RAKYATKU.COM - Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel non aktif dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta serta pencabutan hak politik selama 5 tahun.
Hamka, wakil ketua eksternal ACC Sulawesi menilai tuntutan dari JPU KPK terhadap terdakwa Nurdin Abdullah tersebut sangat ringan. Dia membandingkan dengan beberapa kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan gubernur di daerah lain seperti Irwandi Yusuf (Aceh) dengan tuntutan 10 tahun (denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan), Ridwan Mukti (Bengkulu) dengan tuntutan 10 tahun (denda Rp400 juta subsider 4 bulan kurungan), Zumi Zola (Jambi) dengan tuntutan 8 tahun penjara (denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan).
"Apabila melihat ancaman pidana pada Pasal yang didakwakan, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, tuntutan 6 tahun hanya sepertiga dari ancaman pidananya," kata Hamka.
Baca Juga : Jaksa KPK Ikuti Nurdin Tidak Banding, Anggap Tuntutannya Sudah Diambil Alih Hakim
Ringannya tuntutan terhadap Nurdin Abdullah, lanjut Hamka, menunjukan KPK tidak melihat konteks tindak pidana korupsi yang melibatkan Nurdin Abdullah sebagai rangkaian dari korupsi yang hidup akibat sistem politik atau political corruption, yang memiliki relasi dengan pembiayaan politik, pra dan pasca Pilgub Sulsel tahun 2018.
Salah satunya dengan mengambil keuntungan (gratifikasi dan suap) dalam pembiayaan sejumlah proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh swasta yang juga merupakan bagian dari oligarki lokal dimana Nurdin sebagai 'intelektual dader'-nya.
"Kasus ini mestinya menjadi momen baik untuk mengevaluasi pembiayaan dan pengerjaan proyek infrastruktur yang transparan dan akuntabel, sekaligus mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasannya. Selama ini pengerjaan proyek infrastruktur di Sulsel berada dalam 'ruang gelap' dimana transparansi dan akuntabilitasnya diragukan," lanjutnya.
Baca Juga : Terima Vonis 5 Tahun Penjara, Nurdin Abdullah Tidak Ajukan Banding
Dengan sederet prestasi yang disandangnya, salah satunya tokoh pilihan Bung Hatta Anti Corruption Award, ACC menganggap masyarakat Sulsel telah menjatuhkan pilihannya kepada Nurdin Abdullah yang ternyata di kemudian hari dikhianatinya. Namun dengan adanya kasus korupsi yang melibatkan dirinya beserta rangkaian suap yang terjadi membuat publik Sulawesi Selatan merasa salah menggantungkan harapan.
"Penghukuman yang maksimal adalah tidak lain untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat Sulawesi Selatan," katanya.
Melihat rendahnya tuntutan JPU KPK tersebut, ACC Sulawesi mengharapkan majelis hakim lebih memperhatikan situasi ini dengan mengambil langkah progresif, berani menjatuhkan hukuman maksimal sebagaimana ancaman pada pasal yang didakwakan dan mengabaikan tuntutan rendah dari JPU KPK.
Baca Juga : Senang Sebagian Besar Tuntutan Dipenuhi Hakim, JPU Masih Pikir-Pikir Banding Vonis NA
"Hal ini agar memberikan efek jera dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, mengingat kejahatan korupsi merupakan kejahatan extraordinary crime. Maka perlu komitmen yang tegas dari majelis hakim terhadap kasus-kasus korupsi," jelasnya.
Sementara itu, Irwan Irawan selaku kuasa hukum Nurdin Abdullah menyebut tuntutan JPU terhadap Nurdin Abdullah terlalu berat. Dalam pleidoinya nanti, kuasa hukum Nurdin Abdullah akan memberikan pembelaan sesuai dengan fakta yang mereka lihat dalam persidangan.
"Itu hal yang menurut kacamata kami terlalu berat. Dari fakta persidangan yang ada, kami juga berkeyakinan bahwa bukti yang ada selama persidangan ini itu tidak kuat menempatkan Pak Nurdin sebagai terdakwa dalam proses pidana," kata Irwan di PN Makassar.
Baca Juga : Kliennya Divonis 5 Tahun, Kuasa Hukum NA Masih Pikir-Pikir untuk Banding
Irwan juga menanggapi tuntutan tambahan jaksa yakni tentang pencabutan hak politik dari Nurdin Abdullah. Menurutnya itu bisa dimungkinkan dalam UU untuk pidana tambahan.
"Tapi pidana pokok harus terbukti dulu. Kalau pidana pokok tidak terbukti, otomatis tidak bisa diberlakukan dong," jelas Irwan.