Pencegahan Korupsi Kepala Daerah
RAKYATKU.COM - Selang beberapa jam setelah pelantikan 11 kepala daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) oleh Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di tiga tempat berbeda dan barang bukti di sebuah rumah makan di Kota Makassar.
Terjaring lima orang sedangkan Sang Gubernur dijemput di kediamannya pada dini hari untuk dilakukan pemeriksaan di Jakarta. Setelah KPK melakukan pemeriksaan intensif pada keenam orang tersebut, ditetapkan tiga orang sebagai tersangka yakni, NA, AS (pengusaha/kontraktor), dan ER (Sekretaris Dinas PUTR Sulsel), sedangkan tiga lainnya tidak cukup bukti.
Dalam konferensi pers yang digelar oleh KPK, barang bukti yang diamankan saat OTT yang melibatkan Gubernur Sulsel adalah uang senilai Rp2 miliar yang tersimpan di dalam sebuah koper. Sebelumnya beredar informasi sejumlah Rp1 miliar. Uang tersebut adalah fee sejumlah proyek infrastruktur jalan di wilayah selatan Sulsel.
Menurut Ketua KPK, AS memberikan suap sebelum mengerjakan proyek infrastruktur tahun anggaran 2021. Sedangkan pada tahun 2020, sejumlah proyek infrastruktur yang dikerjakan AS seperti proyek peningkatan jalan ruas Palampang-Munte-Bontolempangan di Kabupaten Sinjai dan Bulukumba senilai Rp15,7 miliar, proyek pembangunan jalan, pedestrian, dan penerangan jalan Kawasan Wisata Bira dari bantuan keuangan Pemprov Sulsel senilai Rp 20,8 miliar, dan proyek rehabilitasi jalan parkiran 1 dan pembangunan jalan parkiran 2 di Kawasan Wisata Bira bantuan keuangan Pemprov Sulsel senilai Rp 7,1 miliar, pembangunan jalan ruas Palampang-Munte-Bontolempangan 11 paket sumber APBD Sulsel senilai Rp19 miliar serta proyek peningkatan jalan ruas Palampang-Munte-Bontolempangan sumber DAK tahun anggaran 2019 senilai Rp28,9 miliar.
Beredar juga informasi penyelidikan oleh Tim KPK berlangsung sejak bulan Oktober 2020 dilihat dari Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprint.Lidik-98/01/10/2020. Berarti KPK membutuhkan waktu empat bulan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) untuk memperjelas peristiwa pidana yang terjadi serta peran masing-masing pelaku. Hingga puncak penyelidikan terjadi pada penghujung bulan Februari 2021 ketika barang bukti berada pada satu tempat berdasarkan informasi masyarakat.
Pengawasan Anggaran
Apabila melihat sumber anggaran proyek yang dikerjakan oleh pengusaha AS, terdapat dua sumber yakni APBN dan APBD. Dana yang bersumber dari APBN berupa Dana Alokasi Khusus (specific grant) dan bantuan keuangan Pemprov Sulsel ke Pemkab Bulukumba yang bersumber dari APBD Provinsi Sulsel. DAK dari APBN mewajibkan daerah penerima dana menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10 persen dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik.
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan DAK diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Sedangkan pengawasan pelaksanaan DAK dilakukan oleh Inspektorat masing-masing sektor di Kementerian dan Inspektorat kabupaten/kota serta BPKP.
Sedangkan proyek infrastruktur yang berasal dari APBD Provinsi diawasi oleh pengawas fungsional/internal juga secara eksternal melalui lembaga legislatif (DPRD). DPRD memiliki fungsi pengawasan terkait dengan pelaksanaan peraturan daerah, peraturan bupati/walikota, pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Mardiasmo (2002:210), APBD sekurangnya-kurangnya mencakup tiga aspek yaitu aspek perencanaan, aspek pengendalian dan aspek akuntalibitas publik.
Pengawasan yang dilakukan DPRD Sulsel atas pelaksanaan APBD Pemprov Sulsel sebenarnya sudah cukup baik. Bahkan pengawasan DPRD Sulsel pernah mencapai titik kulminasi yang berujung pada penggunaan Hak Angket Anggota DPRD Sulsel yang didukung 60 Anggota DPRD Sulsel pada Juli 2019 lalu selang beberapa bulan setelah dilantik. Salah satu alasan Hak Angket dugaan adanya praktek Korupsi, Korpsi dan Nepotisme Gubernur Nurdin Abdullah.
