RAKYATKU.COM - Presiden Jokowi menunjuk sembilan panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK. Seorang di antaranya pernah menggugat laundry hanya gara-gara jasnya tidak licin.
Kontan, komposisi anggota pansel itu menuai protes. Salah satunya datang dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terdiri atas Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, MCW, KRPK, SAHDAR Medan, GAK Lintas Perguruan Tinggi, Banten Bersih, dan MaTA Aceh.
"Koalisi menolak komposisi pansel capim KPK yang ada sekarang karena adanya catatan serius terhadap beberapa nama pansel, yang menurut Koalisi tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi dan penguatan KPK, sehingga akan mempengaruhi kualitas capim KPK yang akan dipilih kemudian," demikian keterangan pers Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi.
Dalam pansel yang dipimpin Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki), Yenti Garnasih itu, setidaknya ada satu nama yang dianggap bermasalah.
Dia adalah Mualimin Abdi yang sehari-hari menjabat direktur jenderal HAM di Kementerian Hukum dan HAM.
Tahun 2016, dia pernah menggugat laundry rumahan, Fresh Laundry. Hanya gara-gara setrikaan jasnya tidak licin. Tidak tanggung-tanggung, gugatannya mencapai Rp210 juta. Berkali lipat dari harga jas Rp10 juta.
Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belakangan, Mualimin menarik gugatannya setelah ramai di media massa.
"Saya minta maaf atas permasalahan yang sudah ramai," ujar Mualimin kala itu.
Menkum HAM Yasonna Laoly sempat menyayangkan sikap Mualimin yang menggugat laundry rumahan itu. "Seharusnya seorang pejabat juga menjaga diri," kata Yasonna.
Dua tahun sebelumnya, ia mengikuti seleksi Dirjen Peraturan Perundangan. Wakil Menkumham kala itu, Denny Indrayana, menyebut Mualimin mencontek makalah. Ternyata diakui Mualimin sambil beralasan sudah meminta izin.
Demikian juga ketika Mualimin dicecar anggota Pansel Zainal Arifin soal data transaksi polis asuransi senilai Rp2,5 miliar yang tidak tercatat dalam LHKPN-nya. Mualimin hanya terbata-bata tidak mampu menjelaskan.