Menjawab Dua Kutub Ekstrem dalam Menyikapi Bencana Alam
BENCANA demi bencana menimpa negeri kita di awal tahun ini yang terjadi di laut, udara, dan daratan. Hal ini memunculkan berbagai opini setiap kelompok masyarakat penyebab bencana tersebut.
Mendengar bencana menimpa negeri tentu kita harus memberikan bantuan semampu yang bisa kita berikan. Minimal mendoakan kebaikan. Jangan sampai bencana yang menimpa saudara kita menjadi komoditas politik kita untuk menyerang kelompok atau pribadi tertentu. Di sisi lain kita juga jangan menganggap bahwa bencana yang terjadi hanya peristiwa alam semata yang tidak bermakna apa-apa.
Sebagai umat yang beriman tentu kita percaya wahyu bahwa ada hikmah di balik setiap peristiwa. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kita tidak boleh ekstrem dalam menyampaikan wahyu dengan menerapkan cocokologi untuk mendukung ideologi kita atau pilihan politik kita semata. Harus tetap adil dalam menyampaikan sesuatu serta jauh dari prasangka tidak berdasar.
Sebagai contoh ada yang mengaitkan setiap peristiwa yang terjadi adalah sebuah teguran kepada pemimpin negara yang tidak pro-ulama. Itu tidak adil dan tidak berdasar sama sekali serta terkesan dipaksakan.
Ada pula yang berpendapat bahwa itu hanya peristiwa alam biasa. Tidak ada hubungannya dengan manusia di atasnya. Orang ini saya lihat niatnya baik untuk menjawab tudingan kelompok ekstrem pertama. Sayangnya, jawaban itu memunculkan sikap ekstrem yang lain dalam masalah ini. Seakan ilmu pengetahuan di atas segalanya sehingga berita wahyu dari Sang Pencipta diabaikan begitu saja.
Sebagi muslim tentu saya akan menengok kembali bagaimana agama saya menyikapi peristiwa berupa bencana alam. Dan ternyata semua telah dijelaskan dengan rapi dan ada di banyak tempat serta penjelasan ulama salaf maupun khalaf, dahulu dan sekarang.
Kita tentu meyakini bahwa segala sesuatu atas izin Allah. Dan segala kehendak Allah tidaklah terjadi begitu saja kecuali tanpa hikmah yang harus kita ambil pelajaran di baliknya. Salah satunya gempa bumi. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda,
"Jika kalian melihatnya atau mengalaminya (yakni bencana alam berupa gempa dan lainnya), maka segeralah berzikir, berdoa, bersedekah, dan banyak memohon ampun." (HR Bukhari dan Muslim)
"Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS Asy-Syuura: 30)
Itu adalah dalil wahyu di antara sekian banyak dalil di dalam Al-Quran dan Al-Hadits mengenai bencana. Hampir semuanya menyuruh kita untuk introspeksi diri masing-masing. Bukan malah sibuk menyalahkan orang atau kelompok lain. Kita semua punya peran untuk memperbaiki keadaan lingkungan dan bangsa kita.
Boleh jadi bencana datang karena teguran dari kebencian yang selalu kita sebarkan di mana-mana. Semakin banyak kita menyalahkan orang lain maka solusi dari permasalahan akan semakin jauh. Kita kadang tidak adil dalam bersikap. Suatu bencana malah dijadikan dasar untuk melegitimasi sikap politik kita.
Boleh jadi pula karena kita semakin kurang peduli kepada lingkungan kita. Keseimbangan ekosistem tidak terjaga karena kerakusan manusia di atasnya. Yang ada adalah obsesi untuk mengeruk kekayaan dari atas bumi semata. Tidak peduli terhadap dampak yang diakibatkannya.
