Nur Yani, S.Si
Pemerhati Sosial
Selasa, 02 Agustus 2022 08:57

NIK Jadi NPWP, Pemalakan Sistemik?

Nur Yani, S.Si.
Nur Yani, S.Si.

Pemerintah menilai dengan diresmikannya penggunaan NIK sebagai NPWP justru akan mempermudah admiistrasi bagi kedua belah pihak baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat tidak perlu lagi mencatat begitu banyak nomor identitas sedangkan pemerintah akan mudah memberikan pelayanan masyarakat lantaran hanya menggunakan NIK sebagai identitas tunggal.

Merespons kebijakan baru pemerintah ini, tagar setop bayar pajak (#stopbayarpajak) sebagai bentuk seruan untuk tidak membayar pajak akhirnya ramai di media sosial hingga menduduki trending topic. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahkan turut merespons persoalan ini dengan menyampaikan bahwa mereka yang tidak mau membayar pajak artinya tidak ingin melihat Indonesia maju. Menurutnya ajakan-ajakan tersebut juga lebih baik tidak perlu ditanggapi. Seruan setop bayar pajak sejatinya merefleksikan beratnya beban rakyat semakin menghimpit dengan beragam pajak. Sebab dalam sistem ekonomi kapitalis pajak telah dijadikan sumber utama pemasukan negara selain utang.

Mirisnya, hingga hari ini rakyat sendiri tidak banyak merasakan dampak positif kebijakan penguasa dalam pengelolaan pajak rakyat. Alih-alih dirasakan oleh rakyat , penguasa malah mengancam pidana maupun sanksi moral jika tidak atau telat membayar pajak. Pada saat rakyat menyuarakan keinginan bebas dari beban pajak, pemerintah malah menerapkan aturan yang memastikan tidak ada rakyat yang lolos dari jerat pajak. Karena identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak.

Kebijakan ini jelas menggambarkan betapa rezim sekuler kapitalis adalah rezim pemalak bukan pemberi riayah dan solusi bagi rakyat. Inilah ironi di negeri ini, Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi pemasukan negara justru bergantung pada pajak. Penerimaan negara dari sektor pertambangan sangat minim, padahal negeri kita dikaruniai banyak tambang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi cadangan mineral sangat tinggi. Cadangan nikel Indonesia menempati posisi ketiga teratas tingkat global. Indonesia juga mencatat kontribusi sebesar 39 persen untuk produk emas, berada di posisi kedua setelah Cina. Sementara, cadangan mineral aluminium mencapai USD1,07 triliun atau sekitar Rp16.000 triliun. Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India dengan produksi mencapai lebih dari 614 juta ton pada 2021 lalu.

Selain pertambangan, Indonesia juga memiliki kekayaan berupa lautan. Namun sayang, kekayaan alam yang melimpah tersebut tidak dinikmati rakyat Indonesia bahkan justru lari ke luar negeri. Kekayaan alam itu dikuasai korporasi asing hingga rakyat hanya bisa gigit jari. Semua itu terjadi karena selama ini kekayaan alam Indonesia dikelola dengan sistem kapitalisme.

Wujudnya adalah liberalisasi ekonomi, yaitu kekayaan alam diserahkan pada swasta atau asing sehingga negara hanya mendapatkan pajak yang tidak seberapa. Merupakan suatu hal yang memberatkan bagi masyarakat, pemerintah mewajibkan untuk membayar pajak dari segala aspek, mulai dari pajak kendaraan hingga penghasilan. Di sisi lain pemerintah memberi kemudahan dan intensif kepada pengusaha-pengusaha besar dan korporasi asing dengan iming-iming memperbaiki perekonomian Indonesia. Jadi, sebenarnya pemerintah selama ini bekerja untuk siapa?