Salah satu temuan Ketua Panitia Khusus Angket Tahun 2019 adalah adanya pengusaha yang menagih proyek kepada Gubernur Nurdin Abdullah karena sumbangsihnya pada Pemilihan Gubernur Sulsel pada tahun 2018. Hal tersebut terungkap ketika Pansus Hak Angkat memeriksa eks Kepala Biro Pembangunan Sulsel, Jumras. Melalui Jumras terungkap praktek bagi-bagi proyek demi membayar mahar pada Pilgub 2018. Jumras dipecat oleh Gubernur Nurdin Abdullah karena menolak bekerjasama dengan pengusaha pemberi mahar kepada Gubernur Nurdin Abdullah seperti AS dan FT.
Panitia Khusus Hak Angket menemukan dugaan pelanggaran Gubernur dan wakil Gubernur Sulsel terbukti secara sah dan meyakinkan telah mengambil kebijakan yang dianggap bertentangan dengan parturan perudang-undangan. Dari tujuh poin rekomendasi DPRD Sulsel sebagai bentuk pengawasan pada Gubernur Sulsel, point kedua meminta kepada aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan KPK untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana. Ketua DPRD Sulsel saat itu HM Roem menetapkan ketujuh Rekomendasi dan mengirim kepada pihak-pihak terkait serta menetapkan batas waktu hasil tindaklanjut dari Rekomendasi hingga 23 September 2019.
Pelaksanaan Hak Angket membuktikan pengawasan DPRD Sulsel terhadap Pemprov Sulsel berjalan dinamis pada masa Gubernur Nurdin Abdullah. Hak Angket ini digunakan anggota DPRD untuk menyelidiki terhadap kebijakan pemerintah daerah yang penting dan dianggap strategis serta berdampak luas pada pada kehidupan masyarakat Sulsel dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Praktek bagi-bagi proyek sangat jelas bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Korsupgah
Kasus hukum yang terjadi pada Gubernur Nurdin Abdullah dapat menjadi pelajaran bagi kepala daerah yang lain agar mengelola pemerintahan daerah secara baik dan bersih dari praktek-praktek pemerintahan yang tercela seperti gratifikasi maupun jenis korupsi lainnya. Meskipun KPK sudah memiliki program pencegahan korupsi yaitu Korsupgah (koordinasi, supervisi dan pencegahan) tetapi jika perilaku korup masih melekat pada diri sang kepala daerah meski telah terbangun sistem tetap dapat terjadi deviasi dalam praktek pemerintahan daerah.
Tujuan KPK mendesain program Korsupgah di antaranya adalah mendorong penyusunan APBD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengidentifikasi permasalahan, risiko dan penyebab penyimpangan pelaksanaan APBD, menurunkan potensi tingkat korupsi, perbaikan SPIP atas pengelolaan APBD. Terkait pengelolaan APBD, inti pencegahan korupsi di daerah seperti pada pos anggaran hibah/bansos, pengadaan barang dan jasa dan pendapatan daerah. Koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi oleh KPK adalah upaya perbaikan tata kelola keuangan daerah.
Kegiatan Korsupgah KPK di Sulsel dibawah Kordinasi Wilayah VIII telah berjalan seperti mengevaluasi perkembangan rencana aksi Pemprov Sulsel optimalisasi penerimaan daerah dan manajemen asset daerah. Monev (monitoring dan evaluasi) terakhir yang dilakukan Korwil VIII KPK pada bulan Mei 2019 dengan cara KPK mendorong Bapenda Sulsel melakukan akselerasi guna peningkatan pendapatan daerah yang dinilai belum maksimal, penertiban asset Pemprov Sulsel senilain Rp6,5 triliun yang sebelumnya dikuasai pihak ketiga senilai Rp1,4 triliun dan rekonsiliasi asset milik Pemprov dengan kementerian/lembaga terkait dan Kanwil DJKN.
Akan tetapi, meskipun pencegahan pada sistem pengelolaan APBD berjalan dengan baik tetapi pada sisi penyelenggara pemerintahan daerah masih bermasalah seperti perilaku koruptif kepala daerah akan menjadi tantangan masa depan penyelenggara pemerintahan dan pelayanan publik yang bebas korupsi dan maladministrasi. Ungkapan Lord Acton pun rupanya masih relevan hingga saat ini, “Power tends to corrupt, absolute power tend to corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung korup, apalagi kekuasaan yang absolut).