ini mengaitkan praktik kedokteran dr. Terawan tersebut dengan disertasi dan gelar doktor dr. Terawan di Universitas Hasanuddin (Unhas).
Sebab, disertasi tersebut walaupun merupakan riset ilmiah di bidang ilmu kedokteran, tetapi output atau tujuannya adalah untuk pencapaian gelar akademik doktor di bidang ilmu kedokteran, dan hal itu murni wilayah otonom dunia akademik dalam hal ini Unhas.
2. Bahwa praktik kedokteran dr. Terawan yg menerapkan metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau Brain Wash (BW) "cuci otak" pada prinsipnya legitimasi yuridis-praktisnya semata mata bersumber pada legitimasi profesinya sebagai dokter (dokter spesialis radiologi) dan bukan bersumber dari gelar akademik doktornya atau disertasinya di Universitas Hasanuddin tersebut.
Demkian halnya secara formal tidak satupun orang atau lembaga manapun yang berhak mendiskreditkan atau membatalkan hasil riset ilmiah mahasiswa di perguruan tinggi kecuali oleh Perguruan Tinggi itu sendiri yang belakangan ditemukan fakta bahwa hasil riset ilmiah itu merupakan duplikasi atau plagiat atau dengan alasan pelanggaran akademik lain. Namun, kalaupun terjadi perdebatan soal materi (isi) riset ilmiah tersebut, maka hal itu wajar saja dalam dunia akademik serta hal itu dapat dibantah melalui hasil riset ilmiah yang serupa.
3. Bahwa jika dalam praktik kedokteran dr. Terawan yg menerapkan metode DSA/BW tersebut dinilai mengandung cacat ilmiah atau kesalahan karena dinilai masih merupakan praklinis yang belum melalui uji klinis (based evidence), maka hal itu sebenarnya bukan ranah MKEK-IDI untuk menilainya, tetapi merupakan ranah atau wewenang MKDKI/KKI.
4. Bahwa eksistensi rekomendasi MKEK-IDI yang (katanya) merekomendasikan kepada pimpinan IDI untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian dr. Terawan sebagai dokter pada prinsipnya adalah salah materi muatan (salah kaprah). Sebab, yang berwenang untuk merekomendasikan pemberhetian seorang dokter dari profesinya adalah MKDKI berdasarkan suatu pengaduan.
Selanjutnya rekomendasi tersebut disampaikan kepada pimpinan KKI untuk menjatuhkan sanksi. Sebagaimana halnya tanda registrasi dokter itu ditetapkan oleh KKI serta izin praktik dokter itu ditetapkan oleh pejabat pemerintah bidang kesehatan yang berwenang. Bahwa jika rekomendasi MKEK-IDI itu sebatas merekomendasikan pemberhentian sebagai anggota IDI, ya, hal itu sah dan boleh-boleh saja.
Sebab, pada dasarnya IDI sebagai organisasi yang disegani sangat bertanggung jawab secara moral dan sosial (publik) terhadap setiap perilaku dan tindakan praktik kedokteran dari tiap dokter yang menjadi anggotanya, maka pengetatan aturan etik dan penjatuhan sanksi etik kepada anggotanya yang melanggar etik merupakan keniscayaan bagi IDI.
Walaupun demikian, yang mesti dipahami dengan benar adalah IDI itu merupakan organisasi independen sebagai organisasi profesi dokter dan bukan lembaga pemerintah yang diberi wewenang oleh UU untuk mengangkat atau memberhentikan dokter di Indonesia.
5. Secara konstitusional bukan hanya IDI saat ini yang dapat menjadi organisasi/wadah tunggal profesi dokter. Adalah sangat dimungkinkan membentuk "IDI-IDI lain" (organisasi profesi kedokteran lain) sepanjang hal itu diperlukan oleh para dokter Indonesia, yaitu dalam rangka kebebasan berpendapat dan berorganisasi yang dijamin oleh UUD dan UU. (*)