Mujahid Dakwah di Ceruk Maksiat
Dakwah, sejatinya adalah aktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam ragam kegiatan mengajak manusia beriman kepada Allah Swt., dan mengimplementasikan keimanannya dalam berbagai wujud aktivitas kehidupannya. Dakwah dapat dilakukan secara individu atau berkelompok dengan metode dan sarana yang relevan dengan konten dakwah dan objek yang menjadi sasaran.
Dakwah harusnya mampu menyasar seluruh elemen umat, apa pun posisinya dalam strativikasi sosial. Rasulullah saw., dalam salah satu hadisnya telah mengintrodusir bahwa kadar kualitas keimanan tiap orang berpotensi meningkat; menguat. Namun, tidak ada jaminan bahwa iman setiap orang akan langgeng, terhindar dari penurunan atau pelemahan. Dakwah menjadi jalan mendorong penguatan iman dan "menangkal pelemahannya".
Manifestasi dakwah makin beragam, beriringan dengan keragaman mad’u (umat sebagai sasaran dakwah). Tentu, metode dakwah pun harus kian variatif berbarengan dengan variasi kehidupan umat. Kemampuan dai merancang konten yang padu padan dengan metode penyampaian yang tepat sasaran, lebih berpotensi menjadikan tujuan dakwah nyata.
Realitas dakwah dalam masyarakat, dominan dalam bentuk bi al-lisan (secara oral) dari mimbar-mimbar masjid atau forum-forum pengajian yang diselenggarakan berbagai kelompok atau institusi--dengan ragam motivasi. Hampir pasti, dakwah di masjid dan pengajian menyasar mereka yang memiliki kesadaran imani yang "baik". Motivasi imanlah yang memantik semangat ke masjid atau menghadiri pengajian, "jeda" dari variasi kegiatan untuk mendengarkan pesan-pesan dakwah.
***
Di tengah semarak dakwah, ada komunitas umat yang "terlupakan". Mereka keasyikan dalam "gemerlap" kehidupan duniawi sehingga tak merasakan pancaran sinar dari cahaya dakwah dan vibrasi dari getaran pesan kebaikan. Mereka terseok-seok dalam ceruk kehidupan malam yang padat maksiat.
Di antara mereka mungkin ada yang berhasrat mendengar dakwah, tetapi wirang (malu). Suasana lebih menyakitkan saat mereka dipandang oleh masyarakat--yang merasa lebih suci--sebagai noda dan aib kehidupan.
Padahal, mereka yang sedang "berselancar" di ceruk maksiat adalah objek dakwah bernilai tinggi. Jika mereka dibiarkan terus-menerus dalam lungkum kehidupannya, tidak hanya akan membuat mereka makin tenggelam, malahan bisa menyeret pihak yang lain masuk ke pusaran yang sama. Dibutuhkan mujahid dakwah untuk mengangkat dan menyelamatkan mereka.
***
Berdakwah di ceruk maksiat adalah perjuangan dengan tantangan berlapis sehingga jauh lebih berat tinimbang dakwah konvensional. Jika tidak hati-hati, bisa terjebak dalam lakon kehidupan objek dakwahnya. Nama yang bersih dan baik, bisa berbeda dalam tilikan masyarakat muslim. Untuk menjalaninya, dibutuhkan modal mental bertuah berbasis religius.
Bergumul dalam medan dakwah seperti itu, telah dijalani Miftah Maulana Habiburrahman. Kiai mudah kelahiran Lampung, 5 Agustus 1981, mengaku "merintis" dakwah dalam kelamnya kehidupan malam di kawasan Pasar Kembang (Sarkem), Yogyakarta, sebelum usianya mencapai 20 tahun.
Dalam dinamika dakwahnya, Gus Miftah, demikian sapaannya, menuai banyak cibiran. Bahkan, kehadirannya--yang memakai baju koko, bersarung, dan berkopiah--memantik perhatian. Diancam akan dihabisi oleh kepala preman penguasa kawasan kehidupan malam di sekitar Pasar Kembang (Sarkem), Yogyakarta. "Itu menjadi tantangan membuktikan bahwa saya mampu," tandasnya dalam rekaman wawancara ekslusif program Kick Andy Show.
Berbilang tahun kemudian, kepala preman yang mengancam menghabisi Gus Miftah, berubah menjadi sosok yang taat. Tak sedikit wanita penyedap malam di lokalisasi, tempatnya berdakwah, yang akhirnya sadar, memupuk kembali harkat dan martabat kemanusiannya.
Renungan dakwah bi al-hikmah (QS. An-Nahl/16: 125) yang menginspirasi.
Wallahu’alam Bish-Shawaab.
Makassar, 26 Januari 2022.