Membangun Relasi antara Konstituen, Parlemen dan Parpol
Kita cuma jadi penonton yang hanya bisa membahas hal yang remeh temeh. Soal gaya selfie atau posisi kursi atau gunjingan soal keretakan dan kemesraan hubungan politisi. rakyat Indonesia betul-betul dipaksa jadi penonton. Salah satu sebabnya adalah karena itu ambang batas presiden. Dan kita cuma jadi boneka voting.
Belum lama ini, Najwa Shihab mengomentari penetapan ambang batas pencalonan presiden. Celakanya, DPR adalah aktor utama yang menetapkan aturan tersebut meskipun tidak sedikit rakyat yang menolak.
Bagian tersebut hanyalah sebagai gambaran dimana seringkali dijumpai situasi dimana anggota parlemen cenderung tidak acuh terhadap suara rakyat. Mereka seolah tidak mewakili suara konstituen atau cenderung berlawanan dengan suara mayoritas. Padahal badan legislatif di tiap negara demokrasi telah disusun secara sistemik untuk mewakili suara mayoritas rakyat. Dan secara langsung juga, pemerintah bertanggung jawab kepadanya.
Ahli politik modern, Charles Federick Strong mengemukakan ada tiga unsur dari negara demokrasi yaitu representasi, partisipasi dan tanggung jawab politik. Umumnya, ada dua kategori parlemen. Pertama yaitu perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional (functional representation). Kategori kedua menyangkut peran para anggota parlemen sebagai kepercayaan yang menjalankan perannya sebagai pengembang “mandat” yang didapat dari rakyat. Ia juga berfungsi sebagai aktor perantara yang menghubungkan kepentingan yang dibutuhkan atau dituntut oleh rakyat kepada Negara atau pemerintah.
Tapi kenapa masih saja ditemukan “kesesatan” dalam bertindak yang dilakukan oleh anggota parlemen? Apa yang perlu dibenahi?
Proses Rekruitmen Caleg di Parpol yang Akuntabel
Partai politik harus bisa transparan dan adil dalam proses rekrutmen. Partai mesti akuntabel untuk menyeleksi calon anggota parlemen yang berkualitas, melatih bahkan mendampinginya. Pasca seleksi, sebagai bentuk tanggungjawab partai perlu menfasilitasi agar wakil rakyat semakin memperhatikan kepentingan konstituennya. Jangan justru sebaliknya, menekan wakil rakyat agar lebih memprioritaskan kepatuhan dan tugas partai.
Keadaan seperti ini tidak jarang dijumpai oleh wakil rakyat. Bagaikan telur di ujung tanduk yang terombang ambing antara loyalitas terhadap partai dan pelayanan publik atau konstituennya. Jika merujuk pada etika publik, pengambilan keputusan haruslah lebih memprioritaskan kepentingan pelayanan publik. Untuk itu, mekanisme seleksi mestilah ketat. Harus ada kompetisi yang sehat antara kandidat.
Memperkuat Relasi Wakil Rakyat dan Konstituen
Anggota parlemen harus sadar bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaganya cukup rendah. Survei yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik Indonesia hanya memberi angka 52,6 persen untuk DPR dan 47,8 persen pada parpol. Angka ini terbilang sangat rendah dari 1200-an responden yang disurvei melalui metode random sampling. Padahal DPR merupakan lembaga yang merepresentasikan rakyat yang diwakilinya.
Haryatmoko dalam Seminar Nasional Mahkamah Kehormatan DPR RI 2021 mengatakan untuk memperkuat relasi antara wakil rakyat dan konstiuenya maka perlu adanya kontrak. Bentuknya bisa seperti pakta integritas. Isinya berupa persetujuan antara wakil rakyat dan konstituen tentang tugas dalam jangka waktu tertentu yang harus dipenuhi. Contohnya, setelah masa bakti dua tahun tidak berhasil memperjuangkan upaya perbaikan fasilitas pendidikan atau penciptaan lapangan kerja di daerah mereka, maka mandat akan ditinjau ulang.
Mungkin terlihat ambisius karena hal seperti itu belum memiliki kekuatan hukum. Namun, Haryatmoko ini menekankan adanya mekanisme kontrol untuk mengukur akuntabilitas wakil rakyat dari konstituennya. Lebih lanjut, agar tidak hanya terkesan sepihak Haryatmoko mengatakan perlu juga disertai klausul berbagi resiko misalnya kegagalan disebabkan tekanan parpol atau dari luar kemampuannya. Maka konstituen tetap memberikan dukungan terhadap wakilnya di parlemen.
Relasi yang seperti dikatakan Haryatmoko bisa memperkuat hubungan yang lebih intim antar keduanya. Selain itu, akuntabilitas juga terbangun dari rasa saling percaya dan bertanggung jawab antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Jika parpol dan konstituen dapat bekerjasama dalam mengawasi akuntabilitas dan kinerja anggota parlemen maka bukan tidak mungkin jika parlemen dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana seharusnya sebagai wakil rakyat.