RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Komunitas ojek online (ojol) dari di Sulawesi Selatan (Sulsel) menyatakan penolakan terhadap rencana penurunan komisi dari 20 persen menjadi 10 persen. Mereka kompak menyuarakan dukungan terhadap skema komisi 20 persen yang dinilai adil dan menguntungkan mitra.
Penolakan ini muncul pasca aksi 177 di Monas yang memicu perdebatan publik terkait skema potongan dari aplikator. Sejumlah komunitas ojol di Sulawesi Selatan (Sulsel) kini angkat suara menolak narasi bahwa penurunan komisi akan menguntungkan mitra.
Para driver menilai skema potongan 20 persen selama ini telah memberikan kepastian pendapatan dan berbagai fasilitas tambahan. Komisi tersebut dianggap sebagai bagian dari sistem keberlanjutan ekosistem transportasi online.
Ketua komunitas Unit Reaksi Cepat Makassar Gowa Maros (URC MGM), Budi Yaya, mengatakan skema 20 persen sudah menjadi bagian dari kesejahteraan mitra. Ia menyebut potongan itu disertai benefit yang nyata di lapangan.
"Kami tetap mendapatkan bantuan asuransi, layanan bantuan 24 jam, GrabBenefits, dan pusat pengaduan yang aktif. Itu sudah sangat membantu kami di lapangan. Kalau sistem seperti ini tiba-tiba diganti tanpa pertimbangan yang matang, maka yang akan paling terdampak adalah kami sendiri yang tiap hari menggantungkan hidup dari jalan," ujar Budi dalam keterangannya, Senin (21/7/2025).
Ketua Komunitas Grab Bike Sektor Manggala, Yohanes, menilai kebijakan penurunan komisi tanpa strategi jelas bisa merugikan ekosistem. Ia menyoroti pentingnya menjaga operasional aplikator tetap sehat.
"Kalau aplikasi sehat, driver pun ikut aman. Jangan hanya lihat dari angka potongan saja. Tanpa insentif dan promo, order bisa sepi. Itu yang justru bisa menghancurkan penghasilan kami," katanya.
Nurmila Burhan dari Grab Gowa Community juga menentang rencana tersebut. Dia mengingatkan dampaknya bukan hanya ke driver, tapi juga UMKM yang bergantung pada platform digital.
"Aplikator bukan cuma soal driver, tapi juga ribuan pelaku UMKM yang bergantung pada platform. Jangan gegabah ambil keputusan hanya karena tekanan pihak-pihak yang tidak tahu kondisi lapangan," sebutnya.
Arif Budianto dari Grab Hero Community menganggap komisi 20 persen masih layak selama aplikator memberikan layanan timbal balik. Potongan itu disebut sebagai bagian dari sistem perlindungan mitra.
"Kami tidak keberatan selama ada timbal balik yang jelas dan menguntungkan. Kalau aplikator ditekan dan rugi, yang paling duluan kena dampaknya pasti kami, driver di jalan," ucapnya.
Sultan dari Komunitas Sapu Rata Kota Desa ikut angkat bicara. Ia menegaskan suara mitra aktif harus jadi rujukan dalam penyusunan kebijakan.
"Kami yang tiap hari kerja harusnya jadi sumber suara utama. Bukan orang yang sudah pensiun dari jalanan tapi masih ingin atur sistem,” tuturnya.
Dukungan terhadap skema 20 persen juga datang dari komunitas lain di Sulsel. Mereka menyatakan sikap secara kolektif.
Beberapa di antaranya adalah Syamsul Katarri (GrabBike Selebritas Jalanan), Sulaiman (Grab Makassar Community), Abdul Hafids (Grab Bulo Sibatang), Eka Prasetya (Mega Antang), Ahmad (Solidaritas Biringkanaya Community), dan Adri Priandi (Solidaritas GrabBike Kota Daeng). Mereka menegaskan komisi bukan sekadar potongan, tapi penopang layanan transportasi online nasional.
Potongan tersebut dipakai untuk mendanai layanan pelanggan, asuransi, bonus kinerja, pelatihan, hingga promosi pengguna. Jika dipangkas, aplikator dikhawatirkan kehilangan daya saing dan kualitas layanan akan menurun.
Para komunitas ini berharap Kementerian Perhubungan dan Komisi V DPR RI mendengar suara mitra aktif di lapangan. Mereka meminta kebijakan dibuat secara berimbang demi keberlanjutan ekosistem digital.