Jumat, 29 November 2019 19:16

Ravi Kumar Berjuang Mendapatkan Hak Ateis: Memuja Dewa Krishna, tetapi Dia Tidak Menyelamatkan Saya

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ravi Kumar berjuang mendapatkan sertifikat pengakuan resmi tentang statusnya sebagai ateis. (Foto: BBC)
Ravi Kumar berjuang mendapatkan sertifikat pengakuan resmi tentang statusnya sebagai ateis. (Foto: BBC)

Ravi Kumar berjuang mendapatkan sertifikat pengakuan resmi tentang statusnya sebagai ateis.

RAKYATKU.COM - Ravi Kumar berjuang mendapatkan sertifikat pengakuan resmi tentang statusnya sebagai ateis. Namun, langkah itu justru membuatnya berurusan dengan pihak berwenang India.

Ravi Kumar (33) mengaku menyadari bahwa dia tidak mempercayai Tuhan itu ada tatkala umurnya baru enam atau tujuh tahun. Seperti dilaporkan oleh wartawan BBC Geeta Pandey dari Tohana, India utara.

"Pada hari Dewali setiap tahun, ayah saya membeli lotre dan memuja Dewi Lakshmi, tetapi dia tidak pernah menang undian. Dan kemudian, empat anak laki-laki memukuli saya dan saya memuja Dewa Krishna untuk meminta bantuan, tetapi dia tidak menyelamatkan saya," kata pria yang bertato besar pada kedua lengannya dengan tulisan 'Atheist'.

Di rumahnya di Tohana, sekitar 250 kilometer dari ibu kota India, Delhi, dia menunjukkan "harta bendanya yang paling berharga". Itu adalah sertifikat yang menyatakan dia tidak menjadi bagian dari "kasta, agama dan Tuhan".

Dikeluarkan pada 29 April di atas kertas berkop pemerintah Negara Bagian Haryana, sertifikat itu diteken oleh seorang pejabat Tohana.

Namun malangnya, satu tahun kemudian pihak berwenang mencabut sertifikat tersebut dengan alasan mereka "melampaui kewenangan mereka" dan meminta Kumar untuk mengembalikannya.

Ravi Kumar menolak dan sebaliknya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Punjab dan Haryana.

Pengadilan menolak banding pada September. Hakim beralasan Pasal 25 Konstitusi India menjamin "haknya sebagai ateis" tetapi tidak ada landasan hukum untuk mengeluarkan dokumen seperti itu.

Pria yang mencari nafkah sebagai tukang cat dan tidak menamatkan kuliahnya tersebut menegaskan ia tidak menyerah. Kini ia sedang mempersiapkan untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tinggi dan juga telah menulis surat kepada presiden India untuk meminta bantuan.

"Pengadilan tinggi menyatakan saya tidak memerlukan sertifikat, tapi itu perlu," tandasnya.

"Ketika pemerintah mengeluarkan sertifikat agama atau kasta warga, saya juga mempunyai hak untuk memiliki sertifikat yang menyatakan saya sebagai ateis. Saya juga adalah warga negara ini."

Di India, seseorang memerlukan sertifikat agama hanya ketika ia mengubah keyakinannya. Dan sertifikat kasta diberikan kepada mereka yang berasal dari kelompok-kelompok terpinggirkan dan ingin mengisi kuota lapangan kerja di pemerintahan atau tempat di universitas.

Keluarga Ravi Kumar termasuk kasta rendah tetapi ia bersumpah bahwa perjuangannya itu tidak dilandasi kepentingan untuk mencari keuntungan apapun.

Satu-satunya alasan di balik keinginannya untuk mendapat sertifikat adalah sebagai bentuk pernyataan.

Pada September 2017 ia mulai menempuh jalur hukum agar diizinkan menggunakan kata ateis sebagai bagian dari namanya. Upaya tersebut membuahkan hasil pada tanggal 2 Januari 2018 ketika hakim menyatakan Kumar berhak menggunakan nama "Ravi Kumar Ateis" dalam dokumen resmi.

Setelah ia berhasil mengubah namanya di ijazah, akte kelahiran, kartu tanda penduduk dan kartu bank, maka ia lantas meminta kepada pihak berwenang untuk mengeluarkan "sertifikat tidak berkasta, tidak beragama dan tidak bertuhan". Ravi Kumar pun berhasil mendapatkannya.

Namun setelah kabar itu diberitakan oleh berbagai saluran berita, para pejabat menyadari mereka "melampaui kewenangan mereka" dan mengatakan mereka tidak berwenang menyatakan apakah ada Tuhan atau tidak.

Mereka meminta Ravi Kumar mengembalikan dokumen resmi tersebut dan berjanji akan menggantinya dengan sertifikat yang dimodifikasi dengan status ateis tak berkasta. Akan tetapi ia menolaknya.

Berdasarkan data sensus, 33.000 warga India mengaku sebagai ateis, persentase yang sangat kecil di negara yang penduduknya mencapai 1,3 milyar jiwa itu.

Kendati demikian, agama dan identitas agama mendominasi sebagian besar aspek kehidupan di India, terutama selama satu dekade terakhir seiring dengan peningkatkan nasionalisme Hindu, dan mayoritas ateis memilih untuk menutup diri menyangkut keyakinan mereka.

Menyatakan diri secara terbuka sebagai ateis bisa membahayakan, di antaranya dikucilkan oleh teman dan keluarga. Dalam contohnya yang ekstrem seperti kasus tahun 2017 di India selatan, seorang ateis dan nasionalis yang vokal dibacok hingga meninggal dunia.

Sumber: BBC Indonesia