Minggu, 13 November 2022 11:23

Dmitry Medvedev: Rusia Sendiri Memerangi NATO dan Dunia Barat

Syukur Nutu
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev mengancam NATO untuk tidak melanggar apapun di Krimea karena bisa menyebabkan perang dunia ketiga. (Foto/AFP)
Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev mengancam NATO untuk tidak melanggar apapun di Krimea karena bisa menyebabkan perang dunia ketiga. (Foto/AFP)

Medvedev menulis Rusia belum menggunakan persenjataan lengkapnya dan belum menyerang semua target musuh potensial

RAKYATKU.COM - Moskow berdiri sendiri dalam pertempurannya melawan blok militer NATO pimpinan Amerika Serikat (AS) dan mampu mengalahkan musuh-musuhnya sendiri.

Hal ini serti disampaika mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev.

“Rusia sendiri yang memerangi NATO dan dunia Barat,” tulis Medvedev di saluran Telegram pada Sabtu (12/11/2022).

Baca Juga : Donald Trump Desak Presiden Biden Akhiri Perang Ukraina Sebelum Mengarah ke Penggunaan Senjata Nuklir

Dia merupakan wakil ketua Dewan Keamanan Rusia dan pemimpin Partai Rusia Bersatu yang berkuasa. “Kami mampu menghancurkan musuh yang kuat atau aliansi musuh sendirian,” ujarnya.

Dikatakan, selama kegiatan militernya, Moskow berupaya menyelamatkan nyawa para tentara dan warga sipilnya. Medvedev menulis Rusia belum menggunakan persenjataan lengkapnya dan belum menyerang semua target musuh potensial.

Dia menambahkan, "Ada waktu untuk segalanya." “Rusia-lah yang hari ini membentuk tatanan dunia masa depan,” tegasnya.

Baca Juga : PM Inggris Janjikan 125 Senjata Anti-pesawat Saat Kuanjungi Kiev

“Tatanan dunia baru yang adil ini akan terbentuk.”

Kata-kata Medvedev muncul di tengah meningkatnya ketergantungan Kiev pada militer dan bantuan keuangan Barat dalam konflik yang sedang berlangsung.

Kiev telah menerima bantuan militer besar-besaran dari Barat selama konflik. AS mengumumkan tambahan USD1,1 miliar untuk Ukraina pada bulan September. Itu artinya, jumlah total bantuan militer untuk Ukraina menjadi hampir USD17 miliar sejak Presiden AS Joe Biden menjabat pada awal 2021.

Baca Juga : Ledakan Guncang Ibu Kota Ukraina, Diduga Drone Kamikaze Rusia

AS, bersama dengan Uni Eropa (UE) dan beberapa negara lain, memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Rusia setelah Moskow melancarkan operasi militernya pada akhir Februari.

Rusia mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari, mengutip kegagalan Kiev mengimplementasikan perjanjian Minsk, yang dirancang untuk memberikan status khusus wilayah Donetsk dan Luhansk di dalam negara Ukraina.

Protokol, yang ditengahi Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada tahun 2014.

Baca Juga : Langkah Kementan Kembangkan Sorgum dan Sagu Didukung Akademisi

Mantan presiden Ukraina Pyotr Poroshenko sejak itu mengakui tujuan utama Kiev adalah menggunakan gencatan senjata untuk mengulur waktu dan “menciptakan angkatan bersenjata yang kuat.” Pada Februari 2022, Kremlin mengakui republik Donbass sebagai negara merdeka dan menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer Barat mana pun.

Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan.

Pada awal Oktober, Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk, serta Wilayah Zaporozhye dan Kherson, secara resmi menjadi bagian dari Rusia setelah referendum yang membuat mayoritas penduduk lokal memilih mendukung aksesi.

Baca Juga : Rusia Kuasai Seluruh Wilayah Luhansk Ukraina


Sumber: SINDOnews

#Perang Rusia Vs Ukraina