Rabu, 07 Oktober 2020 19:03

Soal Vaksin Covid-19 Bersertifikat Halal, Begini Kata Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Fathul Khair Akmal
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ilustrasi
Ilustrasi

Menurut Direktur Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPH-KHT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M Nadratuzzaman Hosen, proses sertifikasi halal pada vaksin Covid-19 dari berbagai produsen vaksin luar negeri menjadi sangat penting dilakukan untuk memastikan kehalalan vaksin.

RAKYATKU.COM - Sejumlah produsen vaksin luar negeri yang bekerjasama dengan Indonesia telah siap menyediakan vaksin virus covid-19. Salah satunya yakni produsen vaksin asal China yaitu Sinovac.

Perusahaan ini telah berkomitmen menyediakan vaksin 15 juta dosis pada akhir 2020 dan 245 juta dosis pada 2021. Namun demikian perihal kehalalan vaksin menjadi permasalahan tersendiri mengingat konsumen vaksin Indonesia mayoritas adalah Muslim yang sangat memperhatikan kehalalan sebuah produk.

Menurut Direktur Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPH-KHT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M Nadratuzzaman Hosen, proses sertifikasi halal pada vaksin Covid-19 dari berbagai produsen vaksin luar negeri menjadi sangat penting dilakukan untuk memastikan kehalalan vaksin.

Baca Juga : Kasus Covid-19 Indonesia Meningkat Lagi, Kini Total 6.080.451

Nadratuzzaman menjelaskan porcine atau kandungan gelatin babi sering kali digunakan oleh para produsen vaksin dalam proses pembuatan vaksin atau menjadi media tempat virus yang sudah dijinakan untuk berkembang. Sehingga vaksin yang dikembangkan pun sudah terkontaminasi oleh unsur babi.

Sebab itu menurutnya tantangan dalam proses sertifikasi kehalalan vaksin Covid-19 adalah ketelitian dalam audit proses sertifikasi guna memastikan vaksin Covid-19 tidak menggunakan unsur-unsur najis dan haram untuk umat Islam.

“Kita tidak tahu sekarang proses vaksin (Covid-19) yang dibuat di China, apa itu Sinovac atau lainnya, apakah media tumbuhnya itu halal, itu persoalannya. Jadi kalau mensertifikasi halal, audit kita satu per satu, mempelajari semua apa saja bahan baku semuanya sampai kita yakin tidak ada unsur najis,” tutur Nadratuzzaman kepada Republika beberapa hari lalu.

Baca Juga : Aturan Mudik Lebaran: Wajib Pakai Masker Tiga Lapis, Dilarang Teleponan

Nadratuzzaman menjelaskan tantangan lainnya yang mungkin dihadapi dalam sertifikasi kehalalan vaksin Covid-19 di China maupun negara lainnya yang berkerjasama adalah, perihal izin penggantian bahan tertentu bila didapati mengandung unsur najis atau haram saat proses audit kehalalan. Izin atau persetujuan penggantian bahan harus diajukan pada badan atau lembaga resmi yang berwenang dan ditunjuk oleh pemerintah China maupun negara lain yang bekerjasama dalam pembuatan vaksin.

Namun demikian, Nadratuzzaman menilai, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) sanggup untuk melakukan audit untuk proses sertifikasi halal vaksin Covid-19. Menurutnya tak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui kehalalan pembuatan vaksin. Ia memperkirakan audit kehalalan dapat berlangsung dua hari.

“Cukup dua hari sudah bisa mengetahui kehalalannya, sepanjang perusahaan terbuka. Kalau perusahaan menutup diri itu yang sulit. Hari pertama bisa memeriksa bahan bakunya, dokumennya, hari kedua langsung ke lab memeriksa seperti apa cara kerjanya,” tuturnya.

Baca Juga : Satgas COVID-19: Buka Puasa Bersama Boleh, tetapi Jangan Mengobrol

Karena itu Nadratuzzaman berharap produsen vaksin yang berkerjasama dengan Indonesia memiliki keterbukaan informasi tentang vaksin yang diproduksinya. Sehingga proses sertifikasi kehalalan pun dapat berlangsung dengan cepat. Menurutnya proses sertifikasi kehalalan vaksin masih mempunyai banyak waktu hingga November yang menjadi target Sinovac yang akan menyediakan 15 juta dosis.

Meski begitu, Nadratuzzaman berpendapat vaksin yang tengah dikembangkan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bernama vaksin Merah-Putih mempunyai kelebihan dalam melawan virus Covid-19 di Indonesia, dibanding dengan vaksin yang diproduksi China maupun negara lainnya. Alasannya vaksin yang dikembangkan Eijkman mengambil sampel virus yang berkembang di Indonesia yang memiliki perbedaan dengan virus di China. Meski ia mengakui membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk bisa menyelesaikan vaksin Merah Putih.

“Saya termasuk yang meragukan vaksin dari China, karena virus itu gampang bermutasi, jenis virusnya sudah berbeda dengan yang ada di China. Virus yang ada di sini berbeda dengan yang ada di China, jadi kurang efektif menurut saya. Jadi saya mendukung Eijkman dan Biofarma kalau bisa memproduksi vaksin dari virus yang diambil di Indonesia. Tidak masalah waktu lama, dari pada sudah di vaksin tapi tidak cocok jadi percuma, harganya mahal juga malah rugi,” tuturnya.

Baca Juga : Update COVID-19 Indonesia 21 Januari: Naik 2.604, Kasus Aktif 14.119

sumber: republika.co.id

#Satgas Covid-19