Minggu, 08 Desember 2019 09:26

"Ususnya Robek dan Jadi Gila", Cerita Ibu yang Anaknya Jadi Korban Konflik Turki-Kurdi di Suriah

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Foto: BBC.
Foto: BBC.

Turki menyatakan akan membentuk 'Zona Aman' di Suriah bagian utara guna merelokasi pengungsi Suriah

RAKYATKU.COM - Turki menyatakan akan membentuk 'Zona Aman' di Suriah bagian utara guna merelokasi pengungsi Suriah dan mengamankan perbatasan mereka. Namun aman bagi siapa?

Kelompok hak asasi manusia dan warga Kurdi mengatakan daerah ini jauh dari aman.

Menurut pihak Kurdi, Turki ingin menggagalkan pemerintahan Kurdi dan ingin memasukkan pengungsi Suriah guna mengubah komposisi etnis kawasan itu.

BBC Arab bicara dengan warga yang masih tinggal di 'Zona Aman' di kota Afrin, dan beberapa lagi yang sudah mengungsi ke Tal Rifat.

Mereka bicara tentang pengalaman mereka di zona aman di mana faksi-faksi bersenjata menjalankan kekuasaan di bawah wewenang Turki.

Sejak Maret 2018, operasi militer 'Tangkai Zaitun' dari Turki berhasil menguasai kota Afrin dan sekitarnya yang dihuni oleh mayoritas etnis Kurdi.

Pada 2016, operasi 'Perisai Eufrat' berhasil mengusir kelompok yang menamakan diri negara Islam atau ISIS dari Jarabulus, al-Bab dan al-Rai hingga kota Aleppo, dengan bantuan faksi pro-Ankara.

Berkat dua operasi itu, menurut Turki sebuah 'koridor perdamaian' berhasil dibangun.

Turki kini bertekad membangun hal serupa di seluruh perbatasan dengan Suriah melalui operasi militer 'Musim Semi Damai'.

Ini dilakukan setelah pasukan AS menarik diri dari bagian timur laut Suriah.

Namun kelompok hak asasi manusia menyatakan penduduk sipil di sana mengalami perlakuan kejam.

Sarah Leah Whitson, Direktur Human Rights Watch di Timur Tengah mengatakan yang terjadi adalah, "eksekusi individu, perampasan properti, penghalangan pengungsi kembali ke rumah mereka".

"Bertentangan dengan pernyataan Turki bahwa operasi itu untuk membentuk zona aman, kelompok bersenjata yang mereka serahi tugas mengelola wilayah itu justru melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil dan diskriminasi berdasarkan etnis," katanya Whitson.

Kisah Amina dan Aras
"Kami meninggalkan desa Qastal Jendo pergi ke Azaz lalu ke Afrin, sesudah tempat-tempat itu dikuasai faksi-faksi bersenjata," kenang Amina Hameed, yang anaknya, Aras, pergi utuk mengecek ke ladang setempat tapi tak kembali.

Aras, 30 tahun, ditemukan kemudian. Ia mengalami siksaan brutal oleh faksi bersenjata yang menguasai wilayah itu sebelum ditinggalkan di tepi jalan di Azaz, 30 menit utara Aleppo.

"Ia kehilangan pendengaran, telinga kirinya diiris di tiga tempat, dubur dan anusnya terluka parah," kata Amina.

Amina kehilangan harapan untuk bertemu lagi dengan anaknya hidup-hidup sesudah Aras menghilang lebih dari setahun di 2016.

Penculikan, pembunuhan dan penyiksaan amat sering terjadi, dan Amina menyimpulkan anaknya mati di tangan faksi yang berkuasa di desa itu.

Dia hanya menyesal tak sempat mencium anaknya dan mengucapkan selamat berpisah untuk terakhir kali, serta memanjatkan doa di depan jenazahnya.

Amina mengambil risiko kembali ke desanya dan bertanya kepada faksi yang berkuasa di mana anaknya berada.

"Mereka menghina dan mendorong saya, mengancam akan memperlakukan saya sama dengan apa yang mereka lakukan kepada anak saya," katanya.

Kemudian ia menemukan sepatu anaknya di ladang, dan ia berkesimpulan anaknya sudah dibunuh.

Namun ketika seorang tetangga mengatakan ia melihat unggahan foto Aras di Facebook, dan ada panggilan telepon dari rumah sakit di Aleppo untuk menjemput Aras.

Amina pun pingsan mendengarnya.

Salah satu paman Aras di Aleppo menjemput ke rumah sakit untuk membawa Aras kepada Amina.

Amina kaget ketika anaknya dibawa ke depannya "digendong seperti bayi". Aras sangat kurus dan hampir tak bisa ia kenali.

Amina ingat ia pingsan ketika melihat anaknya, lalu menangis tersedu-sedu. "Ia tak bisa mendengar, dan kelihatan bingung tak mengerti apa yang terjadi".

Kemudian Amina ketahui ada hal-hal lain yang mempengaruhi proses pencernaan Aras.

Kepada keluarga, pihak rumah sakit mengatakan Aras ditemukan di jalan antara Azaz dan Aleppo. Dia harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan untuk luka dan luka bakar karena penyiksaan.

Laporan yang dikeluarkan oleh Bulan Sabit Merah Kurdi dan Suriah merinci kondisi Aras.

"Wajahnya nyaris tak bisa dikenali karena siksaan. Ia dibawa ke saya seperti seonggok daging. Ia disodomi dengan menggunakan benda tajam, menyebabkan robekan besar di anusnya," kata Amina kepada BBC.

Setelah beberapa bulan dirawat, Aras hanya bisa duduk bersila. Ia tak bisa berjalan tanpa bantuan, hanya berbaring terlentang tak bergerak. Tidak juga meminta makan atau minum. "Kalau saya tak menyuapi atau memberinya minum, ia tak akan bisa bertahan," kata Amina.

Amina harus mengganti popok dewasa yang dipakai anaknya 'tiga atau empat kali sehari' karena ia tak lagi bisa mengendalikan kerja ususnya.

"Dia kehilangan kendali jika tak minum obat untuk menenangkan diri. Ia pernah mencoba memukul dan mendorong saya. Ia tak sadar saya ibunya. Itu bagian paling berat," kata Amina sambil menangis.

"Dia hampir mati. Kamu harus melihatnya sendiri supaya bisa percaya. Ia bukan orang yang sama lagi. Ia sudah cacat seumur hidup. Telinganya dijahit di tiga tempat."

Kini Amina tinggal bersama anak dan suaminya di kamp pengungsi di Tal Rifat. Ia berharap bisa kembali ke desanya suatu saat.

Jamila, kini hidup di London, mengatakan faksi bersenjata menculik saudara laki-lakinya di Afrin belum lama ini. "Mereka minta tebusan £10.000."

"Saudaraku tahu mereka akan melakukannya lagi untuk uang. Ia kabur ke kamp pengungsi di Tal Rifat, dan tinggal di sana berbulan-bulan," katanya.

Laporan PBB bulan September menyatakan "korban penculikan oleh kelompok bersenjata dan kriminal seluruhnya warga sipil Kurdi yang dianggap makmur seperti dokter, pengusaha dan pedagang.

Korban umumya menghilang di pos pemeriksaan atau diambil di rumah mereka di malam hari".

"Turki menutup mata dari perilaku tercela yang diperlihatkan faksi yang mereka persenjatai ini," kata Whitson. "Selama Turki menguasai wilayah ini, mereka bertanggungjawab untuk menyelediki dan mengakhiri kekerasan kepada warga sipil".

Amira, yang kini tinggal di Manchester, mengatakan kepada BBC bahwa ayahnya yang berumur 70 tahun dipenjara lebih dari setahun di Ankara dengan tuduhan 'bekerjasama dengan penguasa Kurdi di Afrin'.

Penduduk lokal berkata, kelompok bersenjata terpaksa beralih ke penculikan dan pemerasan untuk menutupi penghasilan mereka yang hilang setelah Turki memotong bantuan keuangan.

Sementara itu pejabat Turki mengatakan masalah mereka bukan dengan warga Kurdi tetapi dengan PYD (Democratic party) dan YPG (People protection units) yang dianggap Ankara sebagai perpanjangan Kurdistan Workers Party atau PKK yang sudah dilarang di Turki.

Kini wilayah di Afrin berada di bawah Hatay dan Kilis, keduanya wilayah di Turki. Tahanan politik dan mereka yang dianggap 'bekerjasama' dengan penguasa Kurdi, dipenjara di Ankara.

Juru bicara kantor kepresidenan Turki Ibrahim Kalin menyatakan dalam wawancara bahwa sedang dilakukan sejumlah penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh milisi dukungan Turki, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Sumber: BBC Indonesia