Kamis, 28 Januari 2021 20:02

Arcandra Tahar Cermati Kebijakan Kendaraan Listrik di AS, Pabriknya Segera Dioperasikan di Indonesia

Trio Rimbawan
Konten Redaksi Rakyatku.Com
All New Hyundai Tuscon (salah satu jenis mobil listrik asal korea) IST
All New Hyundai Tuscon (salah satu jenis mobil listrik asal korea) IST

Setelah Amerika Serikat membuat kebijakan soal pabrik kendaraan mobil listrik, tidak lama lagi investor akan membangun pabrik mobil listrik di Indonesia.

RAKYATKU.COM--Amerika Serikat (AS) baru saja menjalani transisi pemerintahan dari Presiden Donald Trump dari partai Republik kepada Joseph (Joe) Biden yang didukung partai Demokrat. Saat kampanye pencalonan presiden, Joe Biden memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan renewable energy, seperti halnya electric vihicle/EV( kendaraan listrik).

Jika menjadi presiden AS, Biden akan mendorong peralihan transportasi pribadi dari kendaraan berbahan bakar BBM ke EV. Untuk mewujudkan rencana itu, Biden akan membangun 500 ribu pengisi daya EV dan meningkatkan investasi di baterei listrik dan teknologi pendukungnya hingga USD 5 miliar dalam lima tahun ke depan. Bahkan Biden juga akan mendorong investasi besar untuk membiayai R & D dan pengembangan EV ini.

Mengutip tulisan dari Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Arcandra Tahar, ia menilai bahwa sebagai negara konsumen minyak dan gas (migas) terbesar di dunia dan juga salah satu produsen migas terbesar, rencana Biden tentunya patut dicermati. Akankah kebijakan Amerika di sektor energi akan mengubah peta konsumsi migas, mengingat saat migas ini masih menjadi sumber energi utama di sana?

Baca Juga : Pabrik Mobil Listrik Raksasa RI Segera Beroperasi, Jokowi: SDA Biji Nikel Indonesia Harus Diberdayakan

Jika menyimak proyeksi OPEC, sampai tahun 2040 nanti kehadiran EV akan mengkonversi penggunaan BBM sekitar 6 juta barel per hari di seluruh dunia. AS akan menjadi negara yang paling banyak mengganti (replacement) energi BBM ke listrik tersebut, mengingat populasi EV diprediksi menjadi yang terbesar di dunia.

Pada tahun 2030, kehadiran EV di AS akan memangkas konsumsi minyak sekitar 500 ribu barel per hari. Angka tersebut meningkat hingga mendekati 2 juta barel per hari di 2040.

Namun yang patut dicermati, kebijakan Biden untuk memperkuat renewable energy di Amerika sejauh ini berbeda dengan fokus dan strategi perusahaan-perusahaan energi besar di AS seperti Exxon, Chevron maupun ConocoPhillips

Baca Juga : Pabrik Mobil Listrik Raksasa RI Segera Beroperasi, Jokowi: SDA Biji Nikel Indonesia Harus Diberdayakan

Tiga besar perusahaan energi fosil di Amerika berpartisipasi dalam menurunkan kandungan emisi carbon dengan cara mengurangi dampaknya terhadap lingkungan bukan mengganti sumber energinya dengan renewable. Perusahaan tersebut memanfaatkan CO2 untuk memproduksi energi fosil (CO2 injection misalnya) atau menyimpannya ke dalam bumi melalui program yang dinamakan Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS).

Sejak tahun 2018 Chevron telah mengalokasikan investasi sebesar $ 100 juta bagi pengembangan teknologi untuk mengurangi emisi gas buang. Chevron juga sudah berinvestasi hingga $ 1,1 miliar dalam program CCUS. Dengan strategi ini Chevron menargetkan terjadi pengurangan emisi gas methana 20-25% di tahun 2023.

Langkah yang sama juga dilakukan Exxon. Perusahaan ini sejak tahun 2000 sudah melakukan investasi hingga $ 10 miliar untuk mengembangkan tehnologi rendah emisi carbon. Tahun lalu, Exxon juga menambahkan investasinya $ 100 juta untuk menekan emisi gas buang. Targetnya tahun ini terjadi pengurangan emisi gas methane hingga 15%.

