Jumat, 11 Oktober 2019 23:31

Dari Diskusi Publik Dema UINAM: Dikebut 13 Hari, Aspek Formil Revisi UU KPK Terabaikan

Mays
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Para pemateri Diskusi Publik Revisi UU KPK dan RUU KUHP di Gedung Rektorat UINAM, Jumat (11/10/2019).
Para pemateri Diskusi Publik Revisi UU KPK dan RUU KUHP di Gedung Rektorat UINAM, Jumat (11/10/2019).

Dikemas dalam bentuk dialog di Ruang rapat senat Rektorat UIN Alauddin Makassar, Jumat siang (11/10/2019), Dema Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, membedah rancangan revisi UU KPK dan R

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Dikemas dalam bentuk dialog di Ruang rapat senat Rektorat UIN Alauddin Makassar, Jumat siang (11/10/2019), Dema Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, membedah rancangan revisi UU KPK dan RUU KUHP, serta RUU lainnya yang banyak menuai kontroversi. 

Bedah RUU ini, menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dr Muhammad Nur (Ketua DPP BAIN HAM RI), Prof  Marwan Mas (pakar hukum Tata Negara), dan Dr Syamsuddin Radjab (Akademisi UIN Alauddin Makassar).

Dalam diskusi publik tersebut, diperoleh beberapa kesimpulan. Di antaranya, pembahasan dan pengesahan beberapa UU, terutama KPK, dikebut dalam waktu hanya 13 hari, sehingga aspek formil banyak terabaikan.

Dr Syamsuddin Radjab mengatakan, aspek formil dimaksud yakni, kurangnya sosialisasi revisi UU KPK, ketiadaan naskah akademik, dan ruang publik pembahasan yang terbatas.

Menurut pria yang akrab disapa Olleng ini, dalam soal isu KPK harus dibedakan antara soal pengisian jabatan komisioner KPK dan revisi UU KPK. "Komisioner kok telah terpilih melalui voting DPR dan sesuai dgn ketentuan perundang-undangan sementara revisi UU KPK masih diperdebatkan baik secara formil maupun materil," jelasnya.

Soal yang menjadi isu penting dan menjadi perhatian publik dalam substansi revisi UU KPK sebut Olleng, yakni soal penyadapan, dewan pengawas, SP3, status pegawai KPK dan proses penyelidikan dan penyidikan.

"Dalam penyelidikan selama ini dengan ketiadaan SP3 misalnya, ada masalah kemanusiaan dan kepastian hukum. Seperti penetapan tersangka yang berlarut-larut dan bertahun-tahun tanpa kejelasan kapan waktu persidangan, sehingga hak tersangka mendapatkan kepastian hukum dan soal harkat martabat sebagai manusia seakan diabaikan," ujarnya.

Hal ini kata dia, menjadi pikiran pentingnya SP3 dalam proses penegakan hukum. Yang berarti jika bukti dan saksi tidak mendukung, maka KPK wajib membebaskan tersangka dengan SP3. Namun SP3 lanjut Olleng, tidak boleh dikeluarkan secara serampangan seperti beberapa kasus pada lembaga penegak hukum lainnya.

Dalam diskusi tersebut juga ditegaskan, penolakan revisi UU KPK oleh masyarakat terutama mahasiswa, membuat pengesahannya oleh presiden meminta sejumlah pihak memberikan masukan dan juga saran dari parpol. 

"Saat ini dilihat dari kondisi yang ada, apakah presiden akan memberikan persetujuan berupa penandatangan revisi UU menjadi UU atau bahkan mengeluarkan Perppu," sebut Syamsuddin Radjab.

Dalam perkembangannya kata mantan aktivis HMI ini, Perppu oleh beberapa politisi memberi komentar dapat menjadi alasan pemakzukan presiden. 

"Gagasan demikian tidak benar dan bertentangan dengan konstitusi soal syarat pemakzulan preiden yang tidak dipenuhi. Perppu menjadi hak dan kewenangan presiden yang diatur dalam UUDN RI 1945 dan UU 12/2011...jika pun mahasiswa mendesak untuk melakukan aksi kembali sebagai desakan, diharap tidak melakukan tindakan anarkis dan melanggar peraturan perundangan," pungkasnya.

Ketua Dema UIN Alauddin Makassar, Junaedi mengatakan, dasar dari pemikiran Dewan Eksekutif Mahasiswa UINAM melakukan diskusi publik ini, terkait persoalan problematika rancangan undang-undang yang dibahas oleh DPR. "Kita ingin mengetahui sejauh mana dampak dari rancangan undang-undang ke masyarakat," katanya.
 
Ia melanjutkan, dialog publik ini diharapkan bisa membuat mahasiswa mengambil sikap terkait persoalan undang-undang kontroversial tersebut.

“Diskusi publik ini sebagai bentuk pengkajian untuk menentukan arah pergerakan mahasiswa ke depannya," paparnya.