Subhan Yusuf
Wartawan senior
Rabu, 15 Maret 2023 17:12

Top Five di Pilgub Sulsel; Danny Mengukir Sejarah Pertama di Indonesia

Ir Mohammad Ramdhan Pomanto
Ir Mohammad Ramdhan Pomanto

Ir Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto, nama lengkapnya. Ia akrab disapa Danny Pomanto. Suami Indira Jusuf Ismail ini, lahir 30 Januari 1964 di Makassar.

Danny berasal dari keluarga sederhana. Orangtuanya bukanlah politisi. Sang ayah, Buluku Pomanto, tercatat sebagai pegawai negeri. Sementara ibu kandung Danny, Aisyah Abdul Razak adalah guru.

Danny kecil memulai Pendidikan sekolah di SD Lanto Daeng Pasewang (1970-1975). Lanjut di SMP 5 Makassar (1976-1978). Setelah itu, melanjutkan sekolah menengah tingkat atas (SMA) di SMA 1 Negeri Makassar (1979-1981).

Saat remaja, Danny mengaku hidupnya kadang tidak berkecukupan. Bahkan, setelah menikah dengan sang pujaan hati; Indira, Danny mengungkapkan kalau lemari penyimpanan pakaiannya kala itu adalah kardus.

Membangun keluarga dari zero, Danny tak patah arang. Ia bahkan sangat tekun merintis kariernya. Danny adalah alumnus universitas berlambang ayam jantan, Universitas Hasanuddin. Di Kampus Merah ini, Danny lulus sebagai seorang arsitek. Mengutip film Rano Karno berjudul Doel Anak Sekolahan, Danny adalah tukang insinyur.

***

Danny memulai karier sebagai arsitek dan kolsultan. Ia dikenal cerdas. Punya visi. Tegas dalam bertindak. Dan, cepat dalam penyelesaian masalah (solving problem).

Pada 1989, Danny tercatat sebagai arsitek dan konsultan tata kota. Urban planning, desain arsitek, desain interior, supervising, constraction management,-- dan masih banyak lagi--dilakoni pria berdarah Gorontalo ini.

Karya tangan Danny pun bisa disaksikan. Baik di Makassar maupun di sejumlah daerah. Masjid Raya Makassar, salah satunya. Juga, gedung Private Care Centre RS Wahidin. Selain itu, Gedung PIP Barombong, revitalisasi Pantai Losari, pembuatan Pantai Akkarena, Wisma Negara Centre Point of Indonesia (CPI) dan sejumlah karya lainnya.

Di luar Makassar, Danny juga mencatatkan karya yang bisa disaksikan. Kantor Gubernur Sulbar, Kantor Gubernur Gorontalo, Menara Persatuan Sulawesi di Kota Kendari, master plain Teluk Palu, dan pengembangan Teluk Pacitan (Jawa Timur).

Karya Danny begitu banyak. Tercatat ratusan buah tangan yang telah ditorehkan atas namanya. Dan, itu, tersebar di tujuh puluh lebih kabupaten/kota di Indonesia.

***

Sukses di dunia arsitek dan kolsultan, Danny mencoba peruntungan baru. Ia banting setir. Lalu, terjun ke dunia politik. Sayangnya, perjalanan itu tak mulus. Bahkan, Danny sempat mengaku kapok masuk di dunia serba ‘abu-abu’ ini.

Cerita itu, bermula pada 2011. Danny mencoba bertarung di Pilkada gubernur Gorontalo. Saat itu, Danny berpasangan dengan Sofyan Puhi. Hanya saja, KPU ketika itu menyatakan Danny-Sofyan tak lolos.

Danny pun berang. Ia merasa dikhianati. Jelas, waktu dan uang banyak terbuang. Dan, setelah itu, ia mengaku tak ingin jatuh pada lubang yang sama.

Hanya saja, takdir Danny tetap memberi jalan di ranah politik. Dewi fortuna menghampirinya. Dia diajak maju bertarung di Pilwalkot Makassar.

Sejumlah tokoh pemuda, tokoh agama, kelompok akademis, mengajaknya. Juga, ada mantan wali kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin yang memberikan supported.

Ia didorong berpasangan dengan Syamsu Rizal alias ‘Deng Ical’. Kendaraannya; Partai Demokrat dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Pada Pilwalkot Makassar 2013 itu, calon begitu banyak. Ada 10 calon wali kota/wakil wali kota. Akhirnya, Danny-Ical terpilih. Pasangan ini, menyingkirkan 9 pasangan lainnya.

Mencatatkan Sejarah

Danny-Ical memimpin Makassar dengan sukses selama lima tahun. Sayangnya, dalam perjalanan, ‘kisah cinta Danny-Ical’ harus putus di tengah jalan.

Danny sangat menyayangkan hal itu.

Kepada penulis, Danny mengaku sempat mengajak Deng Ical untuk kembali berpasangan. Namun, lagi-lagi takdir berkata lain.

‘Saya sempat mengajak adindaku Deng Ical bicara berdua. Empat mata. Saya sampaikan kalau Deng Ical masih muda. Setelah saya, bisa lanjutkan perjuangan membangun Makassar. Tapi, tampaknya ia lebih memilih mengikuti ‘seseorang’,” tandas Danny, terlihat menerawang, saat itu.

