RAKYATKU.COM - Walau diwarnai protes kecil, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disahkan DPR RI. Lalu, mengapa Sinta Nuriyah Wahid merasa mulas?
Sinta Nuriyah adalah istri Presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Rupanya, dia mengikuti perkembangan revisi UU KPK tersebut.
Sinta hadir dalam acara "Forum Titik Temu" yang berlangsung di Double Tree Hilton, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2019).
Ketika ditanya wartawan terkait hasil revisi UU KPK, Shinta tidak banyak ngomong. Namun, kata-katanya sudah cukup mewakili perasaannya saat ini.
"Jangan ngomongin itu. Sudah mulas, ya, sudah mulas aku. Aku sudah ngomong, bolak-balik ke KPK segala macam, sudah mulas. Kalau sudah dengar itu sudah mulas, pusing, mulas," katanya seperti dikutip dari Kumparan.com.
Sinta merupakan salah satu tokoh yang kerap menyampaikan dukungannya terhadap penguatan kinerja KPK.
Ia bahkan sempat hadir di Gedung KPK saat polemik tentang seleksi calon pimpinan KPK menguat, pada 28 Agustus 2019 lalu.
Sebelumnya, revisi UU KPK banyak menuai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Mulai dari koalisi masyarakat sipil, tokoh-tokoh masyarakat, dan akademisi.
Ada sejumlah poin dalam pasal tersebut yang dinilai malah membatasi ruang gerak KPK. Salah satunya yakni keberadaan Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih oleh presiden.
Berikut enam poin hasil revisi UU KPK yang disepakati pemerintah dan DPR RI:
1. Pembentukan Dewan Pengawas oleh Presiden
Peraturan ini tertuang dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, Pasal 37G, Pasal 69A.
Delapan pasal itu membahas Dewan Pengawas diangkat dan ditetapkan oleh presiden. Selain itu, dibahas juga jumlah anggota dewan pengawas yang berjumlah 5 orang, dengan masa jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal tersebut juga membahas kewenangan Dewan Pengawas dalam mengawasi tugas, menetapkan kode etik, hingga memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
2. Kewenangan SP3
Kewenangan SP3 hanya diatur dalam Pasal 40. Dalam pasal tersebut, disebutkan KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap suatu perkara jika tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun.
Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut kembali apabila KPK menemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan
3. Penyadapan dan Penggeledahan Harus Seizin Dewan Pengawas
Peraturan ini tertuang dalam 4 pasal, yaitu Pasal 1 ayat 5, Pasal 12B, Pasal 12C, dan Pasal 12D.
Dalam pasal-pasal tersebut, dijelaskan penyadapan dan penggeledahan baru dapat dilakukan jika penyidik mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Izin diberikan paling lama 1 x 24 jam terhitung sejak permintaan diajukan.
Hasil penyadapan juga harus dilaporkan kepada pimpinan KPK secara berkala. Jika penyadapan telah selesai, maka harus dipertanggung jawabkan ke pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja, terhitung sejak penyadapan selesai dilaksanakan.
4. Seluruh Pegawai KPK adalah ASN
Status pegawai KPK sebagai ASN diatur dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 24, Pasal 69B, dan Pasal 69C.
Dalam pasal-pasal tersebut, dijelaskan bahwa pegawai KPK yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak revisi UU ini berlaku, dapat diangkat sebagai ASN selama memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pimpinan KPK bukan lagi penanggung jawab tertinggi
Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6).
Dalam UU sebelumnya, pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi
Sementara dalam revisi UU KPK, terdapat perubahan. Pada ayat (6), tak ada lagi penasihat KPK. Posisinya diganti oleh Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang.
Ketentuan ayat (4) pun tidak ada. Ayat itu mengatur soal Pimpinan KPK merupakan penyidik dan penuntut umum.
6. Kedudukan KPK sebagai Lembaga dalam Rumpun Eksekutif
KPK sebagai lembaga dalam rumpun eksekutif dibahas dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3.
Dalam pasal tersebut, disebutkan KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.