Rabu, 03 Maret 2021 11:02

Pelanduk Kalimantan Kembali setelah 172 Tahun Hilang

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
(Foto: M Rizky Fauzan via KLHK)
(Foto: M Rizky Fauzan via KLHK)

Meski endemik Kalimantan, Indonesia memiliki sumber informasi yang sangat terbatas mengenai burung ini. Koleksi referensinya ada di Belanda dan tidak ada spesimen yang bisa dijadikan bahan penelitian.

RAKYATKU.COM - Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan, dua warga Kalimantan Selatan, tidak pernah menduga burung yang mereka temukan awal Oktober 2020, menyingkap misteri berumur 172 tahun mengenai Pelanduk Kalimantan.

Merasa tidak mengenal burung itu, mereka kemudian memotret dan mengirimkannya ke anggota komunitas pengamat burung. Dalam beberapa hari, foto burung itu menjadi bahan diskusi dan muncul kesimpulan awal bahwa apa yang terekam dalam foto itu adalah gambar Pelanduk Kalimantan meski dibayangi sejumlah keraguan.

Teguh Willy Nugroho dari Balai Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Selatan yang turut dalam proses identifikasi mengaku, perbedaan dengan awetan burung yang ada menjadi sumber keraguan.

“Yang membuat kami tim di sini kebingungan karena asumsi bahwa burung yang ditemukan adalah Pelanduk Kalimantan, tetapi nyatanya dengan awetan berbeda, dari warna iris, warna paruh ataupun warna dari kaki,” kata Teguh, Selasa (2/3/2021).

Beberapa literatur yang ada menyatakan warna kaki Pelanduk Kalimantan merah muda. Iris matanya, dalam burung awetan yang tersedia, juga berwarna kuning.

Namun, setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata bola mata di burung awetan itu adalah organ palsu tambahan. Pemberian warna kuning menjadi keputusan pembuat burung awetan tersebut.

Dalam perjalanan berbulan-bulan, sekelompok peneliti kemudian menyusun tulisan yang kemudian terbit di Jurnal Birding Asia volume 34, 25 Februari 2021 lalu. Pelanduk Kalimantan secara resmi dinyatakan telah kembali, setelah hilang lebih dari 170 tahun.

Deskripsi terakhir dari burung ini diketahui dibuat oleh ahli burung dari Perancis, Charles Lucien Bonaparte pada 1850. Deskripsi itu didasarkan pada spesimen yang dikumpulkan pada 1840-an, oleh seorang pakar geologi dan peneliti binatang dan tanaman asal Jerman, Carl A.L.M. Schwaner.

Pelanduk Kalimantan disebut di dunia internasional sebagai Black-browed Babbler. Burung ini bahkan disebut sebagai teka-teki terbesar dalam ornitologi Indonesia.

Menurut Tri Haryono, peneliti burung di Pusat Penelitian Biologi-LIPI, data Pelanduk Kalimantan atau Malacocincla Perspicillata ini memang sangat minim tersedia.

“Dari data yang ada sebelumnya, disampaikan bahwa ini mempunyai sebaran di sekitar Martapura. Kalimantan Selatan, dan dinyatakan sebagai endemik Kalimantan,” kata Haryono.

Meski endemik Kalimantan, Indonesia memiliki sumber informasi yang sangat terbatas mengenai burung ini. Koleksi referensinya, kata Haryono, ada di Belanda dan tidak ada spesimen yang bisa dijadikan bahan penelitian.

Karena itulah, Haryono memaklumi ketika pada awalnya, para peneliti kesulitan ketika menemukan ciri-ciri karakter, dan kemudian harus disesuaikan dengan beberapa panduan.

“Tantangannya memang spesies ini tidak mencolok dan kurang teramati, kemudian juga tidak termasuk dalam spesies yang menjadi perhatian kita semua. Kurangnya survei lapangan sehingga banyak sekali informasi yang belum terungkap, dan itu hanya beberapa buku dan publikasi yang ada sangat terbatas,” tambahnya.

Di dunia ini, Pelanduk Kalimantan juga hanya ditemukan di kawasan tersebut. Karena itu, ketika peneliti lain mengakses sumber informasi, kadangkala kesulitan karena yang ada tinggal berbentuk gambar.

Banyak penelitian harus dilakukan, kata Haryono untuk mengisi data-data yang masih penuh lubang. Misalnya soal karakter genetiknya yang belum ada, karakter perilakunya seperti apa, kebiasaannya belum diketahui, dan suaranya belum terekam.

Dari sisi ekologi, perlu juga diteliti terkait populasinya dan sebarannya dimana saja. Para ahli juga harus menjawab pertanyaan terkait reproduksinya, pakan dan sebagainya.

Indra Eksploitasia, Direktur Konservasi Keanegaragaman Hayati, KLHK menilai temuan ini menjadi salah satu prestasi para peneliti. Apalagi, mereka kemudian menyusun tulisan yang kemudian dimuat dalam jurnal yang sangat prestisius di dunia burung.

“Setelah 172 tahun, kita menemukan kembali burung Pelanduk Kalimantan yang disangka telah punah, tetapi ternyata tidak punah. Ini suatu hal yang luar biasa,” kata Indra.

Indra setuju dengan pernyataan Haryono, bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan terkait kemunculan kembali Pelanduk Kalimantan. Dia menekankan, di satu sisi para peneliti tertantang menguak lebih dalam segala hal terkait burung ini, dan bersamaan itu pemerintah akan bergerak dalam konservasinya.

“Kita minta bantuan LIPI untuk memberikan rekomendasi, sebagai otoritas keilmuan, kepada kami untuk memasukkan ini sebagai spesies dilindungi. Artinya, sambil jalan kita melakukan dua hal, penelitian dan kebijakan konservasi agar spesies ini tetap lestari di habitat alam,” tandas Indra.

Sumber: VOA Indonesia

#Pelanduk Kalimantan #Kalimantan Selatan