Pisah ‘ranjang’ dengan Deng Ical, Danny pun memilih Indira Mulyasari sebagai wakilnya. Namun, di sinilah awal mula sejarah baru itu terukir.

Pada Pilwalkot Makassar 2018 itu, untuk pertama kalinya semua partai diborong pendatang baru. Adalah Munafri Arifuddin (Appi) berpasangan dengan Andi Rahmatika Dewi (Cicu). Pasangan ini memborong 43 dari 50 kursi di DPRD Makasssar periode 2014-2019. Itu sama dengan 86 persen dari perolehan kursi. Dengan demikian, semua pintu partai tertutup.

Akhirnya, Danny-Indira Mulyasari terpaksa maju melalui calon pasangan independen yang tentu menggunakan KTP sebagai prasyarat.

Namun, Danny-Indira dinyatakan tak lolos. Pasangan ini pun didiskualifikasi oleh MA.

Dengan demikian, hanya tersisa satu pasangan calon yang dinyatakan lolos Pilkada Makassar 2018 kala itu. Pasangan itu adalah Appi-Cicu.

Aneh tapi nyata, memang. Pertama kalinya dalam sejarah, incumbent ‘dipaksa’ menempuh calon independen dengan mengandalkan KTP. Dan calon tunggal; Appi-Cicu malah dikalahkan kotak kosong.

Mungkin,--sekali lagi—mungkin, di sinilah people power itu muncul bak gelombang tsunami. Bisa dibayangkan, ‘kekuatan Jakarta’ yang luar biasa, plus pemilik modal yang kuat, berusaha menyingkirkan Danny saat itu. Tapi, justru rakyat bersatu padu berdiri dan membentengi melalui perlawanan dengan senjata kotak kosong.

Dan, untuk pertama kalinya di Indonesia, kotak kosong memenangkan pertarungan. Semua juga tahu, di balik kotak kosong itu muncul sosok Danny Pomanto yang memang terkesan dizalimi saat itu.

Sebagai catatan, penulis menilai kaderisasi partai politik di masa mendatang perlu diperbaiki. Kaderisasi partai saat ini, terkesan amburadul. Itu satu.

Kedua, rakyat akan melakukan perlawanan keras tatkala kezaliman terjadi. Dengan kekuatan tersembunyi (hidden power), pesan ini mestinya terbaca elite politik sebagai pembelajaran serius. Ya, ‘Pilkada Kotak Kosong’ di Makassar, perlu menjadi lonceng pengingat. Tentu, menghindari dentuman lonceng kematian demokrasi.

Juga, paling tidak, menghindari pemborosan anggaran. Karena, pilkada ulang, toh pada akhirnya, menghabiskan uang rakyat.

Sekadar informasi, saat ‘Pilkada Kotak Kosong’ di Makassar, pasangan Appi-Cicu meraih suara 264.245 suara atau 46,77 persen. Sementara kotak kosong ‘memenangkan’ pertarungan dengan perolehan suara 300.795 atau 53,23 persen.

Akhirnya, Pilkada Makassar 2018 dinyatakan tanpa pemenang. Itu berarti Makassar kekosongan pemerintahan sehingga harus ada penjabat wali kota Makassar. Saat itu, Iqbal Suhaeb dipilih sebagai penjabat. Cukup lama. Dua tahun lebih.

Lalu, Pilkada Makassar harus digelar lagi. Pada 2020, muncul empat pasangan calon; Appi-Rahman, Danny-Fatma (Adama), Ical-Fadly dan Irman-Zunnun. Nah, pemenangnya adalah Adama yang sekarang menjabat sebagai wali kota dan wakil wali kota Makassar.

Kehadiran Fatmawati Rusdi memang bak angin segar bagi Danny ketika itu. Dengan sosok Rusdi Masse sebagai the man behind the gun, plus power Danny di Makassar yang memang kuat, pasangan ini melenggang mulus.

Kini, Danny tampaknya sudah menatap kursi kosong satu di Pilgub Sulsel. Sosok orator ulung ini, paling tidak telah melalui proses jatuh bangun. Mental petarung tak terbantahkan.

Soal prestasi, Danny mumpuni. Seperti dikisahkan sebelumnya, Danny mencatatkan ratusan lebih karya di bidang arsitek dan konsultan di tujuh puluh lebih kabupaten/kota di Indonesia.

Pun di Kota Makassar, sebagai mayor of Makassar, Danny pun telah mengukir ratusan prestasi berupa penghargaan. Baik itu tingkat nasional, maupun internasional.

Soal visi, Danny punya itu. Ia punya banyak program yang terkadang tidak terpikirkan. Salah satu yang terbaru, Makasssar Makan Enak.

So, dasar itulah penulis menempatkan Danny sebagai top five di Pilgub Sulsel. Ya, salah satu figur kuat untuk bertarung. (Bersambung)

Kolom Populer
Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Bahtiar Baharuddin
Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Selayar.
Penggiat Media Islam, Founder Sahabat Literasi, Pembina Daar Al-Qalam, Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta