Gubernur Sulsel "Entered The Operation Target" atau Sebatas Saksi!
Dahulu, di Unhas. Semester awal. Saya sempat diajari Prof Dr Achmad Ali (amarhum). Ia mengajar mata kuliah Sosiologi Hukum. Salah satu penekanannya; "presumtion of innocence."
Kira-kira arti asas hukum ini; setiap orang yang disangka. Ditangkap. Ditahan. Dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah. Sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Ini, perlu saya sampaikan sebagai pembuka.
Pendekatan sosok Achmad Ali ini, penting. Biar kita tidak langsung mem-vonis seseorang. Intinya, biarkanlah proses hukum yang menentukannya.
Dua Berita Besar
Dua hari terakhir ini, terjadi peristiwa besar di Sulsel. Pertama, Jumat (26 Februari), terjadi pelantikan sejumlah kepala daerah yang menang dalam Pemilukada. Hal itu, tentu, disambut suka cita. Terkhusus, pemenang dalam pilkada. Termasuk, tim sukses (timses) masing-masing pemenang.
Dan, kedua. Sabtu, hari ini, (27 Februari), Sulsel khususnya, dikejutkan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan Gubernur Sulsel, Prof Dr Nurdin Abdullah. Tentu, berita yang memunculkan keprihatinan. Juga, sedih. Malu, bahkan.
Gubernur Sulsel, dibawa KPK terbang ke Jakarta. Dengan pesawat Garuda; GA 617. Berangkat ke Jakarta melalui Gate 2, pada pukul 07.00 wita.
Sekadar meluruskan sejumlah informasi, Jubir Nurdin Abdullah, Veronica Moniaga, menegaskan, Profesor Andalan,--sapaan Nurdin Abdullah--tidak ditangkap tangan. Tetapi, dijemput secara baik di Rujab Gubernur, dini hari.
Memang, kata dijemput secara "baik", menurut Veronica, tentu masih memunculkan persepsi yang berbeda. Karena, dilakukan dini hari. Pas, 'Sang Gubernur', beristirahat bersama keluarga. Tapi, apa pun, lagi-lagi kita tunggu saja KPK melanjutkan penyidikan.
KPK Punya Alat Canggih
Lalu, apakah Prof Andalan "entered the operation target" (masuk dalam target operasi) atau hanya sebatas saksi? Terkait ini, saya mau berkisah soal pengalaman teman saya.
Ia adalah pengacara. Pernah berurusan dengan KPK. Kata teman saya yang bergelar "maha terpelajar" alias doktor itu, KPK sangat unggul dalam penyelidikan/penyidikan dengan menggunakan alat perekam.
Alatnya, sangat canggih. Dan, sebelum penangkapan, orang yang menjadi target diikuti. Waktu yang digunakan memantau target, kata dia, juga tidak singkat. Berbulan-bulan.
Diceritakan, alat perekam itu tidak sebatas menyadap nomor target. Nomor apa saja yang digunakan target, pas suaranya cocok dengan alat perekam tadi, maka tim KPK sudah langsung mendeteksinya.
Masih kata teman saya itu,--benar atau tidaknya belum bisa dipastikan---alat ini, digunakan pasukan elite dunia. Termasuk, CIA, USA.
Nah, kalau betul kata teman saya itu, ada kemungkinan "Sang Gubernur", telah lama dipantau. Karena, tidak mungkin operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di salah satu rumah makan di Jalan Ali Malaka, Kecamatan Ujung Pandang, lalu serta merta bergeser penjemputan secara "baik" di Rujab Gubernur.
Kemungkinan lain, juga ada. Saat penangkapan itu, ada "nyanyian" sumbang dari mereka yang terkena OTT. Kemudian, penyidik KPK yang disebut-sebut berjumlah sembilan orang dalam OTT ini, menjemput Sang Gubernur. Soal ini, kita lagi-lagi harus menunggu 1x24 jam.
Muruah Pemerintahan
Penjemputan KPK terhadap Gubernur Nurdin Abdullah secara "baik" di Rujab Gubernur Sulsel, masih menjadi polemik di sejumlah grup Whats App. Bukan apa-apa, memang. Sejumlah spekulasi bermunculan. Pesan saya, tetap pada ajaran (almarhum) Prof Achmad Ali, tadi; presumption of innocence.
Kendati demikian, ada yang menjadi perhatian saya. Sangat mengganggu, malah. Sehingga dasar ini pulalah yang membuat saya berpendapat melalui tulisan ini.
Dan, menurut saya,--maafkan kalau keliru--ini sangat mendasar. Bahwa, pemerintahan itu punya muruah. Tak terbayang bagi saya. Seorang gubernur. Jelas, orang nomor satu di Sulsel, dijemput KPK dini hari, hanya untuk menjadi saksi.
Jika hanya sebatas saksi, mengapa bukan staf KPK saja yang mendatanginya? Atau paling tidak, janganlah dini hari didatangi. Biarkanlah beristirahat dulu.
Apalagi, begitu banyak persoalan yang dihadapi daerah ini. Termasuk,--yang paling mendasar--adalah antisipasi Covid-19. Yang, menjadi prioritas pemerintah kita. Bahkan, Presiden Jokowi berungkali menegaskan virus berbahaya ini.
Intinya, jika keberadaan Nurdin Abdullah hanya sebatas saksi, lalu dijemput dini hari. Saya ingin berpendapat. Bahwa, terjadi 'pengangkangan' muruah pemerintahan.
Dan, satu lagi, dampaknya begitu besar. Tidak hanya nama baik Sulsel. Kaluarga Nurdin Abdullah pun, secara khusus, pasti merasakan sedih dengan peristiwa ini.
Karena, tak bisa dinafikan. Peristiwa ini, membuat informasi berseliweran di media sosial. Begitu ramai. Baik itu berita penjemputan. Penangkapan. Alat bukti, uang sebesar satu miliar rupiah. Bahkan, berita klarifikasi. Kita berharap, ini segera jelas!
Petiklah Hikmahnya
Dua peristiwa besar di Sulsel ini, sebaiknya menjadi pembelajaran. Sejumlah kepala daerah yang dilantik pada Jumat (26 Februari), perlu bercermin. Bahwa, kejadian Sabtu (27 Februari) hari ini, perlu menjadi catatan.
Para tim sukses (timses) atau tenaga ahli (apa pun namanya), juga perlu memetik hikmahnya. Bahwa deviation (penyimpangan) bisa berakibat fatal. Dan, itu, akan dikenang. Menjadi sejarah buram.
Tidak hanya kepada pelakunya. Tetapi, bahkan keturunannya. Dan, sekali lagi, ini penting menjadi pembelajaran.
Tim sukses. Tim ahli. Tim penasihat. Atau tim-tim lainnya. Apa pun namanya. Tolong, jadilah lonceng pengingat. Bahwa kehadiran pemerintah untuk bermanfaat bagi rakyatnya.
Terakhir, saya ingin mengutip kalimat bijak. Mungkin, bisa menjadi petikan hikmah di balik kejadian ini. Baik itu,--terkhusus-- kepada pribadi saya. Maupun, kepada siapa saja.
Bahwa, "cobaan adalah cara Tuhan menjadikan pribadi yang lebih sabar dan kuat. Dan, musibah yang membuatmu kembali pada Tuhanmu, jauh lebih baik dari nikmat yang mebuatmu lupa pada Tuhanmu." (*)