Waspada Santing
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar
Jumat, 04 Maret 2022 11:03

Isra Kebangsaan Prof. Din

Prof. Dr. H. Syamsuddin, M.A.
Prof. Dr. H. Syamsuddin, M.A.

Mendapat unggahan dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, tentu saya gembira. Biasanya, pesannya singkat, bernas: memberikan pencerahan tentang berbagai perspektif dalam ikhtiar membangun kesalehan sosial, di tengah keriuhan peradaban masyarakat Indonesia. Diksi yang beliau gunakan memantik girah untuk perjuangan keumatan dalam bingkai moderasi. Pilihan diksi dalam unggahan berbentuk flayer itu, dalam impresi saya, khas Prof. Din. Yang terasa berbeda, kali ini isinya lumayan "panjang" dari biasanya.

***

Prof. Din seorang pakar, guru besar dalam bidang politik Islam, sehingga sangat paham dengan realitas perpolitikan nasional. Dalam proses pengkhidmatannya terhadap kondisi keumatan di Indonesia, beliau salah seorang tokoh yang lantang menyuarakan ikhtiar perbaikan moralitas politik kebangsaan. Namun, dalam perjuangan itu, belum pernah saya mendengar atau membaca bahwa beliau berkeinginan merakit ikhtiar di ceruk gelanggang politik praktis.

Ketika Prof. Din sebagai narasumber tunggal pengajian virtual nasional--diselenggarakan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, saya menyampaikan asa agar Muhammadiyah menyiapkan ulama muda yang siap berjihad di gelanggang politik pada setiap tingkatan perjuangan bangsa. Saya melihat, 300-an pondok pesantren Muhammadiyah yang ada di seluruh pelosok Indonesia adalah wadah potensial untuk menyiapkan ulama politisi atau politisi yang ulama.

Merespons harapan itu, Prof. Din menegaskan bahwa pilihan perjuangan Muhammadiyah sebagai "penjaga moral" dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, sudah tepat. Pondok pesantren Muhammadiyah harus tetap fokus menyiapkan ulama. Politik praktis adalah area perjuangan para politisi.

Itu sebabnya, setelah membaca pesan yang mengabarkan ketetapan hati untuk melanjutkan pengkhidmatan melalui ceruk politik praktis: Partai Pelita, saya sangsi pesan itu dari Prof. Din. "Pilihan jalan perjuangan itu saya niatkan sebagai sarana amar ma’ruf nahi mungkar dan ikut serta melakukan perbaikan demi kemaslahatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," tulisnya.

Kesangsian itu sirna setelah sore harinya melihat foto-foto kehadiran Prof. Din, berdiri di posisi terdepan menyampaikan deklarasi. Informasi deklarasi Partai Pelita di Gedung Joeng 45, Menteng, Jakarta itu, kemudian ramai diberitakan di berbagai media.

Partai Pelita, jelas Prof. Din dalam unggahan itu, "dirancang sebagai wahana pengamalan etika politik keagamaan, dan sebagai partai kaum muda/milenial. Para tetua di Majelis Permusyawarahan Partai berfungsi tut wuri handayani dan memastikan penegakan etika politik sesuai agama dan budaya luhur bangsa."

***

Cita-cita dalam peta jalan perjuangan Partai Pelita untuk "memastikan penegakan etika politik sesuai agama dan budaya luhur bangsa", sangat penting. Realitas moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang –dalam impresi Buya Syafii Maarif-- nyaris berada pada titik nadir, membutuhkan "dewa penyelamat".

Kepemimpinan moral, dalam perspektif Yudi Latif, harus berada dalam bingkai demokrasi yang beradab: demokrasi yang memungkinkan hukum mengarungi lautan etika. Sebab, berbagai ekspresi ketidakpatutan etis di jagad politik, mengindikasikan meluasnya fenomena "rabun moral". Demokrasi tak kunjung dikonsolidasikan karena Pancasila tidak sungguh-sungguh dijadikan titik tumpu; pranata politik kerap dibongkar pasang; konstitusi dan hukum ditekuk-tekuk sesuai selera kepentingan.

Menurut mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini, gerak politik Indonesia sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Tiap saat, bahtera republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya. Diskusi publik dilumpuhkan fiksi politik, perwakilan bermutu disisihkan keterpilihan semu, pemerintahan hukum dilumpuhkan personalisasi kekuasaan.

Untuk mengeluarkan Indonesia dari situasi itu, perlu pemulihan kejelasan dan keajegan visi yang memberi prinsip dan haluan direktif berjangka panjang, tanpa kehilangan daya fleksibilitas merespons berbagai ancaman dan perkembangan yang terus berubah. Kepemimpinan memainkan peran penting. Negara seluas, sebesar, dan semajemuk Indonesia, diperlukan pemimpin negarawan yang memiliki keluasan mentalitas dan tanggung jawab lebih besar, melampaui kepentingannya sendiri.

Modal terpenting kepemimpinan adalah modal moral (moral capital). Moral yang menjadi kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai, keyakinan, tujuan, amanat penderitaan rakyat. Kapital bukan hanya potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.

Untuk melayani kepentingan umum, seorang pemimpin harus mampu "puasa" dari godaan nafsu kuasa, harta, hormat, dan popularitas, yang tak ada habisnya. Kebahagiaan tertinggi bagi pemimpin sejati, terletak pada kemampuan merengkuh makna terluhur kekuasaan sebagai amanah Tuhan dan rakyat, demi kebajikan dan kebahagiaan hidup bersama.

***

Prof. Din, seorang pakar dan guru besar bidang politik Islam, memahami dan menghayati nilai-nilai dalam perspektif Yudi Latif. Boleh jadi, kristalisasi pemahaman dan penghayatan itu yang –antara lain— memantik girah sehingga beliau memilih meniti perjuangan di rana politik praktis. Sebuah alternatif setelah "teriakan" di ruang publik tidak lagi efektif.

Pilihan deklarasi bertepatan dengan Isra Mikraj dalam penanggalan hijriah, dan disuarakan dari Gedung Joeang 45, tentu memiliki makna khusus bagi para pendiri dan deklarator Partai Pelita.

Selamat Prof. Din! Selamat Partai Pelita! Semoga menjadi "suluh penerang" kehidupan umat, menuju suasana yang lebih cerah dan lebih terang, dibandingkan partai keumatan yang lahir lebih awal. (*)

Wassalahu a’lam Bish-Shawab.
Makassar, 2 Maret 2022.

Kolom Populer
Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Bahtiar Baharuddin
Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Selayar.
Penggiat Media Islam, Founder Sahabat Literasi, Pembina Daar Al-Qalam, Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta