Taji UU Nomor 40 Tahun 1999 Diuji
(Catatan Kecil atas Penganiayaan Jurnalis Tempo)
Oleh: M Dahlan Abubakar
Tokoh Pers versi Dewan Pers
Insiden penganiayaan terhadap jurnalis kembali terjadi, Kali ini menimpa Nurhadi, jurnalis Tempo, saat dia hendak melaksanakan aktivitas jurnalistik, Sabtu (27/3/2021).
Serangan terhadap wartawan itu melanggar kebebasan pers dan melanggar KUHP serta Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Tempo mengutuk aksi kekerasan tersebut dan menuntut semua pelakunya diadili serta dijatuhi hukuman sesuai hukum yang berlaku.
Kekerasan yang menimpa Nurhadi terjadi ketika dia menjalankan penugasan dari redaksi Majalah Tempo untuk meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menyatakan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak.
Insiden terjadi saat sejumlah pengawal Angin Prayitno Aji menuduh Nurhadi masuk tanpa izin ke acara resepsi pernikahan anak Angin di Gedung Graha Samudera Bumimoro (GSB) di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal) Surabaya, Jawa Timur, Sabtu malam, 27 Maret 2021.
Meski sudah menjelaskan statusnya sebagai wartawan Tempo yang sedang menjalankan tugas jurnalistik, mereka tetap merampas telepon genggam Nurhadi dan memaksa untuk memeriksa isinya. Nurhadi juga ditampar, dipiting, dipukul di beberapa bagian tubuhnya.
"Untuk memastikan Nurhadi tidak melaporkan hasil reportasenya, dia juga ditahan selama dua jam di sebuah hotel di Surabaya," demikian salah satu berita yang beredar di grup whatsapp PWI, Ahad (28/3/2021).
Tempo atau siapa pun wartawan menilai kekerasan ini merupakan tindak pidana yang melanggar setidaknya dua aturan yakni pasal 170 KUHP mengenai penggunaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang, dan pasal 18 ayat 1 UU Pers tentang tindakan yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik.
Ancaman hukuman untuk pelanggaran ini adalah seberat-beratnya lima tahun enam bulan penjara serta dua tahun atau denda Rp500 juta.
Berkaitan dengan peristiwa yang menimpa wartawannya, redaksi Tempo menyatakan sikap:
1. Meminta Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menindaklanjuti kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo dan memeriksa semua anggotanya yang terlibat. Setelah semua berkas penyidikan lengkap, kami menuntut pelakunya dibawa ke meja hijau untuk menerima hukuman yang setimpal, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, memerintahkan jajarannya di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri memproses pelaku secara disiplin profesi dan memastikan kasus ini merupakan aksi kekerasan terakhir yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.
3. Memohon bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Dewan Pers, agar melindungi korban dari ancaman kekerasan lebih lanjut dan mengawal proses hukum atas kasus ini.
4. Mengimbau semua pihak menghormati kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers, demi terjaminnya hak publik untuk tahu dan mendapatkan informasi yang akurat mengenai isu-isu yang penting bagi orang banyak.
Ganjar Pidana/Denda
Di dalam pasal 18 (1) UU Nomor 40/1999 tentang Pers disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pasal 4 ayat (2, berbunyi: terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan,atau pelarangan penyiaran) dari ayat (3 berbunyi: untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Dalam berbagai pengalaman, kekerasan aparat terhadap jurnalis pada umumnya selesai dengan permintaan maaf, sehingga nyaris tidak pernah sekali pun pasal 18 UU No.40/1999 benar-benar diuji keampuhannya dalam praktik pengadilan kita.
Jalan damai ini kemudian yang membuat kekerasan terhadap jurnalis seakan terus berulang bagaikan film ulangan dalam praktik kerja-kerja jurnalistik. Dan, kita komunitas pers terus terjebak dalam kondisi dan posisi yang sama. Hingga saat ini UU yang menjadi penopang kebebasan pers pascareformasi itu sama sekali belum pernah diuji tajinya.
Terulangnya kasus kekerasan terhadap jurnalis boleh jadi karena pemahaman terhadap UU No.40/1999 hanya sebatas dipahami oleh segelintir jurnalis yang sadar atas asas organisasi dan profesinya. UU tersebut terkadang kita lupakan dalam kerja-kerja jurnalistik karena justru baru diingat jika terjadi pelanggaran oleh orang lain terhadap seorang jurnalis.
Tidak dipahaminya UU tersebut boleh jadi sosialisasi yang dilakukan organisasi kurang kencang dilakukan, untuk tidak mengatakan, tidak pernah sama sekali digelar secara terencana dan terjadwal. Organisasi wartawan kita sibuk dengan urusannya sendiri, bahkan terkadang saya juga bingung apa yang sedang mereka pikirkan berkaitan dengan banyaknya persoalan yang dihadapi para jurnalis, khususnya yang terkait dengan pelanggaran UU No.40/1999 yang dapat kita katakan sebagai “azimat” bagi aktivitas dan kebebasan pers Indonesia.
Setelah berpikir dalam-dalam, saya kemudian berasumsi, jangankan mengurus yang berkaitan dengan sosialisasi aturan perundang-undangan organisasi dan profesi, secara internal saja urusan organisasi amburadulnya ‘tidak ketulungan’ (pinjam istilah mendiang Rosihan Anwar). Seolah-olah dari waktu ke waktu organisasi wartawan membiarkan kekerasan demi kekerasan terulang terhadap para jurnalis.
Mestinya, ketika kita sudah maklum bahwa kalangan birokrat dan aparat tidak paham UU Nomor 40/1999, sejatinya itu merupakan objek bagaimana agar mereka itu dapat dipahamkan. Ya, tentu saja, diperlukan adanya sosialisasi mengenai UU tersebut. Alih-alih disampaikan ke aparat pemerintah, UU Pers produk reformasi ini justru hanya menjadi bagian yang disinggung selintas dalam kurikulum atau materi pendidikan dan penataran jurnalistik yang dilaksanakan secara instan dan spontan.
Organisasi wartawan sekarang sibuk dengan memperbanyak wartawan yang memiliki kompetensi melalui rentetan uji kompetensi yang produknya melahirkan wartawan yang lulus uji kompetensi tetapi tidak kompeten. Program uji kompetensi gencar dilaksanakan kadang-kadang disalahgunakan untuk memperbanyak pendukung guna kelanjutan dinasti kekuasaan. Organisasi wartawan pun tidak lepas dari bias politik praktis.
Begitulah, dalam praktiknya, tindakan penganiayaan terhadap jurnalis tidak pernah menggunakan pasal 18 UU Nomor 40/1999 tersebut, sehingga diduga para pelaku atau pihak-pihak tertentu tidak jera melakukan tindak pidana tersebut. Jika pihak yang melakukan pelanggaran terhadap jurnalis sepanjang sang jurnalis tersebut telah melaksanakan tugasnya secara proporsional dan taat asas, seharusnya ada keberanian dari pihak media menuntut pelaku dengan sanksi pidana atau denda yang berujung pada vonis pengadilan.
Di luar negeri, para wartawan media sangat menghindari terjadinya delik pers yang dilakukan oleh narasumber atau objek yang diberitakan. Misalnya, para wartawan berusaha sekuat tenaga memenuhi etika pemberitaan, seperti konfirmasi (cover both side) dalam pemberitaan yang berkaitan dengan masalah privasi seseorang. Kekeliruan wartawan terhadap etika pemberitaan seperti ini akan berujung pada denda yang tidak main-main. Dan, media pers selalu menghindari terjadinya denda yang “mematikan” itu, jika mau terancam bangkrut.
Dalam kasus Nurhadi, boleh jadi awalnya dia akan mencoba melakukan investigasi untuk memperoleh informasi dari tangan pertama, yakni objek di dalam pesta pernikahan itu. Dia sebenarnya, sudah menaati apa yang diamanatkan pasal 9 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi: "Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan, dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar)dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigasi."
Terhadap pasal kode etik ini, Nurhadi telah memenuhinya dengan menjelaskan identitasnya, sehingga “menggugurkan” klausa tambahan pasal ini yang berbunyi “kecuali dalam peliputan yang bersifat investigasi”.
Menurut William C.Gaines (ISAI-Kedutaan Besar AS, 2007) mengatakan, pelaporan investigasi adalah bagian menantang dalam jurnalisme yang mengalami pertumbuhan dan naik daun selama beberapa dasawarsa terakhir pada abad XX. Berita investigasi menjadi penting karena merupakan produk kerja asli si wartawan dibandingkan sebuah laporan investigasi oleh sebuah laporan instansi pemerintah; mengandung informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha si wartawan’ dan penting bagi publik.
Begitulah kebebasan pers selalu ditunggu oleh sebuah konsekuensi. Stephen Covey, penulis asal Amerika Serikat yang terkenal dengan bukunya “The Seven Habits of Highly Effenctive People” mengatakan, “kita mungkin saja bebas melakukan apa pun yang hendak dilakukan, tetapi tak akan pernah bebas dari konsekuensinya”.
Maka sebelum melakukan sesuatu tidak ada pilihan lain, kita “sapere aude”, beranilah berpikir sendiri. Wassalam. (*)