Rusman Madjulekka
Penggemar Sepak Bola
Senin, 12 April 2021 19:29

Wali Kota Sipil Pertama Era Orba

Wali Kota Sipil Pertama Era Orba

In Memoriam Wali Kota Makassar 1994-1999 HA Malik B Masry

Di era tahun 1990-an Kota Ujung Pandang (kini berganti nama jadi Makassar) dicap bernada sindiran sebagai kota "Ujung Sampah”. Dan kesemrawutan lalu lintas moda transportasinya yang membuat macet dimana-mana. Bagi saya, yang saat itu masih berstatus mahasiswa, merasa malu bercampur tak mengenakkan hidup berdampingan dengan realitas tersebut.

Apalagi dalam setiap kesempatan menghadiri forum pertemuan mahasiswa tingkat nasional, kedua isu itu kerap jadi sorotan dan pertanyaan peserta dari daerah lain yang cenderung memojokkan. Saya hanya diam dan tersenyum. Apa mau dikata.

Memori saya tiba-tiba teringat dengan sosok Wali Kota Malik B Masry. Entah setting siapa, pada Juni 1994, kebijakan DPRD Kota Ujung Pandang kala itu berubah arah. Lembaga politik itu memilih seorang sipil bernama Malik B Masry sebagai pengganti Wali Kota Suwahyo dan sebelumnya yang selalu berlatar militer.

Respons warga, era sipil telah tiba. Ekspektasi mereka melambung, berharap adanya perubahan. Apalagi Malik- begitu ia akrab disapa- adalah seorang ekonom dan sekaligus akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas). Tapi, menurut saya, sesungguhnya Malik bukanlah cermin sipil murni. Ia sipil cerdas, tapi berkarakter militer.

Sempat diragukan banyak pihak, Malik yang cukup populer dengan istilan “Cappo” (panggilan khas yang berarti kawan) hadir dengan banyak ide dan terobosan yang visioner. Misalnya menjadikan Makassar “Kota Gemerlap” dan mematok target harus bersih dari tumpukan sampah. Bagi Malik, kuncinya disiplin dan bekerja keras!

Pulang dari studi banding di Abu Dhabi, UEA, Malik yang dikenal energik menemukan big picture program. Pertama, ia benahi kekumuhan kota. Sampah yang bertebaran di seluruh penjuru kota dibersihkan dengan menggunakan sistem kontainer yang masih dipakai sekarang dengan beberapa modifikasi. Semua aparat mulai dari lurah dan camat diperintahkan untuk memastikan dan mengawal kebersihan kota.

Pohon-pohon di sepanjang jalan protokol seperti Jalan Ahmad Yani dan Jalan Urip Sumohardjo dipangkas hingga menampung volume kendaraan lebih banyak. Begitupun ruas-ruas jalan poros dan jalan alternatif yang kerap jadi biang kemacetan juga diperlebar. Jalan-jalan permukiman di pinggiran kota yang dikenal zona merah rawan kriminal diaspal hotmix dan diberi lampu penerangan.

Untuk “membenahi” dan membiayai seluruh program pembangunan kota, Malik rela mengemis kepada Asian Development Bank (ADB) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Alhasil, dalam tempo dua tahun, wajah kota Makassar berubah drastis. Julukan kota sampah telah disulap menjadi kota terbersih di tanah air dengan menggondol Piala Adipura tiga kali berturut turut (1994-19960). Kemacetan lalu lintas kota di pagi hari dan sore juga tak terlihat lagi.

Gelar prestisius ini diraih Malik berkat kerja kerasnya menata kebersihan, termasuk pasar dan terminal, serta menghidupkan Kota Makassar di malam hari. Hampir semua ruas jalan di pusat keramaian kota diterangi dengan lampu-lampu hias. Impian Malik menjadikan Makassar ‘bermandikan cahaya’ layaknya Abu Dhabi di kawasan timur Indonesia akhirnya terwujud.

Dari sisi lain, visi kota Makassar di tangan Malik cukup prospektif. Ia membuktikan janjinya mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dengan penekanan etos kerja di kalangan birokrat dan disiplin kerja adalah ciri khas Wali Kota Malik. Ibarat kata, sebelum ayam jantan berkokok, dirinya sudah berada di kantornya.

