Akankah UMKM Sejahtera dengan Berjualan di TikTok?
PARA pedagang di Pasar Tanah Abang dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjerit akibat omzet penjualan yang anjlok parah. Mereka menyatakan penurunan omzet terjadi setelah aplikasi TikTok Shop merajalela belakangan ini. Aplikasi itu membuat pasaran digempur habis-habisan oleh produk impor murah. Sejumlah pedagang mengaku, sebelum ramai TikTok Shop, mereka bisa mengantongi puluhan juta per hari. Namun, kini ada dari mereka yang bahkan pernah hanya mendapat satu pembeli dalam sehari. (CNN Indonesia, 20 September 2023)
Sejalan dengan Aisyah, seorang owner keripik pisang asal Kota Makassar juga mengakui persaingan di TikTok sangat besar. Hal ini dipengaruhi beberapa penjual membuka harga yang sangat murah, sehingga dapat merugikan penjual lainnya. "Di TikTok itu banting harga, bisa berdampak penjual lainnya, pemerintah harus turun tangan," ujarnya. (Tribun Timur, 18 September 2023)
Bagaimanapun, fenomena TikTok Shop ini memang meresahkan pelaku UMKM di Indonesia. Pasalnya, barang jualan pedagang asli Indonesia di toko offline maupun marketplace lainnya kalah saing dengan produk Tiktok Shop yang sangat murah.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana melarang platfrom media sosial seperti TikTok yang menawarkan layanan e-commerce dalam aplikasi yang sama. Langkah ini dilakukan demi melindungi UMKM dari gempuran barang impor. Pengaturan tersebut rencananya akan tertuang dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020.
Kendati demikian, rencana itu tidak sepenuhnya didukung seluruh elemen pemerintah. Misalnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, yang khawatir pelarangan TikTok secara total (total ban) justru akan mengganggu pelaku UMKM yang bermain di sana. Alasannya, jika total ban, sedangkan pengguna TikTok ini sudah di atas 100 juta, pasti akan menghasilkan perubahan susunan yang terlalu besar pada saat ini.
Sementara itu, analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, mengatakan pemerintah sebaiknya berhitung cermat perihal rencana pelarangan TikTok Shop. Ia mengingatkan jangan sampai karena pemerintah gagal meningkatkan kapasitas UMKM dalam memanfaatkan pasar digital, fasilitas online yang semestinya bisa membantu UMKM malah dilarang.
Mencermati hal ini, kita tidak boleh lupa akan adanya pasar persaingan sempurna. Pasar persaingan sempurna adalah sebuah struktur pasar yang di dalamnya terdapat banyak penjual atau perusahaan yang menghasilkan barang ataupun memberikan pelayanan kepada pembeli di pasar tersebut.
Selain itu, pasar persaingan sempurna ada karena melihat potensi pasar shoppertainment, yaitu cara berjualan berbasis konten interaktif yang menghibur untuk memengaruhi pengambilan keputusan konsumen. Ini yang menjadikan siapa pun ingin menguasainya. Inilah satu alasan mengapa Indonesia kerap kebanjiran barang-barang impor sehingga produk lokal UMKM kalah bersaing. Terlebih, adanya platfrom media sosial dan layanan e-commerce yang sama dalam satu aplikasi menjadikan praktik bisnis end to end, yaitu bisnis yang menggunakan sistem atau layanan dari awal hingga akhir tanpa menggunakan pihak ketiga, tidak terhindarkan.
Sebagai contoh, minimarket dengan nama berbeda, tetapi lokasinya saling berdekatan, bahkan turut bersaing dengan toko kelontong tradisional. Begitu pula supermarket yang lokasinya berdekatan dan bersaing dengan pasar tradisional untuk saling berkompetisi menarik konsumen. Selain itu, adanya pasar bebas, pasar global, dan perdagangan bebas juga termasuk kontrak perjanjian pasar persaingan sempurna.
Hal ini juga tidak terlepas dari Indonesia yang menyepakati perjanjian perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yaitu antara negara ASEAN dengan Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Perjanjian ini digadang gadang akan mampu memulihkan perekonomian yang sempat anjlok di saat pandemik. Ternyata, di balik berbagai perjanjian selalu ada aktor utama yang memainkan peran, yaitu negara negara maju.