Baca Juga : Pabrik Mobil Listrik Raksasa RI Segera Beroperasi, Jokowi: SDA Biji Nikel Indonesia Harus Diberdayakan

Strategi perusahaan energi di AS memang berbeda dengan beberapa perusahaan energi di Eropa. Jika di AS mereka tetap fokus dengan sumber energinya yaitu fosil dan mengembangkan teknologi untuk mengurangi emisi carbon, di Eropa justru banyak yang mulai mengalihkan sumber energinya ke renewable energy.

Contohnya Shell yang fokus mengembangkan bisnisnya ke energi rendah karbon seperti angin, matahari, gas alam, bio fuels dan hydrocarbon. Begitu juga dengan British Petroleum (BP) yang mengalihkan fokus bisnis energinya ke angin, matahari, bio fuels dan charging point untuk EV.

Strategi siapa yang akan memberi dampak terbaik? Setiap perusahaan tentu memiliki strategi yang sudah diperhitungkan sscara matang. Amerika dan Eropa juga memiliki karakter pasar/konsumen yang berbeda. Namun khusus di AS, mengacu data pada tahun 2019 konsumsi BBM lebih dari 20 juta barel per hari, EV hanya akan mengurangi konsumsi BBM sekitar 2 juta barel per day di tahun 2040.

Baca Juga : Pabrik Mobil Listrik Raksasa RI Segera Beroperasi, Jokowi: SDA Biji Nikel Indonesia Harus Diberdayakan

Sementara itu,  Pakar Transportasi Sulsel, Lambang Masri, saat diminta tanggapan terkait pabrik mobil listrik di Indonesia,  ia mengatakan, pada dasarnya rencana pemerintah Indonesia yang sebentar lagi akan memiliki investor pabrik mobil listrik yang cukup besar, itu merupakan langkah yang tepat dan sudah jadi tuntutan, guna mengurangi polusi udara serta mengantipasi ketersediaan sumber bbm.

Menurutnya dengan adanya mobil listrik tentu berdampak pada lingkungan. Artinya, dari sisi kesehatan mobil listrik lebih ramah lingkungan ketimbang mobil yang menggunakan bahan bakar minyak(bbm).

"Saya kira wajar-wajar saja jika pemerintah mengambil langkah cepat untuk membangun pabrik mobil listrik di Indonesia. Bagus untuk mengurangi polusi udara dan lingkungan akan lebih sehat. Lebih bagus lagi kalau naik sepeda orang pergi bekerja. "kata Lambang Basri saat dihubungi via Whatsap, Kamis, (28/1).

Baca Juga : Pabrik Mobil Listrik Raksasa RI Segera Beroperasi, Jokowi: SDA Biji Nikel Indonesia Harus Diberdayakan

Selain itu, tentu saat ini pemerintah juha melihat bagaimana kondisi sumber mineral bbm yang ada sekarang ini. Karena pasti akan berkurang juga. "Bmm itu untuk di seluruh dunia akan deposit jika dipakai terus memerus. Jadi wajar bila pemerintah memang perhitungkan dari sekarang. Amerika saja negara besar sudah pikirkan itu, "jelasnya.

Olehnya lanjut dia, dengan pengembangan produksi mobil dan transportasi listrik saat ini bukanlah sebuah ancaman bagi sektor bisnis kenderaan di dunia dan Indonesia. Jadi segmen pasar mobil listrik ini tentu melihat bagaimana dampaknya. Bahkan populasinya juga tentu tidak langsung meningkat pesat dan kemungkinan hanya berada dikisaran 10 persen populasinya hingga 2040.

"Mobil listrik ini memang sudah jadi kebutuhan dan tuntutan, tetapi jangan dijadikan ancaman bagi produksi kenderaan yang masih menggunkan bbm. Karena memang produksi mobil listrik itu investasi daya dan pengadaannya mahal."lanjutnya.

Baca Juga : Pabrik Mobil Listrik Raksasa RI Segera Beroperasi, Jokowi: SDA Biji Nikel Indonesia Harus Diberdayakan

Kendati demikian ia berharap jangan sampai dengan adanya pabrik mobil listrik yang besar, negara Indonesia tidak terbebani dengan investasi utang yang besar pula. Karena itu sangat bagus jika para investor mobil listrik yang masuk di Indonesia memakai sumber daya alam (SDA) juga sehingga Indonesia lebih maju di sektor ekonomi.

"Tenaga listrik itukan bisa dari nikel, batubara bahkan bisa juga dari tenaga air serat angin. Di indonesia sebaiknya jangan terlalu tergantung pada teknologi maju dari luar,jangan sampai menambah utang negara."pungkasnya.

 

#arcandra tahar #Pabrik Mobil Listrik