RAKYATKU.COM - Indonesia dan Amerika Serikat merupakan negara yang sama-sama menganut sistem pemerintahan presidensial. Meski demikian, ada beberapa perbedaan mekanisme dalam pemilu presiden dari kedua negara. Ada tiga hal yang perlu Anda ketahui untuk mengerti perbedaan mekanisme pemilihan umum di Indonesia dan Amerika Serikat.
Berbicara mengenai sistem pemilu di Indonesia, masyarakat sudah terbiasa mengawal segala persiapannya, lewat saluran media massa dan semua pihak yang terlibat di dalamnya dengan menggunakan jasa rilis berita.
Berikut adalah penjelasan mengenai sistem pemilu di Indonesia dengan Amerika Serikat.
Kandidasi Calon Presiden
Indonesia melakukan pembatasan terhadap calon presiden berdasarkan aturan dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan tersebut berbunyi bahwa hanya partai atau gabungan dengan suara 20 persen dari kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 25 persen suara nasional pemilu DPR sebelumnya, yang dapat mencalonkan kandidat presiden atau wakil presiden.
Sebaliknya, Amerika Serikat membuka lebar ruang untuk pencalonan presiden. Hal tersebut tanpa pengecualian, baik partai besar atau kecil, bahkan hingga calon independen. Sebagai gambaran, pada Pemilu 2016 tercatat ada 27 pasangan calon presiden dari dua partai utama (Demokrat dan Republik), partai-partai kecil dan calon independen. Pada 2012, terdapat 6 pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jumlah calon presiden dari partai kecil cukup minim karena sulit untuk menjadi pesaing Presiden Barack Obama yang pamornya lebih tinggi kala itu.
Indikator Kemenangan
Di Indonesia, pemilihan presiden digelar secara langsung dan dilakukan langsung oleh para pemilih. Indikator kemenangan seorang calon adalah dari raihan suara terbanyak. Satu hal yang pasti, kunci kemenangan pemilu di Indonesia, adalah apabila calon presiden sukses merebut suara terbanyak di Pulau Jawa. Mengapa demikian? Sebab, 50 persen penduduk Indonesia adalah menempati wilayah tersebut.
Sebaliknya di Amerika Serikat, seorang calon presiden dinyatakan terpilih berdasarkan sebaran suara per negara bagian. Masing-masing negara bagian memiliki anggota dewan pemilih. Secara keseluruhan, jumlahnya mencapai 538 anggota dewan pemilih di seluruh negara bagian.
Kemudian, jumlah dewan pemilih setiap negara bagian tersebut juga berbeda. Hal tersebut berdasarkan jumlah populasi yang ditentukan dari sensus penduduk. Sebagai gambaran, Virginia punya 13 anggota dewan pemilih. Kemudian, ada 55 anggota dewan pemilih di California. Sementara, wilayah Arizona, Indiana, Massachusetts, dan Tennessee memiliki 44 anggota dewan pemilih.
Sehingga hal tersebut menjadikan seorang presiden terpilih belum tentu memperoleh suara pemilih mayoritas. Jika seorang calon mendapatkan suara mayoritas di Virginia dan wilayah tersebut di atas, maka dia akan memperoleh 13 plus 44 suara dewan pemilih.
Sehingga akan mendapatkan total 57 suara dan dinyatakan memenangkan pemilu presiden. Meski memang faktanya, sang pesaing memenangkan satu California dengan jumlah penduduk lebih banyak dari Virginia dan wilayah tersebut di atas.
Dengan demikian, agar dapat memenangkan pemilu ini, maka minimal presiden terpilih harus mengumpulkan 270 suara anggota dewan pemilih. Hal ini yang menjadikan Hillary Clinton pada Pemilu 2016 dan Al Gore pada Pemilu 2000 mengumpulkan suara mayoritas pemilih, tetapi tetap gagal memenangkan pemilu. Pasalnya, mereka gagal mengumpulkan minimal 270 anggota dewan pemilih.
Tradisi Gentlemen
Tradisi gentlemen adalah untuk memberikan tanggapan terhadap hasil pemilu. Di Amerika Serikat, terdapat kebiasaan di mana pihak yang kalah kemudian menelepon pemenang atau presiden terpilih.
Situasi tersebut terjadi ketika Al Gore dinyatakan kalah dari Presiden George Walker Bush. Al Gore yang saat itu menjabat wakil presiden menghubungi Bush dan kemudian memanggilnya dengan panggilan Tuan Presiden terpilih. Ia kemudian menyatakan kekalahannya dan berkomitmen untuk membantu presiden dalam urusan kenegaraan.
Namun, ada persoalan perselisihan suara di Florida yang berpotensi mengubah laju kemenangan. Alhasil, muncul perdebatan mengenai hal tersebut dari Pengadilan Florida hingga Mahkamah Agung Amerika.
Di Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat, tidak terjadi persidangan, tetapi justru muncul pernyataan bahwa kasus itu tidak perlu dilanjutkan karena dianggap hanya akan memecah belah bangsa. MA kemudian memerintahkan agar menghentikan perkara itu lewat juru bicaranya.
Atas kebijakan itu, Al Gore lagi-lagi menelepon Bush dan kembali menyampaikan hal yang sama seperti pada pembicaraan pertama. Sikap negarawan Al Gore tersebut dianggap mampu menyatukan perbedaan antara pemilih.
Nah, itulah beberapa perbedaan pemilu di Indonesia dengan Amerika Serikat. Menjelang Pemilu 2024, informasi seputar perkembangan wajib dipublikasikan secara luas ke masyarakat. Untuk itu, penggunaan saluran media massa lewat publikasimedia.com bisa Anda manfaatkan untuk memastikan informasi tersampaikan dengan baik, aktual, dan akurat.