Senin, 18 November 2019 05:00

Indonesia dan Malaysia akan Sepakati Perbatasan di Wilayah Sungai Simantipal

Fathul Khair Akmal
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, 29 Juni 2018. (Foto: AP)
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, 29 Juni 2018. (Foto: AP)

Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan menyepakati batas negara di wilayah Sungai Simantipal, dan Titik C500-C600 Kecamatan Sebatik dalam nota kesepahaman yang akan ditandatangani pada pekan depan di

RAKYATKU.COM - Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan menyepakati batas negara di wilayah Sungai Simantipal, dan Titik C500-C600 Kecamatan Sebatik dalam nota kesepahaman yang akan ditandatangani pada pekan depan di Kuala Lumpur.

Direktur Topografi Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Asep Edi Rosidin mengatakan, patok batas antara kedua negara di dua titik tersebut sudah terpasang di lapangan. Batas di dua titik itu telah ditentukan melalui survei bersama yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia.

Dari 2.016 kilometer panjang perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan, menurut Asep terdapat sembilan titik sengketa outstanding boundary problem (OBP) yang telah dibahas sejak 1974.

OBP terbagi ke dalam dua bagian, yaitu Barat dan Timur. Terdapat empat OBP di Barat, yaitu Batu Aum, Gunung Raya, Titik D400, dan Sungai Buan/ Gunung Jagoi.

Sedangkan, di kawasan timur ada lima OBP antara Kalimantan Utara dan Sabah, yakni Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Simantipal, Titik B2700-B3100, dan Titik C500-C600.

Perselisihan di lima OBP di bagian Timur tersebut sudah selesai. Tiga titik sudah memasuki proses demarkasi atau penandaan batas negara, yaitu Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, dan Titik B2700-B3100.

"Tapi yang proses MoU besok (pekan depan( yang ditandatangani di Malaysia dalam pertemuan JIM (Joint Indonesia-Malaysia meeting) itu dua: OBP Simantipal dan OBP C500-C600," kata Asep.

Sedangkan empat OBP di Barat, lanjut Asep, sudah mulai dibicarakan secara internal Indonesia maupun dengan pihak Malaysia. Bahkan keempat OBP di Barat tersebut akan dibahas pula dalam JIM di Malaysia minggu depan.

Asep berharap agar pemerintah bisa menyelesaikan negosiasi sengketa empat OBP di bagian Barat Indonesia dengan Malaysia. Hal ini dilakukan untuk menghindari eskalasi konflik. Ia mengatakan pemerintah Indonesia dengan Malaysia akan mulai membicarakan empat OBP di bagian barat dalam MoU.

Kedua pemerintahan mereferensi batas negara melalui kajian dan survei berdasarkan peta perbatasan yang telah disepakati sejak zaman penjajahan Belanda-Inggris yakni Konvensi 1891, perjanjian 1915, dan perjanjian 1928.

Saat ini sudah terpasang 20.569 pilar batas di perbatasan Indonesia-Malaysia sepanjang 2.016 kilometer. Jarak antar pilar maksimum 400 meter. Tapi, menurut Asep, jarang yang berjarak sampai 400 meter, rata-rata jarak antar pilar batas kurang dari 200 meter.

Menurut Asep, TNI akan mengusulkan penambahan dan perbaikan sejumlah pos perbatasan dengan Malaysia. Dengan penambahan dan perbaikan pos tersebut akan dapat meningkatkan wilayah yang dapat dipantau melalui patroli rutin.

Untuk mengamankan perbatasan Indonesia dengan Malaysia lanjutnya TNI telah menerjunkan empat batalion, dengan alokasi dua batalion di Kalimantan Barat serta masing-masing satu batalion di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Dia menganggap jumlah personel sebanyak empat batalion tersebut cukup ideal.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ganewati Wuryandari menjelaskan saat ini sudah banyak kemajuan pembangunan di Malaysia. Dia mencontohkan ketika dirinya pertama kali ke Kabupaten Sanggau yang berbatasan dengan Malaysia, perjalanan ditempuh dalam 4,5 jam. Tapi sekarang ke Sanggau dapat ditempuh kurang dari dua jam.

Dari hasil peneltiannya, lanjut Ganewati, ada sejumlah alasan kenapa warga Indonesia di perbatasan tidak mau pindah menjadi warga Malaysia atau tinggal di negara tetangga tersebut. Salah satunya adalah mereka akan menjadi warga negara kelas dua kalau pindah ke Malaysia.

"Dari aspek pendidikan, memang dulu masyarakat kita yang menjadi pekerja perkebunan di Malaysia itu mendapat pendidikan bagi anaknya sampai SMP. Sekarang tidak lagi. Sampai SD sudah tidak diberikan fasilitas pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Malaysia," ujar Ganewati.

Selain itu, masyarakat Indonesia di perbatasan enggan pindah karena upah menjadi perkebunan di Malaysia hanya berbeda tipis dengan pekerjaan serupa di wilayah Indonesia.

Ganewati menegaskan masyarakat Indnesia di wilayah perbatasan membutuhkan dukungan pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah, serta tersedianya infrastruktur lembaga keuangan. Dia mencontohkan di Pulau Mianggas, orang menyimpan duit di bawah bantal.

Sejatinya, tambahnya, pemerintah sudah memiliki Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang terdiri dari sebelas kementerian sebagai pelaksana teknis. Namun dia menyayangkan meski ada rapat koordinasi tahunan tapi masih ada saja proyek-proyek dilaksanakan kementerian terkait tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah perbatasan.

Menurut Ganewati, program pembangunan di daerah perbatasan banyak yang tumpang tindih karena ego sektoral. Dia mencontohkan proyek pelabuhan feri di Marore tapi tidak didukung oleh jalan aspal yang memadai menuju pelabuhan tersebut. 

sumber: VoA Indonesia