Sabtu, 28 September 2019 16:48

Cerita di Balik Batalnya Ponakan Prabowo Memimpin Doa Rapat Paripurna MPR

Alief Sappewali
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Rahayu Saraswati (kanan) dan ayahnya, Hashim Djoyohadikusumo.
Rahayu Saraswati (kanan) dan ayahnya, Hashim Djoyohadikusumo.

Sekretaris Jenderal MPR RI, Ma'ruf Cahyono akhirnya mengklarifikasi batalnya kemenakan Prabowo Subianto memimpin doa dalam sidang paripurna MPR RI, Jumat (27/9/2019).

RAKYATKU.COM - Sekretaris Jenderal MPR RI, Ma'ruf Cahyono akhirnya mengklarifikasi batalnya kemenakan Prabowo Subianto memimpin doa dalam sidang paripurna MPR RI, Jumat (27/9/2019).

Penjelasan itu merespons viralnya pengakuan kekecewaan anggota Fraksi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati memimpin doa.

"Untuk menghindari perdebatan yang keluar dari konteks kelembagaan dan terlalu personal, maka perlu kami jelaskan sebagai berikut," kata Ma'ruf dalam keterangan tertulis.

Fraksi Gerindra, kata dia, memang mengajukan anggota MPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo sebagai pemandu doa menurut agama Kristiani dalam agenda resmi kenegaraan sidang paripurna MPR akhir masa jabatan 2014-2019;

Sebelum sidang paripurna MPR, pimpinan membahas dan mempertimbangkan usulan Fraksi Partai Gerindra tersebut. Kemudian diputuskan bahwa yang akan memimpin doa dalam sidang paripurna adalah pimpinan MPR langsung dalam hal ini, Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nurwahid (PKS);

Namun, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani tidak sependapat. Setelah melalui pembahasan yang melibatkan pimpinan MPR lainnya, maka pimpinan MPR memutuskan doa langsung dipimpin Ketua MPR RI selaku ketua sidang paripurna, Zulkifli Hasan.

"Konvensi kenegaraan sejak negara Indonesia merdeka sampai dengan sekarang, bahwa setiap acara resmi kenegaraan termasuk dalam acara resmi kenegaraan di MPR RI yang ditutup dengan acara pembacaan doa, selalu dipimpin oleh pemimpin doa laki-laki dan menurut tata cara agama Islam," urai Ma'ruf.

Pendapat senada disampaikan akademisi dari Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin. 

"Memang, biasanya itu diambil dari umat mayoritas (Islam) tetapi umat mayoritas juga mengizinkan umat agama lain untuk membaca doa sesuai agama masing-masing. Itu juga menjadi kebiasaan dalam konteks kenegaraan di Indonesia ini," ujar Ujang, Sabtu (28/9/2019) seperti dikutip dari Suara Pembaruan.

Ujang juga mengatakan, alasan yang disampaikan Rahayu tidak tepat dengan mengatakan dirinya perempuan dan non-muslim sehingga dibatalkan proses pembacaan doa dalam sidang tersebut.

"Ini bukan soal perempuan, tetapi memang kebiasaanya yang dari dulu dan sekarang seperti itu ketika pembacaan doa yang kemudian diikuti oleh agama lain. Ini sama juga seperti proses pelantikan pejabat negara," jelas Ujang.

Ujang menyarankan, demi menjaga perdamaian dan menghindari polemik yang tidak penting alangkah baiknya jika proses ini dikembalikan kepada proses awal. Apalagi, belakangan gelombang demonstrasi menguat dan ada persoalan Papua.

Ketua Fraksi Partai Gerindra, Fary Francis juga mengaku kecewa dengan batalnya Rahayu memimpin doa.

"Doa yang semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari rapat paripurna itu, ditiadakan ketua MPR RI tanpa penjelasan yang masuk akal sehat," katanya.

"Sebagai ketua Fraksi Gerindra MPR RI, saya menyesalkan terjadinya peristiwa ini. Ibarat nila setitik merusak susu sebelanga, kejadian ini merusak citra lembaga MPR RI justru di akhir penutupan masa sidang MPR RI periode 2014 - 2019," lanjut dia.

Fary mengatakan, pembacaan doa itu menjadi jatah Fraksi Partai Gerindra. Dia telah dihubungi sekjen untuk menyiapkannya. Dalam rapat Fraksi Partai Gerindra pada Kamis (26/9/2019), disepakati mengutus Rahayu Saraswati Djoyohadikusumo.

Menurut Fary, ada beberapa hal mengapa Rahayu Saraswati dipercayakan untuk membawakan doa.

Pertama, untuk menggambarkan secara nyata bahwa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Sekali-sekali doa dipimpin oleh seorang non muslim dan ini baru kesempatan pertama kali.

Kedua, untuk menggambarkan secara nyata kesetaraan gender, termasuk dalam memimpin doa. Ketiga, kesetaraan terhadap orang muda, bahwa yang muda pun boleh memimpin doa.