Perjanjian ini pun menjadi rezeki nomplok bagi Cina dalam memperkuat posisi mereka sebagai mitra ekonomi dengan Asia. Hal inilah menjadi salah satu faktor penyebab barang lokal kalah bersaing dengan barang impor. Seperti negara-negara lain yang menerapkan sistem aturan kapitalisme, perjanjian dagang internasional tersebut tidak melenceng dari tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kerja sama bagi warga negaranya.
Ditambah lagi, praktik predatory pricing dengan “bakar uang” kerap dilakukan platfrom digital asing yang memiliki banyak modal. Sementara, pemerintah sendiri tidak memiliki regulasi untuk menghentikan praktik “bakar uang” tersebut, padahal praktik tersebut tentu merugikan para pebisnis kecil.
Pemerintah diminta mencari akar persoalan di lapangan, sebab jika dilihat dari inovasi dan kemudahan orang berbelanja, platfrom media sosial yang bergabung dengan e-commerce justru memudahkan pembeli dan penjual. Sementara, yang menjadi persoalan adalah banjirnya barang impor sehingga pelaku UMKM kalah bersaing. Sudah seharusnya pemerintah mampu melihat akar persoalannya sehingga regulasi yang ditetapkan bisa tepat. Banyaknya barang impor yang masuk dan mengalahkan produk lokal, inilah yang harus menjadi fokus.
Alih-alih menetapkan kebijakan larangan TikTok berjualan, seharusnya pemerintah memperbaiki ekosistem bisnis demi melindungi produk lokal. Misalnya, dengan kebijakan transportasi yang memudahkan distribusi barang. Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, pencabutan subsidi BBM dan penguasaan transportasi oleh swasta terus dilakukan. Bukankah kebijakan ini bertolak belakang dengan perlindungan barang lokal? Andai pemerintah fokus memperbaiki ekosistem usaha dalam negeri, niscaya apa pun inovasi teknologinya, maka kesejahteraan UMKM akan terjamin. Inilah realitas yang harus dipahami ketika hidup dalam naungan sistem kapitalisme.
Kapitalisme memang mustahil menanggulangi berbagai masalah kehidupan termasuk dalam sektor perdagangan barang. Justru, perdagangan pasar bebas hari ini di kapitalisasi hanya dikuasai oleh orang-orang pemilik modal saja. Mereka yang akan meraup keuntungan banyak dengan adanya digitalisasi pasar hari ini. Berbeda dengan masyarakat yang harus bersusah payah membangun usahanya dan ketika terjun dalam digitalisasi pasar, malah dikuasai oleh para kapitalis.
Lihat saja pada berbagai kebijakan pencabutan subsidi, juga kapitalisasi sejumlah fasilitas publik. Rakyat pun dibiarkan berjuang sendiri dalam rangka mengais rezeki. Oleh karena itu, sejujurnya, mustahil mengharapkan perlindungan nyata dari penguasa negara bersistem kapitalisme terhadap adanya pasar bebas sebagaimana TikTok Shop. Hal ini tercermin dari perbedaan pandangan antara Mendag dengan Menparekraf tadi.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam/khalifah itu junnah (perisai), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah 'azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya." (HR Muslim).
Jika melihat dari sudut pandang Islam, maka Islam sangat memberi ruang terhadap perkembangan teknologi sebab inovasi akan memudahkan urusan hidup manusia, tentu selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariat. Adapun solusi Islam terkait masalah ini sebagai berikut.
Pertama, Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan rakyatnya sehingga pemerintah akan menjamin kesejahteraan rakyatnya, baik dengan mekanisme ekonomi, yaitu memudahkan seseorang untuk bekerja maupun menciptakan ekosistem bisnis yang baik.
Kedua, Islam mempersilakan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar yang jumlahnya terbatas dalam Khilafah. Jika pelaku bisnis adalah warga Khilafah baik muslim ataupun nonmuslim maka tidak dibebani biaya tarif apa pun. Namun, jika pelaku bisnis adalah kafir muahid akan dikenakan tarif sesuai dengan perjanjian khalifah. Selain itu, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham. Hal ini untuk melindungi pedagang kecil agar bisa bersaing dengan pedagang besar. Seperti inilah mekanisme perjanjian perdagangan luar negeri khilafah yang sesuai dengan syariat Islam yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Ketiga, negara memiliki regulasi yang sesuai dengan syariat dan memihak rakyat. Misalnya, larangan ghabn fahisy, yaitu penipuan dengan cara menaikkan atau menurunkan harga barang secara keji (jauh dari harga pasar). Predatory pricing adalah praktik yang mirip dengan ghabn fahisy sehingga pelakunya harus ditindak dan diberi sanksi.