Suatu hari, Malik mendapat laporan warga perihal lurah Pabaeng-baeng, di Kecamatan Tamalate jarang terlihat di kantornya. Untuk membuktikan kebenaran laporan itu, pagi-pagi sekali ia sudah mendatangi kantor kelurahan tersebut. Dari sana, ia kemudian menanyakan keberadaan sang lurah melalui alat komunikasi handy talkie (HT).

“Kamu ada dimana Pak Lurah?” tanya Malik.

“Saya sedang di kantor Ppak Wali,” jawab sang lurah.

Lalu, Malik balik bertanya dengan nada penuh curiga. ”Di kantor mana maksud kamu?”

Sang lurah menjawab lagi mencoba meyakinkan atasannya. “Saya ada di kantor kelurahan Pak.”

Namun, alangkah terkejutnya sang lurah tadi ketika Wali Kota Malik menyampaikan kalau dirinya berada di kantor sang lurah.

*

Pada tahun 1996, Malik mengeluakan keputusan kontroversi. Tanpa menimbang aspek sosial, ia mengambil kebijakan tak populis. Tarif angkutan kota dinaikkan. Spontan, mendapat reaksi keras dari mahasiswa dan warga kota. Caci maki dan kritikan pedas tak dihiraukan. Demo mahasiswa dilawan dengan upaya represif. Korban berjatuhan di pihak mahasiswa yang menjadi tumbal kekerasan aparat. Tragedi ini setiap tahun diperingati mahasiswa sebagai hari Amuk Makassar Berdarah (Amarah).

Usai tragedi Amarah, upaya Malik membangun Makassar tidak pernah surut. Ia makin fokus pada upaya peningkatan penerimaan sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejumlah potensi wilayah ditawarkan kepada pihak swasta. Untuk mendorong masuknya investasi luar, regulasi sedikit dilonggarkan. Kawasan pertumbuhan baru dengan bisnis properti ala kaum urban kian bersolek. Panakkukang di bagian timur dan Tanjung Bunga di barat kota menambah keindahan ikon kawasan pesisir pantai Losari.

Dalam tiga tahun tercatat Malik berhasil meningkatkan perekonomian Makassar, masing-masing pada 1995-1997. produk domestik regional bruto (PDRB) Makassar meningkat dari angka Rp2.781.323,19 menjadi Rp3.655.109,12. Pendapatan per kapita juga ikut naik signifikan dari tahun 1993 sampai 1997 dari angka per kapita sebesar Rp1.588.534 menjadi Rp2.669.734 atau meningkat 5,40 persen.

Nobody’s perfect. Sayang, di era Wali Kota Malik, ekonomi nasional berantakan akibat terkena dampak krisis moneter global. Berhadapan dengan multikrisis yang ditandai lengsernya Presiden Soeharto, Malik pun tidak punya resep khusus mengatasi dampak krisis yang menggerogoti perekonomian Kota Makassar. Program pembangunan satu per satu terpaksa ia pending. Kas Pemkot Makassar kian defisit. Utang Pemkot kepada pihak swasta makin membengkak.

Namun begitu, saya teringat pada sebuah seminar di Jakarta, ketika Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menceritakan kisah bagaimana Surabaya pernah kepincut dengan prestasi Wali Kota Malik menyulap Makassar menjadi kota yang bersih. Diam-diam Risma yang saat itu masih berdinas di Bappeda diminta atasannya untuk belajar “memerangi sampah” ke Makassar. Tapi berselang waktu ketika Risma ditakdirkan menjadi Wali Kota Surabaya, justru Makassar yang belajar ke Surabaya soal kebersihan kota.

Hari Senin 12 April 2021, sehari sebelum masuk Ramadan 1442 H, saya mendapat kabar duka mantan wali kota Makassar yang fenomenal HA Malik B Masry (1994-1999) telah menghembuskan napas terakhir di RS Siloam Makassar karena sakit. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya.

Selamat jalan Pak Malik……!

*Rusman Madjulekka adalah warga Kota Makassar dan alumni FISIP Universitas Hasanuddin