Beras dan Kemiskinan
RAKYATKU.COM - COVID-19 telah memorak-porandakan perekonomian Indonesia di tahun 2020 hingga terkontraksi sebesar -2,07 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Melemahnya ekonomi nasional menggerus daya beli masyarakat yang turut terkontraksi sebesar -2,63 persen, jauh lebih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi 2019 yang mencapai 5,04 persen.
Pandemi ini juga mengerek jumlah penduduk miskin Indonesia hingga mencapai 27,55 juta jiwa pada September 2020, meningkat 1,13 juta jiwa jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta jiwa jika dibandingkan dengan September 2019. Tren penurunan kemiskinan seakan terhenti di September 2019. Persentase kemiskinan Indonesia kembali menyentuh 2 digit yaitu sebesar 10,91 persen atau meningkat sebesar 0,97 persen poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Meskipun demikian persentase jumlah penduduk miskin ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil simulasi Bank Dunia yang mengestimasi tingkat kemiskinan Indonesia akan berada di kisaran 10,7 persen--11,6 persen.
Beras dan rokok kretek ternyata masih menjadi kontributor terbesar terhadap pembentukan garis kemiskinan. Di daerah perkotaan beras menyumbang 16,58 persen terhadap garis kemiskinan. Bahkan di daerah perdesaan kontribusi ini lebih besar lagi yaitu mencapai 21,89 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan harga beras berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat miskin dan rentan. Ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat mutlak diperlukan jika tidak ingin jumlah penduduk miskin makin melejit. Perbaikan tata niaga beras perlu segera dilakukan.
Berdasarkan hasil Survei Pola Distribusi Perdagangan Komoditas Beras 2020 terdapat kenaikan harga sebesar 22,34 persen antara harga gabah di tingkat petani dibandingkan dengan harga beras yang harus dibayar oleh konsumen akhir. Tingginya harga beras nyatanya tidak dinikmati oleh petani melainkan justru diterima oleh distributor dan pedagang eceran.
Ini berarti kebijakan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) belum cukup efektif melindungi petani karena faktanya harga pasar justru jauh lebih tinggi. Jika hal ini tidak segera ditindaklanjuti maka daya beli petani akan semakin memburuk. Bahkan dalam jangka panjang bukan tidak mungkin jumlah petani akan semakin menyusut karena sektor pertanian dianggap tidak cukup menjanjikan secara finansial. Lalu bagaimana pemenuhan kebutuhan pangan kita selanjutnya?
Penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras pun tampaknya belum bisa melindungi konsumen. Harga beras di pasar-pasar retail selalu konsisten di atas HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan Permendag No. 57 Tahun 2017, HET beras premium ditetapkan berkisar Rp9.450--Rp10.250 per kilogram, tetapi rata-rata harga beras domestik tahun 2020 menurut Pusat Informasi Harga Pasar Strategis (PIHPS) sebesar Rp11.800 per kilogram.
Selain perbaikan tata niaga beras dan penjaminan stabilitas harga beras di pasaran, masalah produksi beras juga cukup krusial. Selama periode 2018-2020 perkembangan produksi beras nasional belum cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil kegiatan Kerangka Sampel Area (KSA), produksi beras nasional pada tahun 2018 mencapai 33,94 juta ton namun kemudian menurun 7,75 persen di tahun berikutnya menjadi 31,31 juta ton. Sementara itu produksi beras di tahun 2020 hanya meningkat tipis sebesar 0,08 persen menjadi 31,33 juta ton.
Beragam program untuk menggenjot produksi pangan khususnya beras telah dilakukan. Perluasan Areal Tanam Baru (PATB) khususnya untuk komoditas padi telah digulirkan sejak beberapa tahun yang lalu dan terus menjadi prioritas hingga kini. Program ini memanfaatkan lahan baru yang belum pernah ditanami seperti tumpangsari dengan areal perkebunan, kehutanan, lahan rawa, lahan galian eks tambang dan sebagainya. Tak cukup sampai disitu, Kementan pun menargetkan peningkatan produktivitas pangan melalui penggunaan bibit berlabel, subsidi pupuk serta dukungan infrastruktur penunjang.
Namun, peningkatan luas panen khususnya padi nampaknya belum sesuai dengan harapan. Luas panen nasional justru menurun sebesar 6,15 persen selama kurun waktu 2018-2019 yaitu dari 11,38 juta hektare pada tahun 2018 menjadi 10,68 juta hektaret di tahun 2019. Angka luasan panen ini terus menurun di tahun 2020 sebesar 0,19 persen menjadi 10,66 juta hektare.
Proyek food estate seluas 30 ribu hektare di Kalimantan Tengah nyatanya belum mampu mendongkrak luas panen padi nasional, bahkan luas panen di Kalimantan Tengah pada tahun 2020 justru menurun 1,96 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di sisi lain, kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi dalam jumlah dan waktu yang tepat juga sering dikeluhkan petani nyaris disetiap musim tanam. Ditengarai hal ini terjadi karena pupuk subsidi hanya dapat diakses oleh petani yang menjadi anggota kelompok tani. Padahal masih banyak petani di Indonesia tidak tergabung dalam kelompok tani. Belum lagi berbagai persoalan administrasi yang kerap muncul dalam proses distribusi pupuk subsidi.
Di samping berbagai permasalahan tersebut, petani juga masih harus menghadapi kondisi cuaca dan iklim yang terkadang tidak cukup bersahabat dalam budidaya padi. Kemarau panjang kemudian disusul dengan hujan yang terus menerus bahkan hingga menyebabkan banjir tak jarang membuat petani justru harus mengalami puso.
Perlu kerja sama lintas sektor dalam penanganan masalah beras di Indonesia. Kebijakan terkait beras perlu difokuskan pada upaya evaluasi dan perbaikan berbagai program, kebijakan maupun metode penghitungan yang telah dilakukan selama ini.
Hal ini dilakukan untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan harga beras oleh masyarakat, sebagai salah satu langkah antisipasi mencegah lonjakan jumlah kemiskinan apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum mampu pulih dari pandemi.