Jumat, 06 Desember 2019 11:42

Siapa yang Paling "Salafi"?

Alief Sappewali
Konten Redaksi Rakyatku.Com
ILUSTRASI
ILUSTRASI

Fenomena keberagamaan di zaman ini patut menjadi perhatian, bahkan boleh dikatakan di era disrupsi sekarang  khususnya di media sosial, soal-soal keagamaan menjadi ruang yang paling ‘panas’ diperbinca

(Menghujat Tanpa Takut, Menuduh Tanpa Data)

Oleh: Fauziah Ramdani 
(Ketua Forum Muslimah Dakwah Kampus Indonesia)

"Senantiasa ada segolongan dari umatku tampil menegakkan kebenaran, tidak merasa rugi dengan orang yang menghinakan mereka sampai datang hari Kiamat dan mereka tetap teguh dalam keadaan demikian.” (HR. Muslim)

Fenomena keberagamaan di zaman ini patut menjadi perhatian, bahkan boleh dikatakan di era disrupsi sekarang  khususnya di media sosial, soal-soal keagamaan menjadi ruang yang paling ‘panas’ diperbincangkan. 

Seseorang atau kelompok dapat bebas berbicara dan berpendapat tentang apa saja. Satu hal yang tidak luput dari pembahasan media maya adalah tentang ekspresi keberagamaan. 

Begitu banyak kita saksikan realitas perbedaan dari cara pandang, perspektif, dan sikap dalam beragama yang nyaris meluapkan emosi dan melupakan nilai-nilai kesantunan, kesopanan, serta tidak menjunjung tinggi adab dan akhlak.

Mencengangkan justru, sebab pelakunya demikian buas menebas hati setiap insan tanpa memandang dengan diksi dan narasi menyerang berdalil atas nama dakwah dan menjunjung tinggi syariat dan manhaj yang haq (benar) dan meluruskan yang batil, akan tetapi betapa banyak hati yang terluka karena lisannya.

Bukankah mereka disebut sebagai pewaris para nabi, para pengikut sunnah yang mengilmui kitab-kitab ulama terdahulu? Lalu mengapa mereka begitu lantang menindas  dengan kata-kata yang pedas dan keras? Begitukah paradigma Ahlusunnah yang dibawa oleh sang teladan mulia Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan ditegakkan oleh generasi setelahnya salafus shalih? Saya yakin sekali jawabannya tentu tidak!

Maka pada tulisan ini, saya ingin mencoba mengurai secara singkat siapakah yang digelari sebagai ahlusunnah wal jamaah? Di dalam buku Intisari Aqidah Ahlusunnah Waljamaah karya Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari, penerbit Pustaka Imam Syafi’I di halaman 58 dijelaskan sebagai kesimpulan pembahasan tentang siapakah Ahlu Sunnah wal Jama’ah? 

Mereka adalah yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal akidah, perkataan, maupun perbuatan. Juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti sunnah Nabi) dan menjauhi perbuatan bid’ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat.

Kemudian, masih di buku yang sama di halaman berbeda, penulis menjelaskan tentang karakteristik yang melekat pada manhaj Ahlusunnah Wal Jama’ah. Di antara karakternya adalah mereka Ahlusunnah Wal Jamaah mempunyai sikap wasathiyyah (pertengahan) tidak berlebih-lebihan dan juga sewenang-wenang, peduli terhadap persatuan, menjauhkan diri dari perselisihan, perpecahan dan memberikan peringatan kepada manusia tentang hal tersebut dengan cara yang baik dan penuh hikmah. 

Mereka juga senantiasa saling mencintai menutupi kekurangan sebagian lainnya, tolong-menolong dan tidak suka permusuhan. 

Lantas mengapa masih ada sekumpulan orang dan person tertentu yang sibuk menenggelamkan pahalanya dengan cara mencela kelompok lain atas nama dakwah? Mengapa yang digelari salafi, justru semakin giat mengasah lisan  menghujat tanpa takut, menuduh tanpa data, mengklaim membabi-buta tanpa tabayyun. Dimana sikap saling nasehat menasihati yang penuh kelembutan itu? 

Mengapa harus selalu berupaya mencoba mengikis  idealisme dan merasuki para pengikut sunnah lainnya? Untuk siapa dan karena apa? Mengapa segala istilah terus disemburkan di jagad maya dan nyata; bid’ah sesat, pro demokrasi, tauhid asal-asalan dan lain sebagainya, Untuk apa? 

Inikah cermin dakwah bilhikmah? Inikah buah yang dipetik dari proses hijrah dan majelis ilmu yang dicintai Allah? Wallahu musta’an.

Tiada lain, perlunya memandang syariat ini dengan lensa yang jelas dan tidak memburamkan hati juga menjauhkan diri dari rasa sombong. Adakah jaminan bagi mereka yang shalih telah lulus dari ujian kesombongan? Adakah jaminan "nyunnah" yang kita gaungkan ini akan mengantarkan kita ke syurga-Nya? Sementara sebab-sebab menuju syurgaNya dengan akhlak dan adab kita empaskan begitu saja.

Bukankah Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak umatnya, bukan untuk memecah belah, mencaci maki dan menjatuhkan nilai diri dan kelompok tertentu? Betapa banyak kaum yang jahil terpesona pada ketawadhuan Nabi shallallahu’alaihi wasallam, meski di awal-awal sang Nabi  harus ridha menerima sikap penolakan kaum musyirikin atas dirinya.
 
Seharusnya "nyunnah-nya" kita ini mampu terurai tidak hanya pada perihal ibadah yang nampak saja, namun mengenyampingkan ibadah yang tak terlihat; berjiwa besar, lapang dada, mendahulukan prasangka baik dan menekan arus  perselisihan. Tidak berusaha memecah belah atas nama ilmu dan dakwah, tetapi nilai-nilai kesantunan ditiadakan. 

Adakah bentuk-bentuk pelanggaran syariat yang dilakukan oleh mereka yang juga "nyunnah" pada sisi paling  fundamental seperti akidah dan tauhid? Jika tidak, mengapa harus mengumpulkan kekuatan demi "memaksa" kelompok salafi lainnya menyerah dengan idealismenya yang diklaim jauh dari dalil dan sunnah Nabi? 

Data apa yang bisa membuktikan klaim tersebut? Jika tidak ada, jangan-jangan setan telah berpesta memenangkan diri dan kelompok kita menjadi hamba yang sombong dan suka perpecahan? Dimanakah ilmu yang bening itu bermurara?Wallahu a’lam.