Dugaan Nurdin Abdullah menerima suap untuk membayar utang kampanye akan didalami dengan memanggil beberapa saksi.
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami motif Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah nekat melakukan praktik korupsi. Nurdin diduga melakukan rasuah untuk mengembalikan modal kampanye pada Pilgub Sulsel 2018 lalu.
"Tugas penyidik untuk mendalami uang itu untuk apa saja. Apakah misalnya lari karena biaya kampanyenya sangat besar, dia dapat sponsor dari pengusaha lokal setempat," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 2 Maret 2021.
Menurut dia, kemungkinan Nurdin menerima suap untuk mengembalikan modal kampanye amat kuat. Pasalnya, kata dia, kebanyakan kepala daerah berutang budi kepada sponsor dalam mencari modal kampanye.
"Sehingga merasa punya kewajiban untuk membayar utang itu tadi dengan berikan kontrak proyek kepada rekanan yang mungkin mendukungnya atau tim kampanye yang bersangkutan," ujar Alex.
Saat ini, KPK belum bisa membeberkan informasi lebih detail terkait dugaan Nurdin menerima suap untuk membayar utang kampanye. Namun, hal ini akan didalami kepada beberapa saksi yang bakal dipanggil.
"Pasti nanti terungkap di persidangan," tutur Alex.
Nurdin bersama Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel Edy Rahmat dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto, dibekuk KPK pada Jumat, 26 Februari 2021. Uang Rp2 miliar diduga terkait suap disita KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu.
KPK kemudian menetapkan ketiganya menjadi tersangka kasus suap dan gratifikasi pada proyek kawasan wisata Bira, Bulukumba. Nurdin dan Edy menjadi tersangka penerima suap, sedangkan Agung tersangka pemberi suap.
Nurdin dan Edy dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Agung dikenakan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.