Boleh jadi karena ibadah kita hanya menjadi rutinitas saja (itu pun kalau masih melaksanakan kewajiban ibadah). Tidak bisa menjadi ibadah yang benar-benar membangun jiwa yang bersih. Ibadah yang seharusnya melahirkan kepedulian sosial yang jauh dari sikap egoisme justru sebaliknya menjadi sebuah "alat" untuk membenarkan kekerdilan jiwa.
Boleh jadi diri-diri kita sudah semakin banyak dosa dan maksiat tetapi itu hanya dianggap biasa oleh kita. Makanya tidak salah jika Sang Pencipta coba menegur kita agar kita kembali tersadar sehingga bisa selamat, bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat.
Atau kemaksiatan itu terjadi di sekitar kita tetapi kita tidak peduli sama sekali. Kita sudah semakin pongah dengan ilmu pengetahuan kita yang mencapai batas pendidikan tertinggi. Kita seakan mengesampingkan kekuasaan Allah.
Coba kita saksikan Jepang yang katanya bisa menemukan teknologi terbaru yang bisa menanggulangi gempa dan tsunami. Secara bersamaan Allah menunjukkan kuasanya mendatangkan bencana itu berkali-kali. Menghancurkan teknologi dan kesombongan mereka berkali-kali pula yang menuhankan pengetahuan.
Yang terakhir dan mungkin ini yang paling utama bagi umat manusia. Kita dicipta tidak begitu saja dibiarkan tetapi kita diberikan tanggung jawab yang besar. Yang terbesar adalah beribadah dengan kemurnian ibadah sesuai petunjuk wahyu.
Boleh jadi Allah menegur kita karena cara kita beribadah (baca: menyembah) sudah tidak sesuai keinginan Allah. Kita berani menyekutukannya dengan yang lain. Kita takut dengan "penunggu" gunung, "penunggu" laut, dan lainnya sehingga kita rela melakukan ritual dan "persembahan" yang bertentangan dengan syariat. Sama sekali Allah tidak memerintahkan kita memotong kepala kerbau misalnya untuk laut dan gunung, bahkan Allah mengutuk perbuatan tersebut.
Ritual syirik berbalut budaya yang dianggap biasa. Tidak salah kalau teguran berupa bencana itu menimpa semua orang yang bukan hanya kepada pelaku syirik saja.
Mari kembali kita merenung, untuk apa kita dicipta. Jangan menjadi orang ekstrem dalam menggunakan simbol agama dalam menyerang orang lain. Jangan pula menjadi kelompok ekstrem lainnya yang tertipu dengan pengetahuan yang dimilikinya sehingga mengabaikan kehendak Sang Pencipta dari setiap kejadian.
Bencana yang menimpa bangsa kita saat ini akan sangat bermakna jika kita bisa mengevaluasi diri masing-masing. Pemimpin menegakkan keadilan, orang-orang yang diberi amanah menjalankan amanah dengan baik, serta masyarakat secara umum bisa teratur dengan ketaatan terhadap aturan kemaslahatan umum.
Alangkah indahnya persaudaraan sebangsa yang bisa kita saksikan saat ini. Bantuan demi bantuan mengalir dari seluruh anak bangsa. Semua bahu membahu untuk saling menolong. Semoga itu langkah awal yang akan membuat Allah subhanahu wataala akan menurunkan rahmat-Nya.
Penulis ingin menutup tulisan singkat ini dengan sebuah nasihat yang sangat berharga dari Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang insyaallah akan selalu cocok untuk segala keadaan, utamanya dalam menghadapi ujian bencana ini.
“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR Muslim). (*)
DATA DIRI PENULIS
Nama : Dwi Ardian, S.Tr.Stat., SE
Lahir : Polewali Mandar, 19 November 1988
Pendidikan :
1. Pernah Kuliah di UIN Alauddin Makassar Fakultas Tarbiyah
2. S1 Ekonomi Pembangunan UT
3. DIV Statistika STIS Jakarta
Pekerjaan: ASN, Statistisi di BPS Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat