Sri Har Wulan Suci
Aktivis Muslimah
Sabtu, 18 Februari 2023 14:18

Makassar Rawan Banjir, Imbas Minimnya Mitigasi?

Sri Har Wulan Suci.
Sri Har Wulan Suci.

BANJIR bukan lagi permasalahan baru di negeri ini. Namun, tampaknya penguasa tetap mengalami kesulitan mencegah bahkan mengatasi bencana banjir yang terjadi hampir tiap tahun di beberapa wilayah. Termasuk Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), yang menjadi sorotan daerah rawan banjir.

Banjir merendam hampir seluruh wilayah Makassar dalam beberapa hari terakhir. Ketinggian air banjir bahkan ada yang setinggi leher orang dewasa. Ini menurut pernyataan Kepala Pelaksana BPBD Makassar Ahmad Hendra Hakamuddin kepada detikSulsel, Senin (13/2/2023).

Salah Diagnosis Penyebab Bencana
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar telah mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem yang diperkirakan akan terjadi sehingga mengimbau para pemangku kepentingan dan seluruh masyarakat dapat meningkatkan kesiapsiagaan terhadap potensi terjadinya genangan air atau banjir, tanah longsor, angin kencang, dan pohon tumbang.

Upaya yang dilakukan pemerintah tampaknya tidak membuahkan hasil yang signifikan. Kini telah berlalu setahun, tetapi saat musim hujan tiba, bencana banjir kembali dirasakan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk segera mengungsi, bahkan dapat menelan korban jiwa.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah setempat tampaknya sia-sia belaka sebab penyebab utama terjadinya banjir tidak menjadi topik pembahasan, baik dalam konferensi maupun rapat yang telah digelar. Intensitas hujan yang tinggi dijadikan penyebab sejumlah wilayah terendam banjir.

Padahal, deforestasi atau konversi lahan pembangunan ala kapitalis seperti pembangunan infrastruktur, telah mengikis ruang terbuka hijau (RTH). Sempitnya drainase juga berdampak pada kurangnya area resapan air. Adanya reklamasi menjadi pemicu naiknya air ke permukaan terutama di daerah pesisir.

Tampak nyata upaya nihil kapitalisme dalam mengatasi permasalahan bencana khususnya pada wilayah rawan banjir akibat salah mendiagnosis penyebab utama terjadinya bencana.

Imbas Minimnya Mitigasi
Progres mitigasi yang selama ini berlangsung berperan penting dalam mengantisipasi dampak banjir sehingga seharusnya menjadi bahan muhasabah atau evaluasi pada diri semua pihak. Khususnya penguasa yang menjadi pengurus rakyat.

Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Amin, mengatakan banjir ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah lantaran tidak memberi perubahan yang berarti dalam persoalan mitigasi bencana di Sulsel, khususnya di Makassar meski banjir terjadi terus tiap tahun. Demikian dikutip Medcom.id, Selasa (14/2/2023).

Mitigasi yang dilakukan di Makassar belum cukup tanggap terhadap bencana banjir karena masih menimbulkan banyak kerugian akibat bencana sehingga diperlukan mitigasi terkait kebijakan agar dapat mengurangi risiko (kerugian) pada saat banjir terjadi.

Asas lahirnya kebijakan dalam sistem sekuler kapitalisme adalah untung-rugi. Makassar sendiri dianggap sangat strategis menjadi pusat perdagangan karena memiliki potensi ekonomi luar biasa. Sehingga, maraknya konstruksi infrastruktur yang sedang dikembangkan menjadi keniscayaan. Pada akhirnya melanggengkan kepentingan para pemilik modal bukan rakyat. Pemerintah justru terkesan mengabaikan dampaknya terhadap lingkungan.

Lalu, harus berapa kali lagi banjir terjadi sehingga dapat menjadi pelajaran dalam rangka mencapai mitigasi terbaik? Hal ini menegaskan bahwa mitigasi bencana yang ada masih ala kadarnya.

Islam Solusi Nyata Atasi Bencana
Berbeda dengan Sistem Islam yang menetapkan bahwa penguasa wajib mewujudkan kesejahteraan dan menjauhkan rakyatnya dari segala potensi berbahaya dan mengancam nyawa. Kepemimpinan dalam Islam berfungsi mengurusi urusan umat (rain) dan sebagai perisai atau penjaga (junnah).

Selain urusan di dunia, penguasa juga hadir mengurusi urusan akhirat rakyatnya sebab asas sistem Islam bukanlah pemisahan agama dari kehidupan dan tolak ukurnya bukan untung rugi tetapi halal-haram.

Bencana adalah ketetapan Allah Swt. yang dapat terjadi kapan pun dan di mana pun sebagai bentuk ujian dan peringatan. Dalam konteks kebencanaan, Islam memiliki tuntunan untuk menghindarinya termasuk upaya penanggulangannya dengan mengatur soal mitigasi kebencanaan. Negara menerapkan aturan paling mendasar dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan.

Namun, berbagai aturan dan kebijakan hanya dapat diterapkan dibawah naungan sistem pemerintahan Islam. Sistem Islam menggariskan beberapa hal.

Pertama, membuat kebijakan master plan meliputi, pembukaan pemukiman atau kawasan baru harus menyertakan variable-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air dan penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya.

Kedua, menetapkan syarat-syarat tentang izin pendirian bangunan. Kebijakan ini bukan untuk menyulitkan rakyat bahkan negara akan menyederhanakan birokrasi dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi warganya.

Kebijakan tersebut untuk menghindari pendirian bangunan pribadi atau lahan umum yang diduga mengantarkan bahaya. Olehnya, negara diberi hak untuk tidak menerbitkan surat izin dan memberi sanksi bagi siapapun yang melanggar tanpa pandang bulu.

Selanjutnya, negara akan membentuk badan khusus untuk menangani berbagai bencana alam dilengkapi dengan berbagai peralatan berat, evakuasi pengobatan dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Dalam menangani korban bencana alam, seluruh warga yang dekat dengan lokasi bencana akan dilibatkan untuk segera bertindak cepat memberikan bantuan.

Lalu, negara akan menyediakan tenda, makanan, pakaian dan pengobatan yang layak. Negara mengerahkan para alim ulama memberikan taushiyyah bagi korban agar dapat mengambil pelajaran dari musibah serta menguatkan keimanan agar tetap sabar, tabah dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt.

Allah Swt. berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”(QS Al-A’raaf [7]: 96). Wallahu a'lam bishawab.