Kamis, 30 Mei 2019 19:30

Kisah Sedih di Akhir Ramadan dan Tangisan Abu Hurairah

Alief Sappewali
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Fikri Imam Muttaqin bersama Ustaz Salim A Fillah dalam sebuah kesempatan.
Fikri Imam Muttaqin bersama Ustaz Salim A Fillah dalam sebuah kesempatan.

RAMADAN telah masuk di hari-hari terakhirnya, dengan keutamaan yang lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. 

Oleh: Fikri Imam Muttaqin

RAMADAN telah masuk di hari-hari terakhirnya, dengan keutamaan yang lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. 

Maka sepantasnya kaum muslimin lebih antusias melaksanakan ibadah pada hari-hari terakhir bulan Ramadan. 

Sebagaimana kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan yang diceritakan dalam hadits berikut:

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadan), Beliau mengencangkan sarung Beliau, menghidupkan malamnya dengan beribadah dan membangunkan keluarga Beliau." (HR. Al Bukhari)

Namun, sangat disayangkan bahwa apa yang terjadi di masyarakat justru bertolak belakang dengan apa yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Sebagian kaum muslimin justru hanya beribadah di beberapa hari pertama saja. Setelahnya, semangat ibadah mereka telah hilang. 

Hampir di setiap waktu salat, masjid penuh sesak. Masih segar dalam ingatan kita, banyak jemaah yang salat di teras atau parkiran karena masjid tidak mampu menampung jemaah. 

Alquran kembali ramai dilantunkan siang dan malam. Namun sayangnya fenomena ini hanya ramai di hari-hari pertama. Kurang lebih lima atau tujuh hari saja. 

Setelah itu, perlahan-lahan jemaah masjid berkurang, hingga pada hari-hari terakhir hanya orang-orang yang memang sering memakmurkan masjid dan segelintir “jemaah baru” yang mengisi saf-saf salat yang sebelumnya sempat penuh sesak. 

Alquran perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Tidak dibaca lagi kecuali oleh kaum muslimin yang memang sering membacanya.

Lantas apa yang salah dengan fenomena menyedihkan ini? Bukankah Ramadan adalah satu bulan, bukan hanya lima atau tujuh hari? Bukankah salat fardu di masjid, utamanya bagi kaum pria, adalah kewajiban yang tak mengenal waktu? 

Bukankah Alquran merupakan petunjuk bagi orang bertakwa, yang seharusnya dibaca bukan pada waktu tertentu saja?

Coba periksa niat kita, apa yang mendorong kita untuk melaksanakan ibadah? Apakah niat kita benar-benar ikhlas dan mengharapkan ridha Allah subhanahu wata’ala, atau ada niat lain yang menyertai ibadah kita? Atau mungkin ibadah kita hanya dilandasi harapan akan pujian manusia, atau sekadar ikut-ikutan?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang niat dalam hadits Beliau yang diletakkan pada urutan pertama dalam kitab Arba’in karya Imam An Nawawi rahimahullah.

"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Seorang yang benar-benar beriman akan beramal hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah. Dan seorang yang beramal dengan niat hanya mengharapkan rahmat Allah tentu tidak akan pernah puas dengan amalan yang telah dia perbuat, sebanyak apapun dan sesering apapun amalan tersebut dikerjakan. 
Mereka tidak akan puas dan terus berusaha memperbanyak amal saleh hingga akhir hayat mereka.

Siapa yang tidak mengenal Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu? Beliau merupakan seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang hafal Alquran dan paling banyak meriwayatkan hadits. 

Namun menjelang kematiannya, beliau menangis. Orang-orang keheranan mengapa beliau menangis, dan mengira bahwa Abu Hurairah bersedih atas kematian. 

Namun Abu Hurairah berkata, “Aku menangis karena perjalananku masih jauh, sedangkan bekalku sedikit”.

Adapun orang-orang yang beribadah mengharapkan dunia, pujian manusia, atau sekedar ikut-ikutan, mereka hanya beribadah ala kadarnya saja. 

Setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dari kehidupan dunia, atau telah merasa jenuh dalam mengerjakan ibadah, maka mereka meninggalkan ibadah yang telah mereka kerjakan dan kembali ke kebiasaan mereka.

Maka di pengujung Ramadan ini, belum terlambat untuk kembali memeriksa dan memperbaiki niat kita. Apakah benar ibadah yang kita telah kerjakan dilandasi iman dan mengharapkan ridha Allah, atau ada niat lain yang menunggangi amalan kita, atau mungkin hanya ikut-ikutan? 

Amalan yang diterima Allah tabaraka wa ta’ala tentu hanya yang dilandasi iman dan mengharapkan ridha-Nya. Seperti ibadah puasa, yang dijelaskan syarat dan ganjarannya dalam hadits berikut:

“Barangsiapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadan (atas dasar) keimanan dan mengharapkan (pahala dari Allah), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu". (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Sedangkan amalan yang dikerjakan dengan niat selain iman dan ikhlas karena Allah akan sia-sia di sisi Allah ta’ala.

"Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan." (QS. Al Furqan: 23)

Apa gunanya lelah dalam beribadah, namun apa yang telah dikerjakan tidak ada nilainya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hambanya yang beriman dan “ihtisab”, yaitu mengharapkan pahalanya, sehingga amalan yang kita kerjakan dapat diterima Allah tabaraka wa ta’ala, serta mendapat ampunanNya di bulan penuh ampunan ini.

25 Ramadhan 1440/30 Mei 2019

*Fikri Imam Muttaqin adalah pembina TPA Abu Bakar Ash Shiddiq