Senin, 21 Oktober 2019 05:00

Cara Rasulullah Mengonsumsi Makanan yang Diragukan Kehalalannya

Ibnu Kasir Amahoru
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Cara Rasulullah Mengonsumsi Makanan yang Diragukan Kehalalannya

Mengonsumsi makanan yang halal berdasarkan ketentuan syariat merupakan keharusan bagi umat Islam.

RAKYATKU.COM - Mengonsumsi makanan yang halal berdasarkan ketentuan syariat merupakan keharusan bagi umat Islam. Selain menjalankan syariat, makanan halal yang dikonsumsi juga membawa dampak baik pada tubuh.

Ada kalanya kita juga melakukan traveling ke negara-negara minoritas muslim. Saat berada di negara tersebut, sering kali kita khawatir dengan kehalalan hidangan yang tersaji. Meski si pemilik toko atau restoran telah memberi tahu jika menu makanan tersebut halal.

Timbul rasa was-was ketika hendak mengonsumsi makanan yang terhidang di negeri non-Muslim. Ada kekhawatiran makanan tersebut tercampur bahan tidak halal.

Pada dasarnya, Islam diturunkan tidak untuk memberatkan manusia namun justru meringankan. Kerepotan muncul karena seseorang belum memahami betul pandangan Islam terkait makanan yang diragukan kehalalannya.  

Dilansir laman Islami, Rasulullah Muhammad SAW pernah mengonsumsi makanan yang diduga oleh para sahabat tercampur bahan tak halal. Riwayat mengenai hal ini terdapat dalam kitab syarh hadis Marfaqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih yang ditulis Mula 'Ali Al Qari, menyunting hadis Imam Thabrani dengan sanad yang jayyid.

Suatu kali, di sebuah peperangan, Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa sepotong keju. Rasulullah kemudian bertanya, " Di mana makanan ini dibuat?" Orang itu lantas menjawab, " Di negeri Persia." Lelaki itu menerangkan makanan itu dibuat di daerah orang Majusi, atau para penyembah api. Lalu Nabi SAW pun bersabda, " Letakkan potong makanan tersebut, lalu makanlah!" Lalu ada yang protes, " Wahai Rasulullah, kami takut makanan itu dibuat dari bangkai." Nabi kemudian berkata, " Bacalah basmallah lalu makanlah."

Riwayat lain yang menjelaskan peristiwa serupa yaitu tercantum dalam kitab Sabilul Huda wr Rasyad yang ditulis Muhammad ibn Yusuf As Shalihi As Syami. Terdapat bab yang menjelaskan peristiwa saat Rasulullah SAW memakan keju buatan orang Nasrani.

Imam Musaddad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam shahihnya, serta Al Baihaqi meriwayatkan dari Ibn 'Umar RA bahwa ia berkata, " Rasulullah tatkala di perang Tabuk dibawakan sepotong keju buatan orang Nasrani. Lalu ada yang protes, " Ini makanan buatan orang Nasrani." Kemudian Nabi meminta pisau lalu menyebut nama Allah dan memotong keju tersebut.

Imam At Thayalisi meriwayatkan dari Ibn 'Abbas RA bahwa Rasulullah SAW tatkala Fathul Makkah melihat sepotong keju. Beliau lalu bertanya, " Ini apa?" " Makanan yang dibuat di daerah non Arab," jawab orang-orang. Nabi lalu berkata, " Potong dan makanlah."

Imam Ahmad, Muhammad ibn 'Umar Al Aslami, Al Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah didatangi dengan dibawakan sepotong keju di perang Tabuk. Lalu Rasulullah SAW bersabda, " Di mana ini dibuat?" Mereka menjawab, " Di Persia. Dan kami mengira bahwa ada campuran bangkai di dalamnya." Lalu Nabi berkata, " Makanlah."

Empat riwayat tersebut dijadikan oleh para ulama sebagai dasar dalam menyikapi makanan yang diragukan kehalalannya. Jumhur ulama menyatakan menghindari najis atau keharaman pada makanan dilakukan dengan cara tidak memakannya jika diyakini makanan tersebut benar-benar mengandung najis.

Jika masih meragukan dan tidak diperoleh keyakinan, maka ketentuan tersebut tidak perlu dilakukan sehingga tetap bisa dimakan. Bahkan jika diolah dengan benda yang ditetapkan najis, makanan tersebut kembali ke hukum asalnya yaitu halal.

Ketentuan ini dijelaskan oleh Syeikh Zainuddin Al Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu'in.

"Kaidah penting, yaitu benda yang asalnya suci dan muncul prasangka kuat terkena najis sebab umumnya bersinggungan dengan najis, maka dalam menyikapinya ada dua pendapat yang dikenal berdasar dengan kaidah hukum asal. Dan yang dzahir atau yang umum, yang paling unggul adalah yang menyatakan benda itu suci, berdasar hukum asal yang telah diyakini. Karena itu yang lebih dapat dideteksi daripada keumuman yang berbeda-beda bergantung keadaan serta waktu. Hal tersebut seperti halnya pakaian jenis selubung, pakaiannya orang yang haid serta anak kecil. Serta wadah-wadah yang dicetak dengan najis, kertas yang umumnya dihamburkan pada najis, air ludah anak kecil, kain yang masyhur dibuat dengan lemak babi, dan keju Syam yang mashur dibuat dengan infahah (semacam bagian perut) babi. Dan sudah ada riwayat Nabi pernah dibawakan sepotong keju buatan orang Syam lalu memakannya dan tidak menanyakan perihal infahah. Hal ini dituturkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Syarah Minhaj."