Sangat jelas pemerintah saat ini semakin eksis dalam memalak masyarakat. Saat negara sekarat, pemerintah memalak rakyat atas nama pajak. Slogan “Orang Bijak Taat Pajak” pun digaungkan supaya rakyat rida dengan aturan penetapan pajak. Padahal, di sisi lain banyak masyarakat yang mengeluhkan pajak yang diwajibkan negara. Pasalnya semua rakyat dipungut pajak meski dia miskin. Dan inilah sumber pemasukan utama negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Negeri yang masih tunduk dengan sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat, di mana kekayaan alam hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Akibatnya, hidup rakyat semakin sengsara akibat tingginya pajak dan berkurangnya subsidi satu per satu. Belum lagi beban utang yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Alhasil, rakyat menjadi melarat karena beban kebutuhan yang terus meningkat dan negara hanya sebatas sebagai regulator kebijakan bukan menjadi pengurus rakyat. Utang negara yang semakin menggunung semua akan ditanggung oleh rakyat dan generasi mendatang melalui pajak yang tinggi. Maka tak heran, pemerintah mengambil pajak hampir di semua sektor.

Memasukkan investasi asing ke dalam negeri atas nama mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengembangkan ekonomi ribawi dengan perbankan ribawi, falas, saham dan lain-lain. Saat bangsa ini mencari solusi, masalah sesungguhnya bukan hanya terletak pada orangnya. Juga bukan hanya pada bidang politik dan ekonomi saja. Sesungguhnya akar masalahnya ada pada pondasi sistem yang mengakar di tengah masyarakat, juga problem penguasa, intelektual dan para pakar yang mengekor pada paradigma kapitalistik. Ini adalah ancaman nyata bagi negeri ini.

Siapa pun rezimnya, jika sistem kapitalis liberal ini yang diterapkan, hasilnya tak akan jauh berbeda: gagal! Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan negeri ini adalah mencampakkan sistem kapitalisme-liberalisme. Layakkah sistem demokrasi kapitalisme ini kita pertahankan, sementara ia hanya melahirkan berbagai kerusakan dan kesempitan hidup?

Hal ini berbeda dengan khilafah yang menerapkan hukum-hukum syariat dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam sumber pendanaan negara. Khilafah jelas tidak akan mengambil pajak rakyat sebagai sumber pendapatan Negara. Khilafah memiliki sumber pendapatan yang kokoh yakni berbasis baitul mal. Dalam baitul mal terdapat tiga pos pemasukan.

(1) kepemilikan umum, adalah harta yang kaum muslimin berserikat atasnya tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Oleh karena itu, harta kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara secara mutlak dan seluruh hasilnya diberikan untuk menjamin kemaslahatan umat. Adapun kepemilikan umum dalam Islam yaitu: fasilitas sarana umum, barang tambang yang tak terbatas, dan Sumber daya alam yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki oleh individu secara perorangan.

(2) Kepemilikan negara, yang berasa dari harta ghanimah, anfal, fay’, khumus, jizyah, ushur dan lain sebagainya. Dana ini dapat digunakan untuk menggaji tentara, pegawai negara, hakim, guru dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum muslim.

(3) Pos zakat, berasal dari harta zakat baik zakat fitrah maupun mal, shadaqah dan wakaf kaum muslimin. Dana zakat hanya dikeluarkan untuk delapan asnaf. Dari pengelolaan dana zakat oleh Negara, khilafah sangat mampu mengentaskan kemiskinan. Seperti inilah sumber dana khilafah sehingga mampu mengurus kebutuhan umat tanpa intervensi dari asing. Kemandirian dan kedaulatan negara tetap terjaga dan potensi penutupan
kebutuhan dana dari luar negeri dapat dihindari.

Kesempurnaan dan kemuliaan sistem Islam adalah solusi nyata yang tuntas agar terlepas dari jeratan lilitan utang. Dengan demikian, sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam negara. Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam bishshawab.

Kolom Populer
Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Bahtiar Baharuddin
Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Selayar.
Penggiat Media Islam, Founder Sahabat Literasi, Pembina Daar Al-Qalam, Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta